Mukadimah: HABIS GELAP TERBITLAH TERANG

Secara garis besar tema ini di angkat karena sangat relate dengan perjalanan Pemuda Rupak Picis yang 5 tahun ke belakang itu sangat gelap, yang identik dengan kenakalan remaja. Peran Maiyah di kalangan pemuda sangat besar sehingga bisa membuat para pemuda beranjak dari gelap menuju jalan yang terang.

Pada bulan april ini juga memperingati Hari Kartini yang dimana beliau yang membuat karya “Habis Gelap Terbitlah Terang” dan juga terhadap Indonesia yang belakangan ini semakin asik berada dalam kegelapan.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu pasti mengalami masa-masa sulit, masa-masa di mana semuanya terasa gelap, penuh ketidakpastian, dan kadang memunculkan rasa putus asa. Namun, seperti malam yang tak pernah abadi, gelap pun akan berganti dengan terang. Di sinilah nilai sejati dari perjuangan itu berada—yakni dalam kesabaran untuk bertahan dan keyakinan bahwa badai pasti berlalu.

Esensi dari kalimat ini sangat relevan dalam berbagai konteks kehidupan, baik secara pribadi maupun kolektif. Dalam lingkup pribadi, seseorang yang sedang menghadapi kegagalan, kekecewaan, atau bahkan kehilangan, bisa menjadikan ungkapan ini sebagai penyemangat bahwa masa sulit hanyalah bagian dari perjalanan menuju keberhasilan. Dalam konteks yang lebih luas, seperti perjuangan rakyat dalam meraih kemerdekaan atau keadilan sosial, terang adalah simbol dari hasil jerih payah, keberanian, dan pengorbanan yang tidak sia-sia.

“Habis Gelap Terbitlah Terang” juga menyiratkan bahwa perubahan memerlukan kesadaran dan usaha. Tidak ada terang tanpa melewati gelap, tidak ada kemenangan tanpa perjuangan. Harapan yang dibarengi dengan tindakan nyata adalah kunci untuk menciptakan cahaya di ujung lorong kegelapan.

Akhirnya, kita diingatkan bahwa dalam setiap sisi kehidupan, harapan harus selalu hidup. Kegelapan tidak selamanya buruk, karena dari sanalah kita belajar menghargai terang. Dan ketika terang itu akhirnya datang, kita pun tahu bahwa kita telah melewati fase penting dalam pendewasaan dan pertumbuhan diri.

Mukadimah: ARTIKULATOR NIAT BAIK

Sebagus apapun keterampilan komunikasi ditata, jika tidak digunakan untuk mengartikulasikan nilai (value) yang baik, maka itu hanya sekadar permukaan, serupa sebuah gimmick tanpa makna.

Ini adalah kritik terhadap komunikasi yang hanya berfokus pada teknik (intonasi, struktur, persuasi) tetapi kehilangan substansi moral serta nilai yang diperjuangkan. Dalam dunia yang dipenuhi dengan strategi komunikasi, personal branding, dan viralitas digital, banyak orang menjadi fasih berbicara tanpa benar-benar memiliki sesuatu yang berharga untuk disampaikan.

Sebab, komunikasi tanpa nilai cenderung manipulatif. Orang bisa terdengar meyakinkan tanpa membawa kebaikan atau makna mendalam. Lebih dari itu, komunikasi tanpa nilai tidak akan bertahan lama. Sebuah pesan mungkin viral, tetapi tanpa akar yang kuat, ia akan lenyap begitu tren berlalu. Yang perlu kita sadari, komunikasi tanpa nilai hanya menciptakan kebisingan. Bukannya memperjelas, justru menambah tumpukan informasi yang tidak membawa perubahan nyata.

Maka, betapa pentingnya menakar kembali niat baik sebagai fondasi komunikasi. Tidak cukup sekadar berbicara dengan jelas dan menarik; harus ada nilai yang diartikulasikan agar komunikasi memiliki dampak nyata. Menjadi artikulator niat baik berarti mengarahkan komunikasi untuk membangun resonansi jangka panjang, bukan sekadar mendapatkan perhatian sesaat.

Lebih jauh, kita dapat melibatkan diri dalam membangun ekosistem gagasan, agar komunikasi tidak hanya menjadi tren atau teknik persuasif kosong, tetapi benar-benar menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan.

Bersama-sama, kita akan melingkar di Juguran Syafaat edisi Maret 2025 untuk menggali lebih dalam bagaimana komunikasi yang berakar pada niat baik dapat menciptakan benefit bagi kehidupan bersama kita.

Mukadimah: LABA SEDULURAN

Hubungan kuat lahir dari keterhubungan yang dirawat, bukan transaksi sesaat. Dalam teori social capital (modal sosial), jaringan bernilai adalah yang dipenuhi kepercayaan dan kerja sama. Ini lebih berharga daripada sekadar jumlah kontak di ponsel. Seperti teman sekolah yang tetap akrab seumur hidup, hubungan bertahan bukan karena saling butuh, melainkan karena kebersamaan yang tulus.

Namun, dunia kini semakin transaksional. Banyak orang hanya menghubungi saat butuh, lalu menghilang setelah urusan selesai. Mereka lupa bahwa komunikasi bukan sekadar alat mencapai tujuan, tetapi juga cara menjaga hubungan. Akibatnya, banyak relasi melemah, karena lebih banyak berorientasi pada kepentingan sesaat. Symbolic capital (modal simbolik) seperti reputasi dan culture capital (modal budaya) seperti pemahaman komunitas tidak berkembang, karena hubungan hanya berjalan satu arah.

Jika ini dibiarkan, hubungan kehilangan makna. Orang akan melihat jaringan sebagai beban, bukan ruang bertumbuh. Koneksi tanpa trust (kepercayaan) menghasilkan interaksi kering dan mudah putus. Tanpa modal sosial yang kuat, kita kehilangan akses ke dukungan, inspirasi, dan kolaborasi yang memberi manfaat lebih besar dalam jangka panjang.

Solusinya adalah membangun jaringan yang lebih berkelanjutan. Kita perlu merawat modal sosial dengan kehadiran tulus, menjaga modal simbolik dengan reputasi baik, dan memperkaya modal budaya dengan pemahaman komunitas. Berkomunikasi tak harus selalu soal kepentingan. Kadang, sapaan sederhana atau keterlibatan kecil cukup untuk memperkuat kepercayaan dan solidaritas.

Kepercayaan tumbuh dari kehadiran, seduluran kokoh karena terus dirawat. Mari melingkar di Juguran Syafaat esok, menelusuri bagaimana jaringan tidak hanya menghubungkan, tetapi juga menghidupi, menguatkan dan dapat menjadi jalan penghidupan.

Mukadimah: REPUTASI DATANG DARI TINDAKAN

Reputasi adalah penilaian kolektif yang terus berkembang, baik mikro maupun makro. Di kehidupan sehari-hari, kita menemukannya pada reputasi bintang lima di aplikasi ojek online atau ulasan pelanggan yang menentukan tingkat kepercayaan terhadap sebuah usaha kecil. Di era digital, reputasi bahkan menjadi mata uang sosial. Semakin layak diapresiasi, semakin besar pengaruh yang dimiliki seseorang atau komunitas. Bahkan, pada skala yang lebih luas, reputasi juga menjadi alat diplomasi dan koneksi, di mana pengakuan terhadap tindakan seseorang menciptakan rantai kepercayaan yang meluas di masyarakat.

Meski begitu, reputasi bukan sekadar hasil akhir, melainkan proses panjang yang dibangun melalui konsistensi tindakan. Ketika seseorang memilih untuk membuat excuse atau alasan, terlebih memilih sibuk pada pencitraan, ia hanya menunda keruntuhan kepercayaan. Sebaliknya, mereka yang berani bertindak dengan tulus, tanpa terlalu banyak berbicara, adalah mereka yang menciptakan reputasi otentik. Tindakan yang berkelanjutan tidak hanya membangun reputasi individu, tetapi juga memperkuat jaringan kepercayaan di sekitarnya.

Ketika tindakan lebih berbicara daripada angan-angan, gagasan maupun janji, maka kemudian reputasi akan tumbuh kokoh. Namun, membangun kepercayaan tidak ada jalan pintasnya; ia membutuhkan keteguhan mengerjakan micro habit dalam jangka panjang, keberanian untuk bertindak tanpa excuse atau alasan, mendeklarasikan kesalahan diri dengan lantang, dan terus melangkah meski tak selalu dilihat dan diapresiasi. Reputasi sejati tidak dikejar, ia muncul sebagai buah dari ketulusan hati dan perjalanan panjang bernama dedikasi.

Di Juguran Syafaat edisi 142, kita akan melingkar untuk menghidupkan kembali semangat tumbuh bersama. Kita berdiskusi bukan hanya untuk merembug angan dan gagasan, tetapi juga membangun ruang di mana tindakan nyata menjadi dasar bagi terbentuknya kepercayaan bersama. Dari langkah ini, mari kita ciptakan jejak reputasi yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga mendorong perubahan di sekitar kita.

Tidak Ada yang Gratis, Tapi Segalanya Bisa Bermakna

Setiap tindakan, sikap, dan keputusan yang kita ambil pasti memiliki konsekuensi. Perjuangan untuk mencapai hasil yang diinginkan tidak pernah mudah. Ada dinamika, hambatan, dan tantangan yang harus dihadapi dengan keberanian, bahkan sering kali dengan menelan “pil pahit” yang menguji keteguhan kita.

Menjadi akademisi, misalnya, mengharuskan kita mengorbankan banyak waktu untuk belajar. Memilih menjadi idealis bisa berarti minimnya dukungan dari orang lain. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita kerap kali mengorbankan waktu dan tenaga yang tidak ternilai.

Waktu mungkin terasa seperti sesuatu yang tidak berwujud dan gratis. Namun, jika kita merenungkan hari-hari yang telah berlalu, tidak perlu jauh-jauh, cukup satu hari ke belakang saja, misalnya, apakah waktu itu bisa kita beli kembali dengan uang? Tentu tidak. Bahkan oksigen, yang disediakan Allah secara gratis, berubah menjadi sesuatu yang berbayar saat kita jatuh sakit dan memerlukan bantuan medis.

Tahun 2025 bisa menjadi momentum bagi kita untuk lebih disiplin dalam menjalani hidup. Disiplin mungkin terasa seperti belenggu saat diperjuangkan, tetapi hasilnya akan membawa kebebasan yang sejati. Dengan disiplin, kita tidak hanya menghindari pengulangan kesalahan masa lalu, tetapi juga membuka jalan menuju keberhasilan yang lebih besar.

Orang-orang besar yang kita kagumi adalah bukti nyata pentingnya disiplin. Salah satu contoh inspiratif adalah Mbah Nun. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat disiplin terhadap dirinya sendiri. Namun, apakah hal itu membuatnya terbelenggu? Sebaliknya, disiplin itulah yang menjadikan beliau sosok yang sangat merdeka, baik dalam pikiran maupun tindakan. (Anggoro Dwi Januar)

Bukan Setinggi Apa Kita Mendaki, Tetapi Sekuat Apa Kita Menjaga Tali

Pak Wadil salah satu penggiat intiJuguran Syafaat yang kebetulan sedang mudik panjang dari pekerjaannya di tanah rantau, beliau menghubungi saya “Mas, semua saudara saudara pegiat JS lintas generasi kumpulkan yaa, buat ajang silaturahmi, sekaligus forum dapur sekalian saja”

Seketika saya langsung merespon tanpa banyak pertimbangan. Setelah obrolan singkat itu, terbitlah acara silaturahmi lintas generasi pegiat JS yang juga menjadi acara refleksi akhir tahun sekaligus menggugurkan jadwal forum dapur mingguan. Malam hari tadi, sabtu,14 Desember 2024 di bilangan Gembong, Purbalingga.

Acara di mulai jam 22.00 wib, Mas Kusworo selaku moderator membuka. Selanjutnya acara dilambari dengan munajat sholawat, bertepatan mendo’akan Alm Cak Mif yang baru saja berpulang ke Allah.

Kebetulan rencana kerja JS di tahun 2025 yang kami gagas sudah selesai, hal itu yang akhirnya saya sampaikan pada acara ini. “Ada tiga core tema untuk gelaran JS yaitu aktualisasi, metodologi berfikir dan spiritual”. Ketiga core ini yg nanti menjadi case untuk judul tema gelaran rutinan.

Dalam menyongsong JS di tahun 2025 nanti kita perlu kerja tim yang luar biasa, saling melengkapi satu sama lain. Kita ini sangat kompleks ada tim teknis dan ada tim spiritual yang mana jika dua tim ini kita kawinkan , maka menurut saya akan menghasilkan output yang sangat indah.

Dinamika perjalanan yang sudah terjadi, tentang semua hal yang di nilai kurang baik mulai hari ini detik ini juga kita lepaskan dan kita tinggalkan, mari kita merawat sesuatu hal yang baik dan kita tumbuhkan bersama. Kita harus saling menguatkan satu sama lain untuk melewati perjalanan panjang ini “bukan setinggi apa kita mendaki, tapi sekuat apa kita mempertahankan tali persaudaraan ini”, saya memungkasi paparan rencana kerja malam hari itu.

Acara berlanjut dengan diskusi santai dengan suasana gayeng, ajur-ajer satu sama lain. Rasanya asik sekali membahas rencana kerja 2025, penuh optimisme serta ada rasa syukur. Kegembiraan makin berlipat dengan kangen suasana berkumpul lintas generasi yang amat jarang dilakukan ini.

Kalau menuruti keinginan, jelas inginnya yaa ngobrol terus sampai pagi. Namun untuk keperluan manajemen waktu dan stamina, moderator memungkasi acara tengara pukul 01.00. Lalu acara malam hari itu disempurnakan dengan makan malam bersama. (Anggoro D. Januar)