Hidup saya kok begini amat, yah! Begitulah seringkali orang menggerutu atas keadaan yang menimpa berupa kemalangan terhadap dirinya. Takdir beruntung dan takdir malang adalah dua sisi mata uang yang mesti dihadapi setiap orang di dalam mengupayakan apapun saja. Orang yang maunya beruntung saja, enggan mendapat kemalangan, seringkali berujung pada seseorang jadi tidak melakukan sesuatu.
Padahal, bagaimana bisa mendapatkan sesuatu kalau seseorang enggan melakukan sesuatu? Oleh karenanyalah banyak potret disekeliling kita, orang yang banyak takdir malangnya justru nasib hidupnya lebih beruntung dibanding orang lain disekelilingnya. Ia nandur lebih banyak, ia panen lebih banyak pula.
Lagipula, apakah malang itu adalah benar-benar malang dalam artian kondisi yang kita hadapai memang benar-benar menyedihkan? Berapa sering orang merasa malang hanya sebab ia membayangkan ekspektasi yang terlalu tinggi, sedangkan yang mampu ia gapai terlalu rendah dari yang ia bayangkan. Maka berceletuklah ia, begini amat, yah!
Maka ada baiknya memang kita memperbanyak alat ukur kemalangan. Jangan kuper. Itu tidak sehat. Kenali proses orang lain, teliti, amati sebanyak mungkin orang. Oh iya yah, di sana ada yang berproses lebih keras, tetapi hasilnya jauh lebih sedikit. Oh iya yah, kalau Cuma malang begini mah belum ada apa-apanya ternyata.
Kita butuh memandang lebih luas atas nasib dan takdir yang berlangsung di luar diri kita. Setidaknya itu bisa menjadi modal membuat cara pandang yang tidak cupet dan sempit atas apa yang sedang kita hadapi. Sebab kita butuh membuat keputusan-keputusan kecil supaya kita tidak berhenti. (Rizky D. Rahmawan)