Anjuran awal untuk Stay at Home kemaren hanya dua minggu. Wajar bila kuda-kuda kesiapan kita ‘masuk gua’ hanya sepanjang rentang itu. Setelah hari ini memasuki minggu ke-5 Indonesia memasuki masa ‘hidup enggan, lockdown tak mau’ kabar kawan-kawan dari beberapa kota mengatakan orang-orang mulai berhamburan ke kota. Jenuh alasannya.
Selain jenuh alasan utama, alasan lain yang mungkin terbesit enggan terungkap adalah karena sediaan dapur yang mulai kerontang. Terutama kawan-kawan aliran ‘Ora obah, ora mamah’, yakni diantara kaum daily worker.
Mas Sabrang pada sebuah sesi virtual gathering menyampaikan. Respons menghadapi krisis itu terbagi dua, satu merasa diri menjadi korban, kedua mengambil sikap jadi pengubah keadaan. Nah, ini jenis alasan berikutnya lagi. Orang-orang yang semula memilih pasif mengamankan diri agar tetap selamat meski menjadi korban, kemudian seiring berjalannya waktu mulai sadar bahwa ia harus bangkit dari selimut, mengambil peran, mengubah keadaan.
Begitulah, memang manusia adalah makhluk yang dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk cepat beradaptasi. Kalau kelamaan diam, badan pegal-pegal jadinya. Setelah memotret keadaan maka naluri untuk mengambil sikap pun muncul.
Tentu saja kita bukan orang-orang yang berada di pusaran kekuasaan. Bukan ring satu dari pemegang the strong intervensi. Kita hanya bisa sekedar menuruti naluri. Kadarnya ndeder-ndeder perubahan keadaan. Dalam segala levelnya.
Atas apa yang kita kerjakan hari ini setelah memutuskan bangkit dari berdiam diri, resmi untuk mengambil sikap mengubah keadaan, kita hanya bisa berharap, semoga kelak beberapa waktu ke depan, semuanya berbuah signifikan. Biar sejarah yang akan menutur heroisme kita, biar momentum yang menggulungnya jadi bola salju perubahan besar. Tetap kita bertindak dengan berhitung kapasitas diri dan hitung-hitungan sumber daya yang sanggup kita jangkau.
Tak perlu terobesesi jadi pahlawan keadaan. Sebab obsesi seringkali membuat jadi kita kesiangan. (Rizky D. Rahmawan)