Rindu Jumatan, rindu Shalat berjamaah ramai-ramai di Masjid, demikian satu dua tagline di status WA, FB atau media sosial lainnya. Tentu ini menghadirkan sebuah “penelangsan” tersendiri. Saya kira sebagian banyak orang, termasuk kita merasakannya sendiri sesuai dengan dosisnya masing-masing. Lebih-lebih apabila kita teruskan perasaan tadi dalam menyambut bulan Ramadhan yg tinggal hitungan jari lagi.
Jamaah shalat taraweh yg biasanya akan berjubel di masjid dan mushola di minggu pertama sampai tidak tertampung akan kita rindukan, suara guris anak-anak di tengah prosesi shalat taraweh juga akan menghadirkan rasa rindu. Sudah terbayang besok akan timbul pertanyaan dalam hati, “kok sepi”.
Dan akan lebih baik jangan kita terus-teruskan membayangkan rasa “penelangsan” tadi pada momentum idhul fitri kelak. Karena apa? Itu akan menghadirkan perasaan yg berkecamuk lagi. Itu nyata dan hampir bisa dipastikan terjadi kalau melihat dr larangan berkerumun oleh semua pihak dalam upaya menanggulangi wabah ini.
Berkaca pada apa yg sedang di alami oleh negara-negara di belahan dunia sana, karena keteledoran dan menganggap enteng Virus ini, mengedepankan keyakinan tapi aslinya ngawur tanpa perhitungan, kuburan massal, orang meninggal terpapar virus setiap waktu, setiap hari.
Sungguh tidak bisa kita bayangkan 150 orang meninggal setiap hari, dan dalam proses pemakaman butuh SOP yg tidak sembarangan, krna akan beresiko penularan yg lebih mengerikan lagi, sementara sumber daya terbatas, lalu ketika berganti hari mayat terus bertambah, dan bertambah terus berlipat-lipat.
Kemudian kita berdoa kepada Allah SWT agar segera diangkat Virus ini dr dunia. Wabah yg memberikan kita kritik paling ekstrem, paling bertentangan dengan apa yg ideal selama ini kita gaungkan tentang utama-utamanya dalam menjalani kehidupan.
Hari ini, anjuran bijak untuk memperbanyak silaturahmi karena itu akan memanjangkan umur dan menambah rezeki, adalah sebuah hal yang bertentangan dengan kondisi. Utamanya kita shalat adalah berjamaah, karena dengan jamaah maka kita akan mendapatkan 27 derajat apabila dibandingkan shalat munfarid atau sendirian.
Pun begitu dengan berjabat tangan lambang keramahan, menebar senyum kepada siapa saja tanpa pandang bulu pun menjadi sebuah pelanggaran karena kita diwajibkan memakai masker, kalau tidak akan ditegor dan di cap pembangkang, ngeyel. Hukum fiqh bergeser karena dalam keadaan darurat seperti ini. Apa yang dulu lumrah menjadi larangan, apa yg diwajibkan dan fatal apabila ditinggalkan, sekarang dibolehkan. Ada apa ini?
Tentu kita sudah tahu semua bahwa Allah SWT itu sangat ekstrem. Kepada kaumnya Nabi Nuh AS, Allah begitu ekstrem menyadarkan manusia dengan menenggelamkan seisi dunia dengan banjir. Seisi dunia, musibah dunia, demikian orang menyebutnya. Jika kaumnya Nabi Musa AS, Nabi Luth AS, Nabi Sholeh dengan badai yg menghancurkan tubuh seprti halnya kapuk itu bersifat regional, seperti halnya musibah Tsunami di Aceh, tapi kalau banjirnya kaum Nabi Nuh AS itu skalanya global.
Dan saya pernah mendengar tentang hal ekstrem yang mungkin akan terulang lagi, apakah seperti halnya banjir seluruh dunia tenggelam, atau ada 10 bahkan lebih gunung berapi meletus secara bersamaan sehingga abu vulkanik akan menggelapkan dunia. Atau pilihan yg ketiga, adalah perang saudara seperti yang pernah terjadi di dunia ini dahulu kala, antara Pandawa dan Kurawa yg kita kenal dengan epos Mahabarata.
Atau pilihan ekstrem lainnya adalah pendemi. Wabah yg akan mengguncangkan seluruh tatanan dunia. Kehidupan ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan negara akan terguncang dan sangat mungkin akan terjadi tatanan baru yg bisa jadi, tatanan sekarang adalah tatanan yang paling tidak diridhoi oleh Allah SWT.
Sebagai makhluk yg ber-Ketuhanan, tentu kita tidak bisa mengingkari bahwa semua yang terjadi atas kuasa Allah SWT, kemauan, ijin dan kehendak Allah SWT. Apa yang sedang Allah kritik dan apa yg sedemikian hancur di tatanan kehidupan kita yg sekarang sampai Allah SWT mengkritik kita dengan hal yg mengerikan seperti yang sedang kita alami ini?
Tentu ini jadi muhasabah kita bersama. Di samping dengan memperbanyak istighfar sebagaimana para Kyai menganjurkan, sepertinya ini jadi kritikan atas kesombongan-kesombongan kita selama ini. Kesombongan terhadap prinsip hidup yg selama ini kita pegang. Kesombongan bernegara, kesombongan dalam hal kekuatan, kepintaran atau bisa jadi kesombongan dalam hal beragama. Wallahualam.
Kalau bukan kesombongan yang Allah kritik terhadap kita lalu adakah sebab lainnya? Tentu sangat disayangkan apabila kita mampu bebas dari wabah ini dan mampu melewatinya tetapi tidak ada kesadaran yang berubah dalam jiwa kita. Seperti kejadian yang menimpa kaum Nabi Musa AS, atas peristiwa besar ditenggelamkannya Qorun ke dalam bumi bersama semua harta kekayaannya, lambang penguasa modal, kaum kapitalis yg menyengsarakan dalam hal ekonomi, dan setelah pasukan yg sangat besar dan hampir mustahil dilawan dengan akal manusia pada saat itu, kekuasaan Firaun lenyap ditenggelamkan air laut.
Dan hanya 40 hari berselang atas peristiwa besar, mukjizat, hujjah yg Allah tunjukan di depan mata mereka, kaum Nabi Musa AS kembali kafir lagi. Menyembah patung Samiri yg dibikin oleh tangan Haman, sang politikus yang sangat cerdas dalam mengambil setiap kesempatan untuk melakukan pencitraan-pencitraan. Lalu sekembalinya Nabi Musa AS ber-uzlah setelah 40 hari, dan menyaksikan kaumnya kembali berpaling dari Allah SWT, sekali lagi hanya berselang 40 hari setelah peristiwa besar itu.
Kembali pada apa yg sedang kita khawatirkan bersama ini, kita berdoa kepada Allah SWT, agar segera diangkat wabah ini dari dunia, sehingga paling dekat kita bisa menikmati bulan puasa dengan khidmat dan khusu’. Serta bisa berkumpul dengan anggota keluarga dalam keridhoan masing-masing. Namun pertanyaanya, apakah setelah wabah ini diangkat, Allah kabulkan doa kita semua, kita mampu menjamin kita tidak akan berpaling lagi seperti halnya kaumnya Nabi Musa AS? Di saat mengerikan kita merintih perlindungan mohon ampun, tetapi ketika dalam keadaan aman kita kembali menyombongkan diri. (Karyanto)
Cilongok, Banyumas, 17 April 2020.