Mentakjubi Ilham, Mengasah Pekewuh

“Qul in ḍalaltu fa innamā aḍillu ‘alā nafsī, wa inihtadaitu fa bimā yụḥī ilayya rabbi”

Adalah kutipan Surat Saba ayat 50 yang sering dijadikan doa penutup majelis oleh Mbah Nun. Arti terjemahnya tidak jauh dari apa yang kerap sejak masa kecil kita dulu dengar ketika orang-orang menutup pidato atau ceramah, “Kalau ada kebenaran dari Allah semata, kalau ada kesalahan itu dari diri sendiri”.

Ilham dari Siapa?

Tidak terjadi sebuah kebenaran pun di dalam Juguran Syafaat melainkan disebabkan hidayah dari Allah semata. Pun juga tidak ada kuasa di dalam diri kita untuk menciptakan ilham untuk melangkahkan kaki datang, ikut nggelar karpet dan ajur-ajer selama berlangsungnya Maiyahan. Melainkan hal itu disebabkan oleh Allah yang memberikan ilham.

Perihal ilham ini dibabar oleh Mas Agus Sukoco pada Juguran Syafaat edisi ke-111 akhir pekan lalu Sabtu, 18 Juni 2022 yang menjajal pelaksanaannya di tempat baru yakni di Waroeng Juguran, Jalan Raya Purbayasa, Padamara, Purbalingga.

“Kalau bersholawat, mudah-mudahan Kanjeng Nabi datang. Begitu, kan yang selama ini kita pahami? Lalu tandanya Kanjeng Nabi datang atau tidak datang bagaimana?”, pantik Mas Agus.

Kalau mengklaim-klaim nanti malah jadi kontraproduktif. Sekarang pemahamannya kita coba perhalus. Siapa yang mengilhami kita bersholawat? Apakah itu bersumber dari diri kita sendiri? Atau “jangan-jangan”, kita terilhami untuk bersholawat saja itu sudah bentuk bahwa Beliau Kanjeng Nabi hadir.

Sama halnya dengan ilham untuk beristighfar. Lanjut mas Agus. Kita selama ini digiring pada pola relationship yang kaku dengan Allah dan Kanjeng Nabi. Jadi misalnya seseorang sudah ber-istighfar seribu kali, di dalam batinnya yang dominan justru getaran keraguan “Ini istighfar saya diterima atau tidak ya?”

Kita memakai analogi, misalnya Anda berbuat salah pada sahabat Anda. Lalu kemudian datang minta maaf. Kemungkinannya kan, satu “Sebelum kamu datang, sudah saya maafkan”, itu kalau dia seorang sahabat yang baik dan menyayangi Anda. Lalu, kemungkinan kedua, “Sampai kapanpun tidak akan saya maafkan”. Itu kalau sahabat Anda aslinya membenci Anda.

Nah, kalau Allah itu, cenderung pihak yang menyayangi Anda atau membenci Anda? Mas Agus melontarkan pertanyaan kepada jamaah. Katanya Allah Ar-Rohman Ar-Rohim? Justru mungkin yang terjadi adalah bukan hanya Allah memaafkan sebelum hamba-Nya minta maaf, tetapi Allah-lah yang paling ‘gelisah’ untuk bagaimana caranya mengkondisikan si-Hamba agar ber-istighfar.

Mosok Tidak Pekewuh?

“Teman-teman, ini ilmu tingkat tinggi loh ya, nanti mentang-mentang Allah Ar-rohman Ar-rohim, lantas nggampangaken”, tukas saya.

Kemudian Mas Agus menimpali. Analoginya begini mas, kalau saya bertamu ke rumah sahabat saya yang amat baik kepada saya, andai saya mecahin gelas di sana, pasti sahabat saya tidak marah, yang terjadi apa? Yang terjadi adalah pekewuh, justru sebisa mungkin menjaga semua yang ada di sana. Kebalikannya, kalau saya bertamu ke rumah orang yang menyebalkan, malah kalau bisa gelas, meja semua saya pecahkan.

Sikap pekewuh inilah yang mestinya tumbuh seiring sejalan dengan peningkatan pengenalan kita kepada Ar-Rohman dan Ar-Rohimnya Allah.

Di-defrag Supaya Lebih Utuh

Sekitar seratus orang jamaah dari Purwokerto, Purbalingga, Pemalang juga Brebes berkumpul di pendopo berukuran cukup luas di tengah hawa dingin Desa Karanggambas yang dimalam itu turun kabut lumayan pekat. Juguran malam hari itu berlangsung gayeng dan ajur-ajer dengan dinahkodai oleh maestro moderator rekan Kukuh dan rekan Kusworo. Masih berperan di posisi fotografer yakni rekan Anggi, di bagian sambut tamu ada rekan Anjar dan rekan Herman. Lalu lintas perwedangan dipandegani oleh rekan Adi dan rekan Yudha, talent oleh rekan Ifa dan rekan Hirdan. Serta masih banyak pos-pos peran lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Sebanyak seratus sebelas edisi tanpa libur satu bulanpun Juguran Syafaat terselenggara. Tidak berkat sponsor atau bandar siapapun, melainkan sokongan gotong royong dari siapa saja yang terilhami untuk ikut andil berpartisipasi memelihara lilin keistiqomahan ini bersama-sama. Tentu saja tidak ada orientasi duniawi apapun yang compatible dengan Juguran Syafaat. Ibarat komputer, forum ini utilitariannya lebih sebagai disk defragmenter. Setelah 29 hari mengerjakan dinamika pengalaman hidup yang begitu rupa, sehari ini ditata dan diutuhkan.

“Sing penting pikiran bombong, mangke masalah-masalah saged dipadosi solusine”, wejangan Abah Fitron kepada Mas Umar—pemilik Waroeng Juguran, yang menjadi sangu menghadapi berbagai keadaan ini dituturkan jadi pointers pembuka oleh moderator.

“Nepotisme” yang Sehat, kenapa Tidak?

Kang Riswanto berduet dengan Mas Toto duduk setia di baris kedua narasumber membawakan sejumlah nomor sholawat dan lantunan lagu-lagu pop dengan begitu tumakninah. Mas Dedy duduk di samping Mas Agus Sukoco mengudar berbagai terminologi washilah hingga nasehat penerapan siklus rukun Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Beliau juga memimpin seluruh jamaah untuk secara khusus mendoakan Kesehatan Mbah Nun.

Menjelang tengah malam, Kang Agung Totman kemudian nimbrung menyahut respons juga Mas Ifa yang mengkaitkan tema malam hari ini dengan tema bulan lalu yakni “Konstitusi Diri”. Lalu Kang Agung membawakan beberapa nomor lagu yang membikin gerrrr suasana.

Pertemanan itu semacam ‘nepotisme’, ungkap Mas Kukuh. Ya benar saja, ditengah persaingan yang semakin ketat di lini apa saja hari ini, bukankah seringkali jalur pertemanan menjadi akses special. Tentu saja, mendahulukan teman dibanding orang lain yang tidak dikenal harus tetap mempertimbangkan kualifikasi kompetensi. Maka akan menjadi bentuk nepotisme yang sehat.

Membuat Kurikulum Ngenger Sendiri

Standing on shoulder of giant”, ujar Mas Kusworo. Ya, berteman dengan para raksasa alias orang-orang besar itu hal-hal yang mungkin saja ditempuh kok. Prasyaratnya adalah, kalau bertemu orang besar jangan ngemis pekerjaan, tetapi mencari celah hal apa yang bisa untuk dibantu. Sebab orang-orang besar kerap membutuhkan sumber daya yang tidak kecil untuk menjalankan misinya.

Ini adalah kearifan jaman nenek moyang Jawa jaman dulu yang disebut ngenger. Pendidikan wajib bagi para calon pangeran. Nah di jaman ini, pandai-pandainya kita menemukan tempat ngenger yang paling kompatibel dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas diri kita.

Saya menambahkan sedikit, ketika tema ini dilontarkan yang terbetik di benak saya adalah inspirasi pertemanan di film Top Gun: Maverick (2022). Kalau bukan karena sahabatnya yang begitu care dan juga mempunyai posisi begitu penting, sang lakon sudah dipecat sedari awal film baru diputar.

Mengalamatkan “Brayan” pada Diri Sendiri

Pada akhirnya di pertemuan kali ini kita bersama-sama menegaskan kembali bahwa betapa pentingnya slogan “Hidup itu harus mau brayan”. Tapi yang harus distabilo tebal-tebal malam hari itu adalah apa yang disampaikan Mas Agus, bahwa hendaknya anjuran atau himbauan brayan itu bukan dialamatkan ke orang lain, melainkan ke diri masing-masing. Memang itu kan yang membuat gaduh selama ini dimana-mana, slogan brayan untuk nduding-duding pihak lain saja? Ya, kalau masing-masing menuntut diri untuk mau nyetel frekuensi brayan-nya sebenarnya masalah di alam dunya—atau minimal di lingkaran terkecil kita masing-masing ya beres-beres saja.

Ruang Merdeka

“Kuncinya ya enjoy. Kalau ikhlas kayaknya kok saya tak sanggup menjangkau,”ujar Bunda KLC menceritakan kesehariannya yang penuh kegiatan dengan begitu variatifnya. Olahraga, ngurus tanaman, mengajar, ngulik lagu, dll.

“Saya mempunyai istilah ‘fast charging’,” respons Kukuh, moderator Juguran Syafaat malam hari itu. Kalau HP mahal itu ada fitur fast charging-nya, di-charge sebentar tapi bisa dipakai seharian. Sebab saya pernah mempunyai HP, di-charge semalam suntuk, baru setengah jam dipakai sudah habis. Ini sebuah analogi dari tidur atau istirahat yang efektif dan tidak efektif.

Mas Izaz salah seorang Jamaah sharing tentang resolusi 2022 atas dirinya, yakni meninggalkan sikap klelar-kleler. “Hidup enjoy dan klelar-kleler ini beda loh ya teman-teman,” tandas Kukuh. Kalau klelar-kleler itu kan sinonimnya bebehan — serba enggan, sedangkan enjoy adalah menggembirai yang dikerjakan.

Selain senantiasa enjoy dan tidur yang efektif, Bunda memberikan tips lain untuk menjalani hari dengan berkualitas yakni dengan menjaga asupan makanan. Hal lainnya lagi adalah Bunda bercerita bahwa kerap menjelang tidur menjadikan playlist KiaiKanjeng sebagai healing. Di sesi awal Juguran Syafaat edisi kali ini, Bunda diringi Mas Ponda selain sharing juga mempersembahkan beberapa nomor lagu.

Peristiwanya Memberi, Belum Tentu dari Etos Memberi

Beberapa puluh tahun yang lalu Mbah Nun sudah memberikan rekomendasi tentang perzakatan nasional tentang bagaimana menumbuhkan etos memberi di masyarakat. Di tahun-tahun terakhir ini yang terjadi peristiwanya banyak orang memberi, tetapi diam-diam di dalam hatinya etosnya adalah berpamrih.

Memangnya kalau orang mempunyai etos memberi atau melakukan sesuatu yang kontributif bisa bahagia? Lalu saya mencoba mencari-cari sisi pandangan logis orang bisa mempunyai etos memberi. Misalnya dari sudut pandang ilmu faali tubuh, oh, kalau orang sedang memberi, akan keluar hormon yang membuat hati gembira.

Hari ini berbagai model berbagi banyak sekali. Tetapi hati masing-masing yang tahu pamrihnya di mana ada atau tidak. Kalau memang etosnya memberi, sungguh luar biasa mestinya kondisi sosial ekonomi masyarakat kita hari ini.

Temuan Baru, Disanggah, Lalu Temuan Baru Lagi

Yuni salah seorang jamaah merespons, “Symbolic adalah jalan tengah untuk bersosial media, di saat banyak medsos penuh propaganda dan sudah menjadi alat untuk berbagai kepentingan”.

“Metaverse menurut saya mempertemukan generasi dulu dan generasi sekarang. Kalau di tradisi ilmiah kan ada temuan, kemudian disanggah, kemudian lahir temuan baru. Dulu di era Bunda misalnya, kalau sregep, dapat pekerjaan nanti hidupnya menghasilkan. Berbeda dengan generasi sekarang, kalau sregep berkreativitas, kelihatannya sedang bermalas-malasan mantengin layar, tetapi ternyata diam-diam menghasilkan.

Bagi saya, Juguran Syafaat adalah ruang yang memerdekakan untuk kita mengunduh ilmu-ilmu dan temuan-temuan baru. Ruang ini adalah jalan tengah di saat institusi pendidikan sudah tidak bisa sama sekali merdeka dari jerat kurikulum,” paparnya.

“Ya betul, di aplikasi Symbolic ya sebetulnya seperti ini, sinau bareng, hanya bentuknya virtual,” Anjar merespons.

Kalau teman-teman HP-nya belum leluasa untuk menginstal aplikasi baru, bisa kunjungi akun Instagram @symbolic_id. Ini ada cicipan-cicipan di mana topik-topik yang sedang hype dikupas dari sudut pandang yang berbeda dan lebih substansial. Misalnya, tentang multitasking vs monotasking, lalu ada 1st brain & 2nd brain, dll.

Pengalaman pribadi saya berinteraksi di aplikasi Symbolic saya menyaksikan betapa Mas Sabrang sangat sungguh-sungguh mentranformasi pemahaman-pemahaman yang disampaikan oleh Mbah Nun. Mas Sabrang mem-breakdown banyak sekali hal, yang itu sangat membantu kita mengkontekstualisasikan pemahaman Maiyah ke dalam kebutuhan masing-masing.

Wande Gusut Mider

“Ngapura kiye aku tekane telat. Bar kejadian,” ujar Kang Agung Totman. “Kejadian apa kang?,” tanya moderator. “Kejadiannya adalah.. kumpulan — rapat, haha,” Kata Kang Agung, disambut ketawa teman-teman.

Ngomong-ngomong tentang “Ngunduh Wohing Momentum” yang merupakan tema malam hari ini, ya, momentum, ini terkait dengan ilmu titen, alias ilmu membaca kejadian. Kejadian yang dimaksud yang berkaitan dengan diri kita sendiri dan keseharian kita, lebih jauh sampai pola-pola warisan leluhur yang ada di berbagai primbon.

Mas Najib atau kerap disapa dengan nama Mas Jibrog membaca kejadian mengenai fenomena maraknya mainan miniatur truk oleng yang banyak diproduksi oleh UKM di Purbalingga.

“Saya ini pekerjaannya sales. Sewaktu awal pandemi, sales dibuat pusing banyak gang-gang diportal. Lalu saya mencoba berpikir tentang hal lain,” ujar Mas Jibrog.

“Fenonema truk oleng yang ramai di medsos ternyata ditangkap oleh sejumlah pengrajin mainan di Purbalingga. Dulu saya pikir cuma bakal ramai beberapa sesaat, tetapi ternyata ini sudah sampai dua tahun masih ramai saja mainan miniatur truk oleng made in Purbalingga,” ujarnya.

Moderator bertanya, apakah Kang Jibrog memproduksi juga mainan truk oleng? Ia menjawab: tidak. Ataukah ikut berjualan di online? Juga dijawab: tidak.

“Saya mencoba bikin akun Shopee malah di-banned. Ya sudah saya sadar diri lah, saya bukan di situ,” Ia menjawab, jamaah gerrr tertawa. Betapa menakjubkan bagi saya, di tengah grand momentum digitalisasi akibat pandemi, ia hanya mengambil ceruk peluang yang bisa dibilang amat kecil dari hasil riset yang ia lakukan, yakni berjualan lakban.

Tapi jangan dianggap kecil. Mas Jibrog sendiri mengaku takjub dengan begitu banyaknya pedagang online rumahan di Purbalingga. Data ia dapatkan dari rekan-rekan kurir ekspedisi. Nah, semua itu adalah market potensial bagi lakban dagangannya.

“Lalu, apa lagi selain lakban, Kang?” moderator kembali bertanya. Kang Jibrog yang sepanjang sharing dengan basa Jawaan, tetapi malah lugas dan asyik disimak. Katanya, riset terbarunya adalah mengenai momentum ASO. “Apa itu, kang?,” moderator bertanya lagi. ASO adalah analog switch off adalah yakni momentum baru bagi Mas Jibrog untuk menjajakan Set Top Box, alat untuk mengubah TV analog menjadi TV digital.

Ia memaparkan bahwa TV analog di Banyumas dan Jateng VII lainnya menurut regulasi akan switch off total mulai 22 April 2022 nanti, katanya. Jadi memang ini adalah momentumnya untuk berjualan set top box, hingga jasa pasangnya sekalian.

Ia mengaku sudah riset sejak dua tahun lalu. Sampai mempelajari peraturan Menteri termasuk UU Cipta Kerja bagian pita frekuensi. “Yang kiranya menguntungkan ya saya pelajari,” ujarnya. Tak lupa juga riset harga pasar, termasuk yang ada di marketplace.

Kang Agung menyarankan Mas Jibrog supaya menghubungi Mas Ifa supaya dibuatkan logo untuk warungnya yang mempunyai nama Wande Gusut Mider.

Determinasi Belajar

Kemampuan mendeterminasi apa yang harus dipelajari dan apa sebetulnya yang sedang dituju inilah yang kemudian diulas dengan apik oleh respons dari Yuni. Ia yang sedang menyelesaikan disertasinya tentang Maiyah bahkan mengaku, di luar disertasi, saya juga mencatat banyak hal. Salah satunya adalah keunikan metode pembelajaran di Maiyah.

Saya mencoba membahasa ulangkan apa yang dibahas di Symbolic mengenai pedagogi, androgogi dan hetagogi. Bahwa zaman dulu, eranya generasi X sekolah, pembelajaran yang paling kompatibel mungkin adalah classroom atau berbasis pedagogi. Lalu belakangan ini classroom diefektifkan dengan adult education, dimana peserta didik juga ikut terlibat di dalam jalannya proses belajar, fungsi guru adalah sebagai fasilitator (Androgogi).

Dan sekarang, kelihatannya yang paling kompatibel adalah hetagogi, dimana setiap subyek pelaku belajar melakukan determinasi sendiri apa yang perlu dipelajari dan untuk tujuan apa. Mas Sabrang menyebut ini dengan ‘prasmanan ilmu’. Dan Mbah Nun jauh-jauh hari sudah menyiapkan wadahnya berupa ‘sinau bareng’ sepaket dengan mindset dasar jamaah Maiyah ‘kedaulatan berpikir’.

Spirit Saling Mengapresiasi

Berbeda dengan pelanggan lakban Kang Jibrog yang kebanyakan adalah ibu-ibu rumah tangga penggiat Shopee, sharing berikutnya dari Fikry, sama-sama pelaku marketplace, tetapi dia marketplace fotografi.

“Kalau yang dikejar hanya like dan comment, itu banyak kecewanya. Itu bisa-bisa orang berhenti berproduksi. Karena seberapa beratpun effort seorang kreator membuat karya, ujung-ujungnya akan tetap kalah oleh foto paha dan belahan dada,” urai Fikry.

“Tapi, menariknya di luar sana ada orang-orang yang benar-benar appreciate dengan apa yang kita create. Jadi, tiba-tiba ada orang kontak seorang produser band lokal di Ohio, Amerika Serikat dan mengapresiasi foto yang aku buat. Kita ngobrol, ditanya konsepnya bagaimana, yang asiknya lagi di situ ada negosiasi sampai dia mau bayar dengan $200.

Sebenarnya gampang saja dia mengkonsep itu dengan resources di sana, tetapi mungkin memang dia ingin memberikan apresiasi orang lain. Apresiasi kepada karya yang dihasilkan dari ide yang orisinal. Ini adalah hal yang luar biasa,” urainya lagi lebih panjang.

“Ini relate dengan spirit Koperasi KJS yang sedang kita sama-sama bangun. KJS yang baru saja RAT tahun ke-1 siang tadi, menurut saya penting untuk mendukung rekan kita satu sama lain. Bentuknya sebenarnya sederhana, kalau ada teman lain mempunyai unit produksi, dibantu untuk membesarkannya.

Kalau membeli produknya, tidak usahlah pakai ‘harga teman’. Penjual langsung bicara net-price saja, nggak usah pakai nego-nego, pembeli juga langsung saja buka kesanggupan angka maksimal membeli.

Ini jadi satu metode yang baik untuk bisa saling menghidupkan produk dan jasa teman-teman di dalam satu komunitas, saya berharap sekali Koperasi KJS ini bisa masif dan powerful. Pada saatnya nanti kita akan meng-handle project dengan angka kapital yang besar. Makin progresif ke depan,” Fikry menuntaskan uraiannya.

Kontekstual Learning

Bersahut respons berikutnya adalah dari Mas Dandy, seorang pelaku mining di crypto, ia menjelaskan dengan sederhana mengenai dasar-dasar blockchain, mata uang crypto, hingga NFT.

“Crypto currency artinya mata uang crypto. Ada bitcoin, dll. Dianalogikan, mata uang crypto itu seperti berlian, karena sama-sama bisa ditambang (mining) dan dapat dijual belikan. Bedanya berlian itu nyata, crypto itu digital.

Kalau NFT itu hasil karya yang diperjualbelikan dengan metode mata uang crypto. Mungkin di antara teman-teman di sini ada yang trader atau holder mata uang crypto. Lalu, kalau airdrop itu bisa dianalogikan seperti giveaway, dengan mengerjakan sebuah chalenge bisa mendapat reward berupa koin tertentu,” paparnya.

Dandy sendiri adalah seorang pelaku mining koin SLP. “Metode mining-nya itu dengan game,” ujarnya.

Lalu Jibrog bertanya, “Mas, mata uang crypto kena nggo tuku beras?,” tanya Jibrog kepada Dandy. “Bisa, kalau sudah dicairkan.”

Kalau malam ini sedikit-sedikit kita membahas NFT bukan berarti latah, harapan minimalnya adalah, terhadap temuan-temuan baru yang datang, kita tidak serta merta mengekor pada narasi-narasi pejabat dan narasi influencer. Tetapi kita memiliki pengetahuan orisinil yang kita bangun sendiri. Jadinya belajar kita ada konteksnya dengan kebutuhan, masalah dan peluang yang sedang kita hadapi.

Goal Globalisasi Sudah Terjadi

Yuni kembali urun respons, “Goal globalisasi di tulisan-tulisan yang pernah saya baca, memang goal globalisasi adalah yang terjadi hari ini. Di tahun 90-an awal mereka telah meramalkan apa yang terjadi hari ini. Dunia sudah tidak terbatas ruang dan waktu. Dan semua sama.”

“Belajar dari pengalaman empiris Mas Jibrog, polanya adalah: Awalnya dia mengobservasi sampai mendapati kesimpulan berarti lakban sekarang penting, TV digital sekarang penting. Setelah sadar terus Ia bertindak. Nah, hasil dari tindakan ini bisa menjadi keuntungan atau rezeki. Urut-urutannya adalah, membangun konteks, menjemput peluang lalu menyadari bahwa ia harus bertindak.

Selain itu, pe-er kita hari ini adalah bagaimana menangkap sebuah momentum tanpa harus kehilangan jati diri. Jati diri sebagai wong Jawa, jati diri orang Indonesia, dll. Dan bagi Saya Juguran bagi saya adalah sebuah budaya lokal sesuai jati diri, yang sudah diobservasi, bertindak dan menjadi keuntungan bagi semua yang hadir pulang membawa ilmu,” tandasnya.

Supaya Kita Tidak Capek Nandur

Berikutnya respons jamaah dari Tata, Ia menanggapi bahwa tentang kontekstual learning, kemajuan teknologi dan pe-er sosial hari ini adalah pokok bahasan serius yang ia dapatkan malam hari itu.

Bahwa kontekstual learning adalah ilmu empiris, yang mana hampir sama dengan ilmu praktis, yang berbeda cara mendapatkannya dengan ilmu akademis. Ironisnya itulah yang orang kadang kurang sadari. Dan di Juguran syafaat ini sama-sama kita belajar ilmu empiris dan membuka kesadaran.

Kesadaran terhadap apa? Kesadaran terhadap ngunduh momentum. Yang mana kita di situ harus nandur tanpa pamrih. Ini intisari yang saya ambil sendiri dari sepanjang uraian tadi, agar kita tidak menjadi makhluk yang transaksional, maka kita harus menghargai diri kita sendiri dan menghargai orang lain. Di mana, kalau kita sudah berhasil menghargai diri kita sendiri maka kita tidak akan capek nandur. Dan kalau kita menghargai orang lain, maka orang lain juga tidak capek nandur. Karena dihargai.

“Goal dari tema ini bagi saya, semoga kita bisa saling menghargai satu sama lain, baik dalam berkarya dan berusaha,” pungkasnya.

Menjaga Tetap di Garis Uptrend

Refleksi Akhir Tahun Pengurus KJS di CAUB Baturraden

Di penghujung tahun lalu kami berkumpul di sini, kali ini kami berkumpul lagi di Camp Area Umbul Bengkok di Kawasan desa wisata Karang Salam, Baturraden. 

Sedikitnya ada dua hal yang dibahas tahun lalu, yang satu sudah terwujud dan yang satu tidak. Membangun infrastruktur dasar datakrasi desa adalah yang terwujud, dan membuat podcast adalah yang tidak terwujud. 

Podcast dalam artian tontonan orang omong-omong memanglah tidak terealisasi di tahun 2021 ini. Akan tetapi, kami satu sama lain saling omong-omong berinteraksi dan mengelaborasi tidak pernah itu ada liburnya setahun ini. 

Salah satu buah penerapan dari omong-omong itu adalah terbentuknya sebuah wadah usaha mandiri berbentuk koperasi yang hari ini dikenal dengan nama KJS. Koperasi Kanca Jumbuh Sedaya (KJS) diinisiasi dan dirintis oleh teman-teman penggiat dan jamaah aktif Juguran Syafaat. 

Mengusung misi kemandirian, koperasi ini dalam setahun sudah menyelesaikan proses legalisasi badan usaha. Bukan sebagai koperasi simpan pinjam, melainkan koperasi Jasa Telekomunikasi. 

***

Apa yang bagi kita adalah progress, bagi orang lain bisa jadi merupakan masalah. Itulah mengapa kerja-kerja keperintisan mestilah bersifat sukarela. Karena menciptakan sesuatu yang baru selalu mendatangkan berbagai sudut pandang yang multi. 

Positif, netral dan negatif. Tiga spektrum itu menjadi bahan refleksi akhir tahun pengurus KJS petang hari kemarin. Momen menjelang peralihan tahun selalu menjadi hal yang penting untuk kita murojaah, membaca kembali dan mencermati lagi apa-apa yang sudah berjalan pada sekali putaran revolusi bumi yang sudah berjalan kemarin. 

Setidak-tidaknya kita tidak bisa mencanangkan hal yang besar di tahun mendatang, tetapi paling tidak kita memastikan proses yang sedang berjalan ini masih pada garis uptrend. Bukan sebaliknya, downtrend. 

Refleksi akhir tahun kali ini dilaksanakan di saung Sinergi, di Kawasan Camp Area Umbul Bengkok atau popular dengan nama Caub. Berada di dataran tinggi Baturraden, bisa memandang view kota Purwokerto dengan kerlap kerlip lampu kotanya membuat obrolan tidak sepaneng. 

Titik berapt program pada tahun pertama KJS adalah menggiatkan anggota untuk menabung dulu. Sembari memenuhi batas minimal modal yang bisa dioperasionalisasi untuk menjalankan bisnis internet.

Semangat menabung sebagaimana pada lazimnya koperasi difasilitasi dalam tiga bentuk simpanan, yakni Simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Simpanan pokok ibaratnya adalah biaya pendaftaran anggota, dibayarkan sekali di awal. Kemudian, simpanan wajib rutin disetorkan setiap bulan. 

Generasi zilenial mungkin lebih familiar dengan konsep ‘tabungan rencana’ dibandingkan dengan simpanan wajib. Banyak bank-bank menawari tabungan wajib bulanan, nanti setelah setahun diberikan bunga. Mekanismenya hampir sama, bedanya kalau simpanan wajib hasilnya bukan bunga, tetapi sisa hasil usaha (SHU). 

Lalu adalagi simpanan sukarela. Ini adalah jenis simpanan tambahan, yang jumlahnya tidak ditentukan dan juga bisa diambil sewaktu-waktu. Begitulah proses kapitalisasi atau pembentukan modal di KJS berlangsung dalam kurun setahun ini.

Selain proses pembentukan modal, apalagi yang sudah ditempuh dalam kurun setahun ini? Dari awalnya pra-koperasi dengan pendampingan dari penyuluh Dinas Koperasi Provinsi Jawa Tengah, kini KJS sudah memiliki badan hukum resmi ditandai dengan sudah keluarnya NIB. Selain itu, juga sudah memiliki rekening bank atas nama Lembaga. 

Desa Karanggintung sebagaimana diamanatkan oleh Mbah Nun untuk dijadikan sebagai salah satu laboratorium sosial bagi Juguran Syafaat telah berhasil menerapkan usaha jaringan internet mandiri. Peran KJS di tahun 2022 adalah mendukung proses replikasi untuk pengembangannya. 

Karena koperasi diperbolehkan oleh regulasi untuk memiliki lebih dari satu unit bisnis, maka KJS juga memiliki unit bisnis berikutnya yakni KJS Organizer. Event perdana yang sukses digelar pada pertengahan tahun lalu yakni event pembentukan Lumbung Bumi Alas Pakedjen. 

Selain itu, di dalam kepengurusan, ada tim kecil yang saat ini tengah mempelajari penerapan peer to peer (P2P) lending. Targetnya tidak akan membuat platform investasi seperti Santara atau Tanifund, tetapi minimal bisa memanfaatkan sisa modal yang tidak terserap menjadi fasilitas bantuan modal kerja jangka pendek bagi anggota yang memiliki project atau order tertentu. 

P2P lending atau berbagai skema kolaborasi pembiayaan usaha pemula memang pengetahuan aktual yang saat ini sedang in, amat sayang kalau kita tidak ikut mempelajari dan menguasai ilmunya. 

***

Sejumlah topik menjadi diskursus petang kemarin. Lepas dari prediksi ketercapaian target-target tersebut, kerangka besar dari progress yang sedang ditempuh tidak lain adalah mewujudkan semangat kemandirian. 

Kenapa kemandirian ini penting untuk bukan hanya digagas, tetapi juga diterapkan? Karena di sini adalah lingkungan intrinsik tempat kita berada. Ini bukan persinggahan atau tempat ampiran ngopi, tetapi karena memang kita hidupnya di sini. 

Tanpa berjibaku mewujudkan semangat kemandirian. Maka kita manaruh diri pada kerangjang resiko sebagai komunitas yang bergantung pada kebaikan hati orang lain. Yang harus selalu merengek pada mereka yang lebih berpunya. Ini tidak aman secara martabat. Padahal di Maiyah, martabat adalah satu dari tiga hal paling penting untuk dijaga. 

Nampaknya memang suhu dingin dataran tinggi Baturraden sudah tidak bisa diajak kompromi juga.  Menjelang tengah malam, forum refleksi diakhiri. 

Selamat menyambut tahun baru 2022. 

Sinau Pattern of Life

“Nanti kalau saya datang, ternyata tidak sesuai tema bahasan bagaimana?” Memang pada asalnya Juguran itu tidak memerlukan tema. Hingga kemudian diada-adakan tema adalah supaya lebih memenuhi kepatutan sebagai sebuah forum. Sama halnya, aslinya Juguran tidak membutuhkan sound system, apalagi harus repot-repot menyiapkan gitar dan keyboardSet Lighting juga camcorder untung saja tidak menyewa, merupakan kontribusi inkind.

Kopi dan teh serta nyamikan seadanya, semata-mata sekadar bentuk ngurmati tamu-tamu yang datang. Meskipun, belum pernah dalam sepanjang 105 edisi Juguran Syafaat ada invitasi, “Hadirilah! Banjirilah!”, “Wajib datang loh!”, “Tidak datang, tidak sedulur” pada posternya. Poster semata-masa sebagai media informasi. Kalau-kalau ada yang ngangen-angen datang, sehingga tidak kelewat informasinya.

Biaya penyelenggaraan tidak mendapatkan dari donatur tertentu, meskipun memakai sarana pemerintahan, bukan berarti gratisan, penggiat tetap mengkompensasi biaya kebersihan. Semata-mata dari urunan dulur-dulur yang berkelegaan hati berupa finansial maupun langsung berupa barang yang dibutuhkan. Demi kepentingan akuntabilitas dan transparansi, H+1 catatan keuangan sudah dikirimkan kepada semua pihak yang urun.

Apa gerangan yang ada di balik aransementasi event semacam di atas tersebut? Satu-satunya dugaan motif terkuat dari ‘ambisi’ dulur-dulur penggiat Juguran Syafaat yang bisa ditengarai adalah semata-mata ingin mengantarkan kabar kepada Simbah: Ini di sini anak-cucumu sedang dalam keadaan gembira, Mbah. Ini di sini anak-cucumu dalam keadaan akur satu sama lain.

Identifikasi Atensi Kolektif

Tema Juguran Syafaat tidak dirancang oleh dewan pengarah tema secara khusus. Melainkan berupa sedekah insight: ini kira-kira yang sedang menjadi atensi kolektif di dalam circle jamaah Maiyah yang ada di sekitar apa ya?

Insight itu pun saya yakin tidak selalu presisi. Bahkan mungkin lebih sering melesetnya. Toh, ya mau bagaimana lagi. Sekadar mengajak agar di sebulan sekali di hari Sabtu pekan kedua diseseg agenda-agenda supaya penggiat bisa sore senggang waktunya saja itu sudah kemewahan luar biasa. Almahfum, kerap kebutuhan keluarga tidak bisa dikompromikan untuk keperluan event yang kedudukannya tidak wajib ini. Sebab memang forum ini tidak memiliki hubungan langsung dengan perolehan pengupayaan ekonomi untuk dibawa pulang.

Untung saja forum ini ada tema, ada backdrop, ada dokumentasi. Minimal bisa diutilisasi untuk komunikasi kepada istri di rumah. Bahwa pamit malam mingguannya bukan sedang njagar-njugur tidak jelas.

Meskipun aslinya ya memang tidak jelas. Tidak jelas dalam artian, nyangkruk, ngariung atau njugur di Juguran Syafaat ini meskipun ada tema, tetapi tidak pernah ada penilaian indikator penilaian tingkat kesesuaian bahasan dengan tema yang diangkat.

Lalu, apa yang diukur kalau begitu? Secara subjektif individu, ukurannya adalah probabilitas menghasilkan insight yang relevan dengan solusi atas masalah terdekat yang dihadapinya. Mungkin tidak dari peristiwa kognitifnya, melainkan dari hantaran doa keberkahaan dari Mbah Nun.

Sedangkan secara kolektif, bisa ditengarai dari adanya produksi pengetahuan baru atau munculnya inisiatif baru.

Terima Kasih Sudah Memfasilitasi Hadirnya Mbah Nun

Juguran Syafaat di penghujung tahun ini diikuti jamaah yang sudah terlebih dahulu mendaftar melalui form online. Form ditutup pada beberapa hari sebelum acara karena kuota 70 peserta sudah terpenuhi. Animo kehadiran yang tinggi menjadi semangat tersendiri bagi penggiat yang sudah menyiapkan acara.

Mas Syaiful dari PT. Sarva hadir membersamai dulur-dulur. Fikry menyampaikan ucapan terima kasihnya, karena PT. Sarva telah memfasilitasi hadir kembalinya Mbah Nun di Bumi Banyumas ini. Meskipun ia mengaku, amat ingin bersalaman dan mencium tangan Mbah Nun, tetapi apalah daya, karena pada saat event sedang on duty bertugas.

“Kebahagiaan cenderung merupakan kosakatanya generasi tua, kalau generasi muda, bisa juga temanya menjadi menghantarkan kemakmuran”, Mas Syaiful memotivasi jamaah yang mayoritas adalah usia milenial dan zilenial untuk bersemangat menjadi generasi pengantar kemakmuran.

Ia berkisah singkat, seselesainya menghikmahi keberhasilan dengan kegiatan Launching ‘Desa Mandiri Internet’ Bersama Mbah Nun kemarin, kemudian Ia dan tim terjadwal pergi ke Desa Sirnaresmi di Kasepuhan Ciptagelar, Banten. Bagaimana ia menemukan definisi kemakmuran di masa lalu yang sudah hilang dan ia menemukannya di sana. Adus nang kali, dolanan belet. Itu adalah kemewahan yang tidak bisa terantarkan pada generasi anak muda masa kini.

Ada gap antara generasi tua, generasi menengah dan generasi muda. Kang Agung Jemblung melontarkan candaan “No Disk”. Anak-anak muda ya tidak tertawa. Fikry dan yang seumur yang gerrrr tertawa. No disk itu adanya di era DVD player, anak sekarang mana tahu.

Kemudian Kang Agung menyumbangkan dua lagu, tombo kangen setelah sekian lama jarang hadir di Juguran karena kesibukan roadshow-nya menampilkan Wayang Jemblung kontemporer, sebuah kesenian otentik dari Banyumas.

Bunda KLC menyambung membawakan nomor-nomor lagu. “Open your hearth, open your eyes, open your mind…”. Ia ingin mengajak memotivasi semuanya saja untuk bangkit dari pandemi. “Saya sering manggung di banyak tempat, di panggung-panggung besar. Tapi tidak tahu kenapa ini, di sini sangat nyaman sekali, sampai tidak tahu kok saya menangis”, ujarnya.

Di sesi awal Bunda yang memiliki nama asli Roro Suhartini ini sempat berkolaborasi dengan grup musik “Aum”. Sebuah musik yang dibawakan dengan irama dan frekuensi yang unik, kemudian Bunda menyambung lagu itu secara spontan dengan lirik sholawat. Syahdu.

Selain sebagai musisi, Bunda juga memiliki bimbingan belajar Key Learning Camp (KLC). Arsya dan Elda murid Bimbel yang ikut hadir malam hari itu memberikan sharing, bahwa Bimbel di tempat Bunda ini, bukan hanya mengejar nilai tinggi, tetapi juga menanamkan karakter dan kedisiplinan. Arsya mengaku sudah ikut kursus di sana sejak kelas 7 SMP sampai sekarang SMA kelas 12.

Mas Kucel, vokalis grup musik “Aum” juga mengaku sebagai murid-murid Bunda. Yakni murid kursus dalam hal mempelajari ‘pattern of life’.

Sibuk, Produktif, tapi Tetap Bagi-bagi

Pola hidup yang tidak dipelajari memang mengakibatkan kita tidak jelas arahnya kemana, ikutnya siapa, dan seterusnya. Saya ikut urun view mengenai maraknya budaya tergesa-gesa atau hustle culture. Kalau sibuk keperluannya memang memenuhi target pekerjaan, itu oke-oke saja. Yang jadi persoalan sekarang banyak orang ‘sibuk ora nggenah’ diam-diam tanpa sadar menjadikan sibuk sebagai gaya hidup.

Dulu jaman saya sekolah yang Namanya gaya hidup itu ya nge-Band, atau Basketan. Lah ini, sudah kehabisan semua yang keren dijadikan gaya hidup, maka orang-orang menjadikan gaya hidup baru: Sibuk. Ayuk, kita cermati lagi kesibukan kita masing-masing.

Mas Ifa merespons, “Kalau waktu adalah uang, nek batire ngomong ‘aku langka wektu’, berarti ndeyane emang lagi ora duwe duit, hehe”. Hikmahnya adalah, sesibuk apapun kita, aja kelalen srawung. Seperti apapun bentuk srawung-nya. Terlebih oleh adanya pandemi, beragam cara baru untuk srawung.

Ini batas-batasnya kemudian menjadi jelas, boleh sibuk untuk produktif, bukan untuk pansos. Boleh sibuk, tapi jangan lupakan srawung. Kalau memang kita berada di sebuah circle sosial yang tidak sibuk, sedangkan sebetulnya job kerjaan kita banyak, ya terus jangan jadi di-rem produktivitasnya. Teruslah produktif, lalu distribusikan.

Mencari uang itu tidak salah, promosi di forum ini juga tidak salah. Yang salah adalah kalau mencari uang untuk diri sendiri, orang lain tidak kebagian, kan? Saya mencoba menanggapi salah seorang Jamaah pegiat marketplace yang Namanya Agung juga.

Selain pegiat marketplace, Agung juga aktif Bersama komunitas anak-anak yang ‘tidak keliahatan sibuk’ yakni teman-teman pegiat Airdrop. Tidak sibuk, tapi punya uang, tahu-tahu ngajak makan-makan, begitu dia menceritakan ciri teman-temannya.

Juli, seorang Jamaah Maiyah dari Kembaran, Banyumas juga memberi respons. Bagaimana forum srawung seperti ini adalah sebuah kemewahan. Ia menceritakan seorang penulis di Korea yang mengutus anaknya untuk datang ke Indonesia untuk melihat budaya yang di sana tidak ada dan di sini ada, yakni budaya njugur.

Lalu Lintas Rasa Gembira

Pada akhirnya memang Juguran Syafaat ini adalah tidak beda dengan kita nyangkruk, ya ngariung, ya kongkow di warung atau kafe. Bedanya, kalau kita kongkow 3-4 orang di kafe tak perlu moderator, tak perlu tata suara dan tata cahaya, juga tak perlu time keeper. Tetapi karena yang hadir di sini hampir seratus orang, maka supaya menjadi keindahan, harus diaransementasi sedemikian rupa. Coba, bayangkan jika orang berkumpul hampir seratus orang, tidak ada manajemen forum?

Namun demikian, manajemen forum hanyalah alat. Adapun tujuannya adalah supaya tersambung frekuensi berupa rasa dan hati satu sama lain. Sehingga terjadi lalu-lintas yang menjadi jalan tol bagi terantarkannya kegembiraan. Toh, bukankah ini yang membedakan antara kita hadir njugur di sini dengan ketika kita nonton podcast-nya tokoh-tokoh dengan subscriber bejibun?

Pukul 23.30 sesuai rundown Juguran dipungkasi dengan ‘Hasbunallah’. Keesokan harinya Mas Syaiful mengapresiasi kesannya hadir pertama kalinya di Juguran, “Ini perlu persambungan satu sama lain, bagaimana kalau kita bikin desa virtual”.

Mercusuar Arah Bersandar

Tampak secerah kegembiraan dari lighting set yang sudah 18 bulan tersimpan tidak terpakai di gudang. Hari itu ia dilap lagi dari ramat dan res-res. Lalu selepas Maghrib ia sudah bertengger lagi di bawah langit-langit Pendopo Wakil Bupati Banyumas. Juguran Syafaat melingkar lagi di sini. Lighting On!

Siapa yang tidak rindu dengan tempat yang sudah dilewatkan lebih dari Sewindu ini. Menghadapi liak-liuk kehidupan dengan segenap asam-garamnya. Meski tak pernah menawarkan penyelesaian praktis dan to the point dari setiap insan-insan yang haus dan dahaga akan solusi masalah pribadi. Tetapi, seperti misi awal forum ini digelar, setidaknya di tempat ini bisa menjadi mercusuar yang menunjukkan arah memberitahu di mana harus sejenak berhenti dan bersandar lalu kemana harus meneruskan arah lagi.

Segala nilai ketidaksempurnaan dalam pengupayaan terselenggaranya forum ini termaklumi oleh fadhilah keistiqomahan. Tak ada forum serupa ini di sini yang hingga 103 edisi tak pernah putus meregang konsistensi. Setiap suguhan yang kurang ‘daging’ atau relevansi topik yang terlalu menyimpang dari ekspektasi di balik benak tak menjadi soal. Semua terlebur oleh energi dari setiap ketulusan yang masing-masing suguhkan. Memangnya apa sih kepentingan yang tersembunyi ada di sini?

Cukuplah kepentingan terang-terangan saja yang ada, yakni serajuk ungkapan kepada Tuhan: Ini memang pastilah bukan bernilai apa-apa, tapi semoga Engkau berkenan mencatatnya sebagai sebaik-baik sedekah diri, sebagai sebuah dedikasi dari orang-orang yang mungkin jauh dari maqamat sosial atas ekspertasi.

Taat Protokol Keafiatan

Sebanyak 30 orang jamaah yang sudah mendaftar terlebih dahulu melalui online form yang link-nya disebar melalui poster “Keberuntungan Eksponensial” satu persatu hadir di lokasi. Sejumlah 13 orang jamaah hadir dadakan mengisi slot kapasitas tempat duduk yang diatur dengan tanda lakban.

Tak lagi asing dengan termogun dan handsanitizer, semua peserta melewati tahap tersebut sebelum kemudian mengisi daftar hadir. Ini adalah kenormalan baru di dalam kebiasaan kegiatan Maiyahan di Simpul Maiyah Juguran Syafaat. Tetapi toh semuanya bisa beradaptasi dengan nyaman. Stok masker tidak lupa disiapkan oleh penggiat, kalau-kalau ada yang talinya putus, atau tertawa lepas kendali sehingga perlu berganti masker, jamaah bisa mendapatkannya di meja registrasi.

Dokumentasi video tidak lagi ditayangkan secara live, selain memperhitungkan durasi yang berlangsung lebih panjang, juga agar forum lebih gayeng, karena narasumber dan setiap perespons tidak perlu berhadap-hadapan langsung dengan UU ITE tentu saja. Sebab ini forum “keluarga”, bukan live talkshowvlog atau podcast. Jamaah yang terpaksa tak mendapat kuota kehadiran, meski tak dapat menyimak live-Youtube tetapi masih bisa menyimak live-twit di @JuguranSyafaat pada hastag #JSOkt. Atau menyimak Instagram Story yang dibagikan oleh jamaah.

Tak perlu fa-fi-fu briefing, penggiat menempatkan pada pos tugasnya masing-masing. Tampak cak-cek sat-set mereka berkompetisi mengerjakan kualitas peran terbaiknya. Semata-mata bukan supaya menjadi yang paling unggul, melainkan semata agar menjadi pembangun cuaca kegembiraan yang baik satu sama lain.

Better Living

Tilawah Quran Surat At-Taubah menjadi pembuka forum. Dilantunkan oleh Kukuh dan Karyanto. Lalu dilanjutkan dengan Sholawat diiringi dengan petikan gitar oleh Hirdan. Malam hari itu hadir Bunda KLC yang membawakan lagu-lagu diiringi oleh gitaris Nadasumbang.

Bunda juga memberikan sharing bagaimana hempasan ekonomi membuat ia harus menggila mengerjakan solusi semasa pandemi. Lagu yang dibawakannya berjudul “Better Living” dan “Better about You”. Gitaris Nada Sumbang dan rekan saat ini sedang merilis kumpulan cerpen “Omong Kosong di Beranda” dan sebuah CD Album bertajuk “Proyek Keji”. Jamaah yang hadir bisa mendapatkannya di Pojok Merchandise yang juga gelar lapak malam hari itu.

Bagas, salah seorang Jamaah yang hadir memberikan sharing-nya. Bahwa selama pandemi ia merintis kegiatan kewirausahaan dengan mendapat bimbingan dari Wakil Bupati. Ini menjadi pengalaman yang ia merasa merupakan hal yang memberdayakan dirinya. Ketika mengamati proses diri sendiri, kesempatan mendapat kemudahan dan keberuntungan yang di luar dugaan adalah tidak terlepas dari peran Allah dan rasa bergantung kepada-Nya.

Makna Pasrah

Ditandaskan pula oleh Mas Agus Sukoco malam hari itu bahwa pertimbangan diri di dalam mengambil setiap keputusan haruslah mengacu pada “ini Allah lega tidak? ini Allah ridho tidak?”. Jadi tidak hanya mengacu pada belief system yang terbentuk di pikiran sendiri.

Mas Agus juga mendekonstruksi makna pasrah. Pasrah justru adalah ketika diri kita berani mengambil sebuah ikhtiar. “Dengan kita memasuki zona tumbuh, maka itu mempeluangi kita mendapatkan keberuntungan yang berlipat-lipat”, ujarnya.

Senada dengan itu, Kukuh menyampaikan satu kalimat Mas Sabrang yang dalam setahunan ini menjadi “jimat” proses penumbuhan dirinya, “Impian di masa depan akan mempermudah kita dalam menentukan prioritas hidup kita hari ini”.

Mas Agus juga kembali mengelaborasi kesadaran mikrokosmos. Bahwa manusia dan alam, yang berposisi subjek itu manusia, meskipun secara kasat mata yang terlihat lebih besar adalah alam semesta tetapi yang lebih menentukan tetap manusianya. “Mengubah jiwa (nafs), maka dapat mengubah keadaan”, kata Mas Agus substantif.

Kebahagiaan yang Tidak Ada Bosannya

Kalau menghitung dampak perolehan dari sebuah majelis ilmu, sintesis pengetahuan baru, adonan energi jiwa yang baru, small sense of pride dari mengerjakan hal sederhana yang bermakna, rezeki sambung sedulur, public exposure hingga keridloan Allah atas persembahan keikhlasan dari setiap peran dari yang hadir, maka biaya penyelenggaraan forum Juguran Syafaat ini sejatinya amatlah murah.

Terima kasih kepada tim Java Exposure Studio yang meskipun tidak ketempatan studio live streaming-nya lagi tetapi tetap mendukung secara lengkap dan probono untuk sound-system dan multimedia. Juga kepada Pak Toto, Biyung Pendopo dan segenap tim kebersihan menjadi bagian dari keluarga Juguran Syafaat. Tak lupa juga kepeada petugas satuan pengamanan, Pak Satpol dan Pak Intel sehingga semua berlangsung aman dan terkendali.

“Kebutuhan utama kita adalah kembali ke Tuhan, tetapi kita dihibur dengan kebahagiaan motor, mobil, sepeda. Tetapi hal itu hanya sebentar saja bosan. Berbeda dengan manifestasi kehadiran Tuhan”, ungkap Mas Agus Sukoco.

Karakter Baik yang Bertemu Nasib yang Buruk

Ini adalah kisah tentang seorang filsuf muda dari Kota Knalpot. Jangan dulu menghakimi hidupnya gagal. Saya menerka ia hanya terlahir terlambat era. Kemampuannya mentransformasi gagasan pemikiran ke dalam metodologi pengorganisasian sosial jelas akan memukau pendana lembaga swadaya masyarakat nasional bahkan global jika ia berkiprah setidaknya pada periode-periode akhir Orde Baru.

Atau sebetulnya di era-era ini keahlian mentransformasi nilai-nilai menjadi kerangka-kerangka strategi gerakan tersebut sebetulnya masih relate dan amat dibutuhkan. Hanya saja si filsuf muda ini kalah rebutan panggung popularitas, inefektif sebab terjebak pada guilty feeling akibat merasa minim prestasi.

Lepas dari semua itu, kita tidak elok menghakimi orang dari kondisi apa adanya dirinya hari ini. Terlebih orang seperti filsuf muda yang satu ini yang ia memiliki ‘growth mindset’. Tidak seperti kebanyakan kalangan mainstream yang terjebak pada ‘fixed mindset’.

Febri Patmoko, salah seorang penggiat Maiyah, pada Juguran Syafaat edisi ke-101 di Sabtu malam (14/8) yang lalu menanggapi fenomena filsuf muda ini dengan mengurai tiga tipologi manusia, sebagai berikut:

“Si A sebenarnya nggak jelas manusia apa, perannya apa, tetapi dia tertolong oleh nasib baik, jadi seolah-olah masyarakat mempersepsikan dia orang yang berhasil,” ujar Febri.

“Padahal objektifnya, dia manusia yang belum jelas kontribusinya,” terangnya.

“Lalu ada orang yang karakternya kuat. Akan tetapi nasibnya buruk. Sehingga dipersepsikan masyarakat sebagai orang yang gagal,” lanjutnya.

Tetapi ada juga tipologi ketiga menurutnya, “Orang yang karakternya bagus, passion-nya jelas, fadhilah yang Allah berikan padanya jelas dan dia berhasil mengatasi pertarungan yang keras di dunia atas nasib. Nasib ada di bawahnya.”

Autokritik, Sebuah Proses yang Looping Terus-Menerus

Pada Majelis Ilmu Juguran Syafaat malam hari itu yang mengangkat tema “Pil Pahit Autokritik” diskusi berlangsung gayeng dan renyah. Melalui Zoom Forum, masing-masing penggiat berbagi sudut pandang dari proses menstrukturkan pengalaman masing-masing. Kak Kasito amat bersemangat menyampaikan perkembangan komunitas Jagad Bocah yang ia asuh. Kini yang terbaru ada derivasi kegiatan yakni Jagad Rahayu yang berkegiatan di dunia UMKM, dan ada juga Jagad Tani.

Mengambil dari Mukadimah, Saya ikut urun pantikan diskusi dengan menyampaikan bahwasanya kalau mendengar autokritik itu jangan langsung pikirannya adalah penghakiman diri sendiri, menyayat-nyayat jiwa dengan silet rasa bersalah. Bagaimana kalau kita mencoba membuka kemungkinan pemahaman bahwa autokritik adalah sebuah proses appreciative learning.

Ya, appreciative learning tidak melulu artinya kita memberikan self-reward. Itu lazim-lazim saja pada usia kanak-kanak. Pada orang yang jiwanya mendewasa, meneliti hal-hal yang perlu evaluasi di dalam diri, dan mendapatkan poin-poin evaluasi diri, bukankah itu sebuah reward juga? Tidak saya sampaikan di forum kemaren, tetapi saya ungkapkan di tulisan ini analogi mengorek mulut sesudah makan dengan tusuk gigi, ketika mendapatkan kotoran sisa makanan di gigi, bukankah kita feeling good? Bukankah itu juga bentuk appreciative inquiry?

Supaya terlihat berdinamika, Bung Febri merespons pantikan saya dengan memberikan sebuah disclaimer untuk autokritik. Iya, autokritik adalah hal yang bagus dilakukan, katanya. Akan tetapi, proses autokritik baru bisa efektif ketika dikerjakan oleh orang yang sudah bertemu dengan passion atau fadhilah dirinya. Ia sudah menemukan koordinat diri yang tepat pada peran hidupnya. Kalau koordinat yang tepat belum didapatkan, ya kemungkinannya hanya dua, dia akan menyalahkan orang lain atau mengalami guilty feeling.

“Tetapi sepemahaman saya, orang yang menemukan koordinat dirinya itu tidak banyak,” ujarnya. “Berpikir tentang Corona saja gagal, apalagi berpikir tentang Allah dan bagaimana menemukan maksud Allah dan peran yang dititipkan di dalam diri,” tandasnya.

“Tetapi Bung Febri,” kali ini Bang Fikry giliran unmute untuk ikut memberikan perspektif, “Sesuatu yang saya rasa amat wagu jika mengatakan ‘saya sudah menemuaan koordinat diri’. Namun, yang ada adalah orang lain yang memberikan apresiasi, ‘dia sudah menemukan kordinat dirinya’. Misalnya, kita melihat Mbah Nun sudah selesai menemukan dirinya. Tetapi Mbah Nun melihat diri sendiri pasti mempunyai ukuran-ukuran sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan ukuran pandang orang lain. Kalau Mbah Nun merasa sudah selesai, berarti Beliau berhenti belajar. Sementara hal itu tidak terjadi, justru Beliau yang paling sungguh-sungguh belajarnya dibandingkan kita semua.”

Bang Fikry mengurai bahwa autokritik adalah sebuah proses yang looping. Muter terus itu dan di dalam putaran itu ada dua roda gigi, yakni mengapresiasi diri dan guilty feeling. Dua hal yang berkebalikan itu silih berganti saat mengamati hal-hal yang harus dikritisi di dalam diri. Dari proses looping terus itulah kemudian perbaikan diri memungkinkan untuk terjadi.

Jadi, tahap-tahapnya adalah seseorang mulai dari menemukan koordinat peran diri, lalu mengerjakan apresiasi diri, lalu melakukan evaluasi perbaikan diri. Begitu bukan? Uncle Hirdan mencoba mengkonfirmasi.

Membuat Target Pendek yang Terukur

Saya dan Bang Fikry sependapat bahwa penemuan atas koordinat diri yang tepat adalah sebuah peran yang dinamis. Bisa saja tahun ini kita berdiri pada sebuah koordinat, tahun mendatang berpindah atau bertumbuh. Jadi, tidak usah berdebat sudah atau belum menemukan koordinat peran diri yang paling tepat. Sedangkan Uncle Hirdan dan Bung Febri berpendapat berbeda, pastikan menemukan alamat identitas dan personalitas diri dengan tepat baru kemudian mengerjakan autokritik yang memberdayakan.

Yang kemudian menjadi PR bersama, mengapa proses mengenali diri sendiri, merumuskan personalitas dan identitas, passion atau fadhilah begitu menjadi tantangan yang berat. Sudah dari beberapa tahun yang lalu Maiyahan menggulirkan tema menemukan fadhilah diri, tetapi kita belum lulus pada proses menemukannya.

Maka tips operatif yang saya tawarkan adalah, bagaimana kalau yang penting sekarang ini kita terus melaju ke depan sebagai seorang pembelajar. Daripada kita pusing dengan klaim sudah menemukan atau belum menemukan koordinat paling tepat bagi diri, tetapi kita bergerak sambil membuat target-target jangka pendek yang lebih mudah diukur.

Jangan-jangan dengan mengerjakan itu, membuat ukuran-ukuran ketercapaian yang sederhana, eh, tahu-tahu kita sudah tergolong jadi orang yang sudah menemukan fadhilah diri. Atau sudah berada pada koordinat peran diri yang paling tepat.

Di Juguran Syafaat kita tidak sedang mencari rumusan yang paling presisi. Meskipun digelar dalam format online, bukan juga sedang membuat podcast inspirasi. Semata-mata ini adalah ruang silaturahmi dan berbagi peran dalam rangka membangkitkan swarm intelegent alias kecerdasan kolektif.

Manifestasi kecerdasan kolektif tentu saja bermacam-macam. Yang paling sederhana adalah, dengan kesediaan menuangkan pengalaman keseharian yang dilalui ke dalam diskusi maka akan terhimpun perspektif-perspektif dari titik pandang berdiri yang berbeda satu sama lain. Dari ragam perspektif tersebut maka ruang yang luas dan lega yang dibutuhkan bagi lahirnya insight-insight yang relate dengan kebutuhan masing-masing dari yang terlibat pun kemudian tercipta.