Corona dan Pengingat Romantisme

Indonesia bukanlah Italia, China, Inggris atau Amerika yakni mereka yang disebut sebagai negara maju dengan segenap kecanggihan hidup di segala bidang, termasuk bidang medis. Kalau mereka kedodoran dalam menghadapi pandemi corona, padahal dari segala sisi mereka lebih siap dari Indonesia, bukan berarti wabah ini akan membuat Indonesia terdampak lebih parah dari mereka.

Indonesia memiliki caranya sendiri. Ada modal-modal jenis lain yang dimiliki bangsa ini dalam menghadapi persoalan covid-19. Kita pernah mendengar istilah pageblug. Yaitu penyakit atau sesuatu yang destruktif yang terjadi secara massal. Wabah misalnya. Respon orang jawa kepada wabah berbeda. Wabah tidak dilayani dalam perspektif medis. Maka sejarah bangsa kita tidak banyak melahirkan ahli-ahli dibidang ketabiban.

Apa saja yang terjadi dalam kehidupan diposisikan sebagai hubungan sebab-akibat antara manusia dengan alam. Ada hubungan batin yang sangat kuat diantara manusia dan alam. Hubungan semacam ini melahirkan ngilmu titen dalam khasanah kebudayaan Jawa.

Gunung meletus tidak disebut sebagai erupsi, tapi gadeh gawe atau punya hajat. Ada jenis hubungan yang sangat manusiawi antara manusia dengan alam. Maka reaksi utama leluhur ketika ada wabah bukan respon medis. Mereka malah menabuh gamelan, lesung atau bebunyian lain.

Ada banyak kearifan lokal di masing-masing daerah menyangkut respon leluhur terkait dengan gejala-gejala alam. Di Purbalingga misalnya, ketika Gunung Slamet menunjukan tanda-tanda akan erupsi, masyarakat kemudian memasak sayur pepaya.

Apakah gerangan hubungan erupsi dengan sayur pepaya? Cara pandang rasional tak kuat melihat fenomena ini. Orang modern paling jauh menganggap sebagai mitos dan klenik. Umat keagamaan hanya sanggup menuduhnya sebagai perilaku syirik yang diancam dengan neraka jahanam.

Corona boleh memporak-porandakan negara-negara lain. Virus itu bisa dengan mudah membuat depresi umat manusia diseluruh dunia. Tapi para virus itu tak akan berani lancang kepada anak-cucu sebuah bangsa yang memiliki hubungan baik dengan alam. Anak-cucu dari para leluhur yang telah pernah terlibat percintaan khas dengan alam. Corona membawa bahasa alam untuk mengingatkan kembali romantisme hubungan semacam itu. Sebagiamana leluhur kita pernah memulainya. (Agus Sukoco)

Masa Krisis Selalu Melahirkan Pahlawan

Anjuran awal untuk Stay at Home kemaren hanya dua minggu. Wajar bila kuda-kuda kesiapan kita ‘masuk gua’ hanya sepanjang rentang itu. Setelah hari ini memasuki minggu ke-5 Indonesia memasuki masa ‘hidup enggan, lockdown tak mau’ kabar kawan-kawan dari beberapa kota mengatakan orang-orang mulai berhamburan ke kota. Jenuh alasannya.

Selain jenuh alasan utama, alasan lain yang mungkin terbesit enggan terungkap adalah karena sediaan dapur yang mulai kerontang. Terutama kawan-kawan aliran ‘Ora obah, ora mamah’, yakni diantara kaum daily worker.

Mas Sabrang pada sebuah sesi virtual gathering menyampaikan. Respons menghadapi krisis itu terbagi dua, satu merasa diri menjadi korban, kedua mengambil sikap jadi pengubah keadaan. Nah, ini jenis alasan berikutnya lagi. Orang-orang yang semula memilih pasif mengamankan diri agar tetap selamat meski menjadi korban, kemudian seiring berjalannya waktu mulai sadar bahwa ia harus bangkit dari selimut, mengambil peran, mengubah keadaan.

Begitulah, memang manusia adalah makhluk yang dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk cepat beradaptasi. Kalau kelamaan diam, badan pegal-pegal jadinya. Setelah memotret keadaan maka naluri untuk mengambil sikap pun muncul.

Tentu saja kita bukan orang-orang yang berada di pusaran kekuasaan. Bukan ring satu dari pemegang the strong intervensi. Kita hanya bisa sekedar menuruti naluri. Kadarnya ndeder-ndeder perubahan keadaan. Dalam segala levelnya.

Atas apa yang kita kerjakan hari ini setelah memutuskan bangkit dari berdiam diri, resmi untuk mengambil sikap mengubah keadaan, kita hanya bisa berharap, semoga kelak beberapa waktu ke depan, semuanya berbuah signifikan. Biar sejarah yang akan menutur heroisme kita, biar momentum yang menggulungnya jadi bola salju perubahan besar. Tetap kita bertindak dengan berhitung kapasitas diri dan hitung-hitungan sumber daya yang sanggup kita jangkau.

Tak perlu terobesesi jadi pahlawan keadaan. Sebab obsesi seringkali membuat jadi kita kesiangan. (Rizky D. Rahmawan)

Kesempatan Meng-Upgrade Kesadaran

Rindu Jumatan, rindu Shalat berjamaah ramai-ramai di Masjid, demikian satu dua tagline di status WA, FB atau media sosial lainnya. Tentu ini menghadirkan sebuah “penelangsan” tersendiri. Saya kira sebagian banyak orang, termasuk kita merasakannya sendiri sesuai dengan dosisnya masing-masing. Lebih-lebih apabila kita teruskan perasaan tadi dalam menyambut bulan Ramadhan yg tinggal hitungan jari lagi.

Jamaah shalat taraweh yg biasanya akan berjubel di masjid dan mushola di minggu pertama sampai tidak tertampung akan kita rindukan, suara guris anak-anak di tengah prosesi shalat taraweh juga akan menghadirkan rasa rindu. Sudah terbayang besok akan timbul pertanyaan dalam hati, “kok sepi”.

Dan akan lebih baik jangan kita terus-teruskan membayangkan rasa “penelangsan” tadi pada momentum idhul fitri kelak. Karena apa? Itu akan menghadirkan perasaan yg berkecamuk lagi. Itu nyata dan hampir bisa dipastikan terjadi kalau melihat dr larangan berkerumun oleh semua pihak dalam upaya menanggulangi wabah ini.  

Berkaca pada apa yg sedang di alami oleh negara-negara di belahan dunia sana, karena keteledoran dan menganggap enteng Virus ini, mengedepankan keyakinan tapi aslinya ngawur tanpa perhitungan, kuburan massal, orang meninggal terpapar virus setiap waktu, setiap hari.

Sungguh tidak bisa kita bayangkan 150 orang meninggal setiap hari, dan dalam proses pemakaman butuh SOP yg tidak sembarangan, krna akan beresiko penularan yg lebih mengerikan lagi, sementara sumber daya terbatas, lalu ketika berganti hari mayat terus bertambah, dan bertambah terus berlipat-lipat.

Kemudian kita berdoa kepada Allah SWT agar segera diangkat Virus ini dr dunia. Wabah yg memberikan kita kritik paling ekstrem, paling bertentangan dengan apa yg ideal selama ini kita gaungkan tentang utama-utamanya dalam menjalani kehidupan.

Hari ini, anjuran bijak untuk memperbanyak silaturahmi karena itu akan memanjangkan umur dan menambah rezeki, adalah sebuah hal yang bertentangan dengan kondisi. Utamanya kita shalat adalah berjamaah, karena dengan jamaah maka kita akan mendapatkan 27 derajat apabila dibandingkan shalat munfarid atau sendirian.

Pun begitu dengan berjabat tangan lambang keramahan, menebar senyum kepada siapa saja tanpa pandang bulu pun menjadi sebuah pelanggaran karena kita diwajibkan memakai masker, kalau tidak akan ditegor dan di cap pembangkang, ngeyel. Hukum fiqh bergeser karena dalam keadaan darurat seperti ini. Apa yang dulu lumrah menjadi larangan, apa yg diwajibkan dan fatal apabila ditinggalkan, sekarang dibolehkan. Ada apa ini? 

Tentu kita sudah tahu semua bahwa Allah SWT itu sangat ekstrem. Kepada kaumnya Nabi Nuh AS, Allah begitu ekstrem menyadarkan manusia dengan menenggelamkan seisi dunia dengan banjir. Seisi dunia, musibah dunia, demikian orang menyebutnya. Jika kaumnya Nabi Musa AS, Nabi Luth AS, Nabi Sholeh dengan badai yg menghancurkan  tubuh seprti halnya kapuk itu bersifat regional, seperti halnya musibah Tsunami di Aceh, tapi kalau banjirnya kaum Nabi Nuh AS itu skalanya global. 

Dan saya pernah mendengar tentang hal ekstrem yang mungkin akan terulang lagi, apakah seperti halnya banjir seluruh dunia tenggelam, atau ada 10 bahkan lebih gunung berapi meletus secara bersamaan sehingga abu vulkanik akan menggelapkan dunia. Atau pilihan yg ketiga, adalah perang saudara seperti yang pernah terjadi di dunia ini dahulu kala, antara Pandawa dan Kurawa yg kita kenal dengan epos Mahabarata.

Atau pilihan ekstrem lainnya adalah pendemi. Wabah yg akan mengguncangkan seluruh tatanan dunia. Kehidupan ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan negara akan terguncang dan sangat mungkin akan terjadi tatanan baru yg bisa jadi, tatanan sekarang adalah tatanan yang paling tidak diridhoi oleh Allah SWT.

Sebagai makhluk yg ber-Ketuhanan, tentu kita tidak bisa mengingkari bahwa semua yang terjadi atas kuasa Allah SWT, kemauan, ijin dan kehendak Allah SWT. Apa yang sedang Allah kritik dan apa yg sedemikian hancur di tatanan kehidupan kita yg sekarang sampai Allah SWT mengkritik kita dengan hal yg mengerikan seperti yang sedang kita alami ini?

Tentu ini jadi muhasabah kita bersama. Di samping dengan memperbanyak istighfar sebagaimana para Kyai menganjurkan, sepertinya ini jadi kritikan atas kesombongan-kesombongan kita selama ini. Kesombongan terhadap prinsip hidup yg selama ini kita pegang. Kesombongan bernegara, kesombongan dalam hal kekuatan, kepintaran atau bisa jadi kesombongan dalam hal beragama. Wallahualam.

Kalau bukan kesombongan yang Allah kritik terhadap kita lalu adakah sebab lainnya? Tentu sangat disayangkan apabila kita mampu bebas dari wabah ini dan mampu melewatinya tetapi tidak ada kesadaran yang berubah dalam jiwa kita. Seperti kejadian yang menimpa kaum Nabi Musa AS, atas peristiwa besar ditenggelamkannya Qorun ke dalam bumi bersama semua harta kekayaannya, lambang penguasa modal, kaum kapitalis yg menyengsarakan dalam hal ekonomi, dan setelah pasukan yg sangat besar dan hampir mustahil dilawan dengan akal manusia pada saat itu, kekuasaan Firaun lenyap ditenggelamkan air laut.

Dan hanya 40 hari berselang atas peristiwa besar, mukjizat, hujjah yg Allah tunjukan di depan mata mereka, kaum Nabi Musa AS kembali kafir lagi. Menyembah patung Samiri yg dibikin oleh tangan Haman, sang politikus yang sangat cerdas dalam mengambil setiap kesempatan untuk melakukan pencitraan-pencitraan. Lalu sekembalinya Nabi Musa AS ber-uzlah setelah 40 hari, dan menyaksikan kaumnya kembali berpaling dari Allah SWT, sekali lagi hanya berselang 40 hari setelah peristiwa besar itu.

Kembali pada apa yg sedang kita khawatirkan bersama ini, kita berdoa kepada Allah SWT, agar segera diangkat wabah ini dari dunia, sehingga paling dekat kita bisa menikmati bulan puasa dengan khidmat dan khusu’. Serta bisa berkumpul dengan anggota keluarga dalam keridhoan masing-masing. Namun pertanyaanya, apakah setelah wabah ini diangkat, Allah kabulkan doa kita semua, kita mampu menjamin kita tidak akan berpaling lagi seperti halnya kaumnya Nabi Musa AS? Di saat mengerikan kita merintih perlindungan mohon ampun, tetapi ketika dalam keadaan aman kita kembali menyombongkan diri. (Karyanto)

Cilongok, Banyumas, 17 April 2020.

Alat Ukur Kemalangan

Hidup saya kok begini amat, yah! Begitulah seringkali orang menggerutu atas keadaan yang menimpa berupa kemalangan terhadap dirinya. Takdir beruntung dan takdir malang adalah dua sisi mata uang yang mesti dihadapi setiap orang di dalam mengupayakan apapun saja. Orang yang maunya beruntung saja, enggan mendapat kemalangan, seringkali berujung pada seseorang jadi tidak melakukan sesuatu.

Padahal, bagaimana bisa mendapatkan sesuatu kalau seseorang enggan melakukan sesuatu? Oleh karenanyalah banyak potret disekeliling kita, orang yang banyak takdir malangnya justru nasib hidupnya lebih beruntung dibanding orang lain disekelilingnya. Ia  nandur lebih banyak, ia panen lebih banyak pula.

Lagipula, apakah malang itu adalah benar-benar malang dalam artian kondisi yang kita hadapai memang benar-benar menyedihkan? Berapa sering orang merasa malang hanya sebab ia membayangkan ekspektasi yang terlalu tinggi, sedangkan yang mampu ia gapai terlalu rendah dari yang ia bayangkan. Maka berceletuklah ia, begini amat, yah!

Maka ada baiknya memang kita memperbanyak alat ukur kemalangan. Jangan kuper. Itu tidak sehat. Kenali proses orang lain, teliti, amati sebanyak mungkin orang. Oh iya yah, di sana ada yang berproses lebih keras, tetapi hasilnya jauh lebih sedikit. Oh iya yah, kalau Cuma malang begini mah belum ada apa-apanya ternyata.

Kita butuh memandang lebih luas atas nasib dan takdir yang berlangsung di luar diri kita. Setidaknya itu bisa menjadi modal membuat cara pandang yang tidak cupet dan sempit atas apa yang sedang kita hadapi. Sebab kita butuh membuat keputusan-keputusan kecil supaya kita tidak berhenti. (Rizky D. Rahmawan)

Gotong Royong adalah Kunci

Gotong Royong adalah kunci. Sayangnya selama ini tidak ada yang mengerjakan mensistematisasi gotong royong. Yang ada gotong royong hanya dijadikan jargon-jargon. Begitu Mas Sabrang menyampaiakan pada sebuah edisi Maiyahan di Majelis Mocopat Syafaat.

Saya sepakat dengan hal tersebut. Mensistematisasi memang bukan pekerjaan mudah, tidak pula keren. Yang keren itu teriak-teriak dengan jargon yang bagus-bagus yang indah-indah. Misalnya “Ayo Nukoni barange balane dhewek!”, sebuah jargon tentang menggotong kemajuan kemandirian bersama-sama. Akan tetapi, jargon itu tidak serta merta membuat bala alias teman kita itu menjadi maju, kalau ia tidak disentuh dengan sistematisasi misalnya melalui scale up business step. Tanpa itu, melarisi dagangan teman hanya sebuah bentuk romantisme kesetiakawanan belaka, “Ini loh saya sudah menemani teman saya membangun bisnis”.

“Menemani” itu juga ada bentuk sistematisasinya. Kalau tahapnya masih gagasan, cara menemaninya berbeda ketika tahapannya sudah uji coba jualan. Saat masih gagasan cara menemaninya adalah membantu membreakdown menjadi konsep yang realistis dikerjakan. Kalau tahapannya uji coba jualan cara menemaninya adalah dengan memberi testimoni syukur-syukur menghimpun testimoni orang. Pun begitu ketika tahapannya sudah pada tataran bisnis yang established atau lebih tinggi lagi pada posisi di mana saat itu bisnis sudah layak direplikasi.

Meskipun kemajuan teknologi memungkinkan kita untuk dapat bekerja secara individual, akan tetapi siapa saja menurut saya akan sepakat bahwa kita butuh bersama satu sama lain untuk mengerjakan hidup yang bisa tumbuh dan meningkat.

Itulah kenapa berkomunitas menjadi keniscayaan. Namun begitu, di dalam komunitas misi menumbuhkan diri tidak boleh kalah oleh tuntutan solidaritas dan kesetiakawanan yang sekedar romantisme semua. Tidak boleh pula kita terjebak menerka bahwa majunya sebuah komunitas adalah ketika ia mempunyai banyak padatan-padatan, bendera-bendera dan kesibukan-kesibukan yang makin banyak.

Majunya sebuah komunitas adalah ketika sistem-sistem dibentuk bertahap dan meningkat hingga akhirnya tercipta iklim yang kondusif untuk masing-masing menumbuhkan diri. Iklim kondusif pada tataran awal misalnya terlihat di mana anggota komunitas memiliki keleluasaan untuk uji coba hal baru. Pada tataran lebih lanjut adalah ketika hasil eksperimentasinya itu bisa mendapatkan bentuk-bentuk dukungan yang relevan sesuai apa yang benar-benar ia butuhkan.

Di sinilah paradigma sedekah itu melihat siapa yang sedang butuh, bukan melihat apa yang sedang ingin kita beri menjadi penting. (Rizky D. Rahmawan)

Amru Saddong: Kami Menerima Cak Nun Tidak Sebagai Orang Hebat

Cerita tentang Emha, kata Abah Amru Saddong, banyak beliau dengar dari Bang Alisjahbana. Beliau tahu bahwa orang bernama Emha Ainun Nadjib itu penulis puisi, cerpen, dan naskah drama. Lalu setelah sekian lama sering menceritakan tentang orang yang bernama Emha, Bang Ali akhirnya bisa mengajak Mbah Nun datang ke Mandar. Abah Amru yang saat itu ada di antara orang-orang yang menyambut kedatangan Mbah Nun di Mandar bersikap biasa saja terhadap Mbah Nun. Baru setelah Abah Amru mengetahui bahwa orang yang datang itu adalah orang yang tulisannya sering beliau baca lewat fotokopian, beliau berubah sikap. Sebab, bertemu dengan orang yang tulisannya sering beliau baca selalu memiliki kesan tersendiri. Dengan Mbah Nun, Abah Amru memiliki pengalaman itu.

Selama dua malam, kami—rombongan Rihlah ke Mandar—sering bertemu beliau di beranda rumah Pak Abu Bakar.  Jumat malam, 22 November 2019, setelah dijamu makan malam di rumah salah satu penggiat Papperandang Ate, kami bercakap-cakap dengan beliau tentang pengalaman beliau bergaul dengan Mbah Nun. Kata Abah Amru Saddong,”kami menerima Cak Nun tidak sebagai orang hebat atau orang terkenal.”

Saat itu Abah Amru hanya tahun bahwa Mbah Nun adalah penulis cerpen, puisi, dan naskah drama. Sama sekali beliau tidak tahu kalau Mbah Nun orang hebat dan namanya diketahui banyak orang. Kehebatan Mbah Nun baru Abah Amru dan teman-temannya ketahui setelah berhari-hari bergaul dengan Mbah Nun. Selama bergaul itu Mbah Nun meladeni anak-anak anggota Teater Flamboyant diskusi banyak hal sampai larut malam.

Pengalaman tidak terlupakan bersama Mbah Nun, kenang Abah Amru, tentang putrinya bernama Munira. Sebab, bersama Munira ada dua kedatangan Mbah Nun yang dikenang Abah Amru. Pertama, kedatangan Mbah Nun pada 1995. Saat itu, kedatangan Mbah Nun di Mandar berbarengan dengan kelahiran putrinya Abah Amru. Abah Amru memberi nama putrinya Munira. Bayi yang masih mungil itu kemudian diperlihatkan ke Mbah Nun.

”Siapa namanya, Mru?” tanya Mbah Nun.

”Munira, Cak.” Jawab Abah Amru.

Abah Amru menyilakan Mbah Nun memberi nama bayi itu dan bersedia mengganti namanya jika Mbah Nun yang meminta. Tetapi Mbah Nun mengatakan tidak perlu mengganti nama, sebab nama ”Munira” sudah bagus. Mbah Nun lalu menggendong bayi itu dan berkata:

”Mru, ini anakmu punya hubungan emosional dengan saya.”

Abah Amru tentu senang mendengar pernyataan itu. Tetapi keadaan suka berubah menjadi duka, ketika 16 tahun kemudian pada 2011, Mbah Nun dan rombongan ”Safinatun Najah” datang ke Mandar. Saat itu pula Munira secara tidak diduga meninggal karena kecelakaan. Mbah Nun yang mengetahui kabar duka itu turut melayat ke rumah Abah Amru. Dua kedatangan Mbah Nun itu dikenang Abah Amru sebagai kedatangan yang menyambut kelahiran Munira dan kedatangan yang mengantarkan Munira ke tempat peristirahatan.

Cerita-cerita Mbah Nun di Mandar hampir tidak ada yang hambar. Kadang cerita itu di luar akal sehat. Kadang juga cerita begitu haru, sebagaimana yang dialami Abah Amru. Cerita haru itu teringat terus di ingatan Abah Amru. Sebab, saat itulah Mbah Nun membersamainya saat suka dan duka.  

Asal Mula Cinta

Pada 28 Oktober 2018, Abah Amru termasuk dalam rombongan 40 orang yang berangkat dari Mandar ke Samarinda. Di sana, para penggiat Papperandang Ate itu ikut guyub dalam sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di pelabuhan Samarinda. Pertemuan dengan Mbah Nun di Samarinda untuk memupus rasa rindu yang sangat mendalam. Mbah Nun menyilakan rombongan dari Mandar naik ke atas panggung. Di atas panggung itu, Mbah Nun mengenalkan kepada jamaah,”Ini Amru, murid pertama saya di Mandar.” Mendengar Mbah Nun berkata seperti itu, Abah Amru justru merasa gelisah. Abah Amru membayangkan betapa beratnya menjadi murid Mbah Nun nantinya. Bahkan, kata Abah Amru, bisa diterima dan dikenal oleh Mbah Nun saja sudah cukup. Tetapi kini malah diumumkan sebagai muridnya.

Kegelisahan itu bisa kita pahami sebagai bentuk dari kerendahhatian Abah Amru. Juga secara tersirat mengkritik kami-kami yang mendaku sebagai murid atau santri Mbah Nun tetapi tidak mau meneladani laku Mbah Nun. Barangkali, bagi Mbah Nun, tingkah Abah Amru saat awal bertemu dulu masih teringat sampai kini. Menurut Bang Udin Majudin, Abah Amru ”Satu-satunya orang yang berani melawan Emha waktu awal-awal (dulu).” Abah Tammalele juga menceritakan bahwa Mbah Nun dan Abah Amru sering ”berkelahi”. Tetapi yang perlu diingat dari perkelahian itu, kata Abah Tammalele, tidak ada orang yang melukai dan dilukai. Maka dari itu, hasil dari ”pertikaian” Mbah Nun dan Abah Amru berakhir dengan kemesraan. Bahkan, kemesraan itu terjalin sampai kini.

Abah Tammalele mengatakan bahwa Abah Amru adalah orang keras tetapi tersamarkan dengan sikapnya yang tenang dan irit bicara. ”Perlawanan” yang dilakukan Abah Amru dulu terhadap Mbah Nun adalah ekspresi kekritisan anak muda yang tidak gampang memamah pendapat orang lain. Abah Amru sosok orang yang berdaulat atas pikirannya. Beliau tegas dalam berpendapat dan memegang teguh pendirian.

Saya yang di depannya malam itu juga berpikiran sama. Sorot mata Abah Amru tajam sekali. Ditambah dengan intonasi suara bicara yang berat dan pelan. Tetapi di sisi raut muka wajah yang diam itu tersembunyi kebaikan.

Abah Amru kini bekerja sebagai guru PNS di salah satu sekolah dasar di Mandar. Sebanarnya pekerjaan ini tidak pernah Abah Amru bayangkan. Sebab, saat dulu Abah Amru menerima surat pekerjaan sebagai guru, Abah Amru menanyakan pekerjaannya kepada Mbah Nun. Lalu, Mbah Nun menyarankan agar Abah Amru jangan meninggalkan pekerjaan itu dan tetap melanjutkannya. Atas saran itu, kini Abah Amru menjadi orang—yang dalam bahasa Jawa—digugu dan ditiru alias guru.

Itulah yang membuat Abah Amru paham bahwa Mbah Nun menerima anak-anak Teater Flamboyant apa adanya. Sama sekali tidak memandang remeh. Dari itu sikap itulah timbul cinta antara Abah Amru dengan Mbah Nun, begitu juga sebaliknya. (M. Yunan Setiawan)