Adalah kutipan Surat Saba ayat 50 yang sering dijadikan doa penutup majelis oleh Mbah Nun. Arti terjemahnya tidak jauh dari apa yang kerap sejak masa kecil kita dulu dengar ketika orang-orang menutup pidato atau ceramah, “Kalau ada kebenaran dari Allah semata, kalau ada kesalahan itu dari diri sendiri”.
Ilham dari Siapa?
Tidak terjadi sebuah kebenaran pun di dalam Juguran Syafaat melainkan disebabkan hidayah dari Allah semata. Pun juga tidak ada kuasa di dalam diri kita untuk menciptakan ilham untuk melangkahkan kaki datang, ikut nggelar karpet dan ajur-ajer selama berlangsungnya Maiyahan. Melainkan hal itu disebabkan oleh Allah yang memberikan ilham.
Perihal ilham ini dibabar oleh Mas Agus Sukoco pada Juguran Syafaat edisi ke-111 akhir pekan lalu Sabtu, 18 Juni 2022 yang menjajal pelaksanaannya di tempat baru yakni di Waroeng Juguran, Jalan Raya Purbayasa, Padamara, Purbalingga.
“Kalau bersholawat, mudah-mudahan Kanjeng Nabi datang. Begitu, kan yang selama ini kita pahami? Lalu tandanya Kanjeng Nabi datang atau tidak datang bagaimana?”, pantik Mas Agus.
Kalau mengklaim-klaim nanti malah jadi kontraproduktif. Sekarang pemahamannya kita coba perhalus. Siapa yang mengilhami kita bersholawat? Apakah itu bersumber dari diri kita sendiri? Atau “jangan-jangan”, kita terilhami untuk bersholawat saja itu sudah bentuk bahwa Beliau Kanjeng Nabi hadir.
Sama halnya dengan ilham untuk beristighfar. Lanjut mas Agus. Kita selama ini digiring pada pola relationship yang kaku dengan Allah dan Kanjeng Nabi. Jadi misalnya seseorang sudah ber-istighfar seribu kali, di dalam batinnya yang dominan justru getaran keraguan “Ini istighfar saya diterima atau tidak ya?”
Kita memakai analogi, misalnya Anda berbuat salah pada sahabat Anda. Lalu kemudian datang minta maaf. Kemungkinannya kan, satu “Sebelum kamu datang, sudah saya maafkan”, itu kalau dia seorang sahabat yang baik dan menyayangi Anda. Lalu, kemungkinan kedua, “Sampai kapanpun tidak akan saya maafkan”. Itu kalau sahabat Anda aslinya membenci Anda.
Nah, kalau Allah itu, cenderung pihak yang menyayangi Anda atau membenci Anda? Mas Agus melontarkan pertanyaan kepada jamaah. Katanya Allah Ar-Rohman Ar-Rohim? Justru mungkin yang terjadi adalah bukan hanya Allah memaafkan sebelum hamba-Nya minta maaf, tetapi Allah-lah yang paling ‘gelisah’ untuk bagaimana caranya mengkondisikan si-Hamba agar ber-istighfar.
Mosok Tidak Pekewuh?
“Teman-teman, ini ilmu tingkat tinggi loh ya, nanti mentang-mentang Allah Ar-rohman Ar-rohim, lantas nggampangaken”, tukas saya.
Kemudian Mas Agus menimpali. Analoginya begini mas, kalau saya bertamu ke rumah sahabat saya yang amat baik kepada saya, andai saya mecahin gelas di sana, pasti sahabat saya tidak marah, yang terjadi apa? Yang terjadi adalah pekewuh, justru sebisa mungkin menjaga semua yang ada di sana. Kebalikannya, kalau saya bertamu ke rumah orang yang menyebalkan, malah kalau bisa gelas, meja semua saya pecahkan.
Sikap pekewuh inilah yang mestinya tumbuh seiring sejalan dengan peningkatan pengenalan kita kepada Ar-Rohman dan Ar-Rohimnya Allah.
Di-defrag Supaya Lebih Utuh
Sekitar seratus orang jamaah dari Purwokerto, Purbalingga, Pemalang juga Brebes berkumpul di pendopo berukuran cukup luas di tengah hawa dingin Desa Karanggambas yang dimalam itu turun kabut lumayan pekat. Juguran malam hari itu berlangsung gayeng dan ajur-ajer dengan dinahkodai oleh maestro moderator rekan Kukuh dan rekan Kusworo. Masih berperan di posisi fotografer yakni rekan Anggi, di bagian sambut tamu ada rekan Anjar dan rekan Herman. Lalu lintas perwedangan dipandegani oleh rekan Adi dan rekan Yudha, talent oleh rekan Ifa dan rekan Hirdan. Serta masih banyak pos-pos peran lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Sebanyak seratus sebelas edisi tanpa libur satu bulanpun Juguran Syafaat terselenggara. Tidak berkat sponsor atau bandar siapapun, melainkan sokongan gotong royong dari siapa saja yang terilhami untuk ikut andil berpartisipasi memelihara lilin keistiqomahan ini bersama-sama. Tentu saja tidak ada orientasi duniawi apapun yang compatible dengan Juguran Syafaat. Ibarat komputer, forum ini utilitariannya lebih sebagai disk defragmenter. Setelah 29 hari mengerjakan dinamika pengalaman hidup yang begitu rupa, sehari ini ditata dan diutuhkan.
“Sing penting pikiran bombong, mangke masalah-masalah saged dipadosi solusine”, wejangan Abah Fitron kepada Mas Umar—pemilik Waroeng Juguran, yang menjadi sangu menghadapi berbagai keadaan ini dituturkan jadi pointers pembuka oleh moderator.
“Nepotisme” yang Sehat, kenapa Tidak?
Kang Riswanto berduet dengan Mas Toto duduk setia di baris kedua narasumber membawakan sejumlah nomor sholawat dan lantunan lagu-lagu pop dengan begitu tumakninah. Mas Dedy duduk di samping Mas Agus Sukoco mengudar berbagai terminologi washilah hingga nasehat penerapan siklus rukun Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Beliau juga memimpin seluruh jamaah untuk secara khusus mendoakan Kesehatan Mbah Nun.
Menjelang tengah malam, Kang Agung Totman kemudian nimbrung menyahut respons juga Mas Ifa yang mengkaitkan tema malam hari ini dengan tema bulan lalu yakni “Konstitusi Diri”. Lalu Kang Agung membawakan beberapa nomor lagu yang membikin gerrrr suasana.
Pertemanan itu semacam ‘nepotisme’, ungkap Mas Kukuh. Ya benar saja, ditengah persaingan yang semakin ketat di lini apa saja hari ini, bukankah seringkali jalur pertemanan menjadi akses special. Tentu saja, mendahulukan teman dibanding orang lain yang tidak dikenal harus tetap mempertimbangkan kualifikasi kompetensi. Maka akan menjadi bentuk nepotisme yang sehat.
Membuat Kurikulum Ngenger Sendiri
“Standing on shoulder of giant”, ujar Mas Kusworo. Ya, berteman dengan para raksasa alias orang-orang besar itu hal-hal yang mungkin saja ditempuh kok. Prasyaratnya adalah, kalau bertemu orang besar jangan ngemis pekerjaan, tetapi mencari celah hal apa yang bisa untuk dibantu. Sebab orang-orang besar kerap membutuhkan sumber daya yang tidak kecil untuk menjalankan misinya.
Ini adalah kearifan jaman nenek moyang Jawa jaman dulu yang disebut ngenger. Pendidikan wajib bagi para calon pangeran. Nah di jaman ini, pandai-pandainya kita menemukan tempat ngenger yang paling kompatibel dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas diri kita.
Saya menambahkan sedikit, ketika tema ini dilontarkan yang terbetik di benak saya adalah inspirasi pertemanan di film Top Gun: Maverick (2022). Kalau bukan karena sahabatnya yang begitu care dan juga mempunyai posisi begitu penting, sang lakon sudah dipecat sedari awal film baru diputar.
Mengalamatkan “Brayan” pada Diri Sendiri
Pada akhirnya di pertemuan kali ini kita bersama-sama menegaskan kembali bahwa betapa pentingnya slogan “Hidup itu harus mau brayan”. Tapi yang harus distabilo tebal-tebal malam hari itu adalah apa yang disampaikan Mas Agus, bahwa hendaknya anjuran atau himbauan brayan itu bukan dialamatkan ke orang lain, melainkan ke diri masing-masing. Memang itu kan yang membuat gaduh selama ini dimana-mana, slogan brayan untuk nduding-duding pihak lain saja? Ya, kalau masing-masing menuntut diri untuk mau nyetel frekuensi brayan-nya sebenarnya masalah di alam dunya—atau minimal di lingkaran terkecil kita masing-masing ya beres-beres saja.