Surat Kepada Para Pengaku Nabi

Sebenarnya orang yang cerdas tidak perlu mengaku-aku dirinya siapa. Untuk apa mengaku nabi,dewa,satria piningit dan malaikat?. Apa urgensi dan relevansi pengakuan semacam itu bagi kepentingan orang banyak?. Seperti halnya utuk apa mengaku diri sebagai orang baik atau mengaku sebagai orang hebat? Siapa yang berhak mengesahkan seseorang sebagai orang baik dan hebat? Seandainya ada orang yang benar-benar hebat dan baik tetapi dirinya dengan penuh semangat mengumumkan kepada orang lain bahwa dirinya baik dan hebat, maka batalah kehebatan dan kebaikannya. Karena salah satu syarat untuk disebut baik dan hebat adalah ikhlas, bukankah dengan mengaku-aku apalagi mengumumkan kehebatan dan kebaikan dirinya kepada orang lain berarti telah menunjukan ke-tidak-ikhlasan. Apalagi kebaikan dan kehebatannya baru pada “sesumbar” dimulut dan belum dibuktikan pada tingkat fungsi dan manfaat di dalam masyrakat.

Seandaianya anda orang hebat dan tidak diakui sebagai orang hebat oleh orang lain, apakah kemudian anda jadi tidak hebat? Apakah untuk mengesahkan kehebatan diperlukan pengakuan orang lain?. Jadi kalau ada orang mengaku nabi, atau sekalian ditambah seribu gelar kehebatan yang lain, lalu apa kepentingan masyrakat untuk mengakuinya? Kenapa para pengaku nabi begitu tersiksa ketika dibantah dan tidak dipercaya pengakuannya itu? sehingga harus dengan “pethakilan” ingin berdebat segala.

Dari pada waktu dan energi anda habis untuk sekedar merespon penolakan khalayak atas pengakuan yang terlanjur anda umum-umumkan itu, tarik kembali statement pengakuan itu. Lalu, diam-diam membuktikan “kenabian’ anda melalui fungsi-fungsi kongkret dalam kehidupan orangbanyak. Jika anda bisa menurunkan dolar, meningkatkan taraf kesejahteraan umat, menentramkan dan merukunkan perbagai konflik sosial serta berbagai problem mendasar kemasyrakatan yang lain, meskipun tidak satu orangpun mengakui anda sebagai nabi, tetapi anda telah menjalankan tugas-tugas kenabian.

Seandainya anda memang benar-benar nabi yang ditugasi Tuhan, saya yakin yang ditagih oleh Tuhan kepada anda adalah kesuksesan anda dalam menjalankan amanat kenabian, bukan keberhasilan anda dalam meyakinkan kepada orang lain bahwa diri anda nabi. Menjadi aneh jika nabi sibuk melegitimasikandiri dengan memohon-mohon untuk dipercaya oleh masyrakat.

Pengakuan diri sebagai nabi,satria piningit,dewa dan berbagai gelar ‘agung’ yang lain hanya akan menambah beban sejarah di tengah beratnya derita bangsa hari ini. Mustahil jika kehadiran nabi betulan malah menambah persoalan seperti itu.

Jika suatu saat Tuhan diam-diam memandati saya jadi nabi, saya akan simpan rapat-rapat gelar itu di pusat kedalaman kalbu paling rahasia. Bahkan anak istri saya sendiri sekalipun tidak boleh tahu…..hehehesaya tidak akan mengahabiskan waktu dan energi untuk hanya sibuk memperjuangakanagar orang mengakunya, karena nabi itu tinggi sehingga tidak membutuhkan legitimasi dari intsitusi kebudayaan manusia yang rendah. Yang harus segera dikerjakan justru mendayagunakan potensi dan mukjizat untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Karena jika Tuhan mengutus nabi pasti dibarengi dengan fasilitas istimewa berupa mukjizat.

Bagi para pengaku nabi, tampaknya Tuhan telah salah kirim SK, terbukti orang yang hari ini mengaku nabi ternyata kurang memiliki kecerdasan. [] Agus Sukoco

Gelas-Gelas Retak

KALAU GELAS MULAI retak dan air di dalamnya terancam untuk tumpah, insting akan menggerakkan kita untuk mencari wadah pengganti yang memadai untuk menampung. Tidak mungkin  kita  memindahkan air tersebut dengan menuangkannya ke dalam gelas yang retak pula. Tetapi jika wadah yang memadai memang tidak ada, sementara air di dalam gelas harus diselamatkan, maka seterpaksa apapun benda bisa dijadikan pilihan wadah untuk dituangi.

Jiwa manusia seringkali pada batas tertentu mengalami retak-retak karena tumpukan persoalan hidup makin menyesakinya. Pada saat dada makin sumpek, pikiran makin kalut, hati seperti tersayat-sayat oleh berbagai lilitan problem sehari-hari, secara psikologis, orang akan membutuhkan tempat mengaduh dan berbagi rasa. Wadah tempat menuangkan berbagai rasa sumpek tersebut bisa sebuah lembaga atau seorang sosok yang dipercaya.

Ada semacam keremangan sosial yang disebabkan oleh degradasi peran lembaga negara dan krisis keteladanan sosok panutan. Pada kondisi demikian, tumbuhlah berbagai mitos yang kemudian menjadi sasaran di benak para ‘gelas retak’ berharap bisa ditumpahi isi jiwa dan harapan-harapannya.

Mitologi menjadi tumbuhan yang subur di atas lahan keputusasaan, kekecewaan, dan kegelapan harapan. Jalur-jalur

rasional seperti terputus oleh berbagai trauma pe-yatim-an negara atas rakyatnya. Pemilu hanya sekedar menjadi ‘pasar’ untuk menggelar janji-janji politik yang dengan ringan hati dilupakan dan dingkari.

Keahlian kita selama ini dalam bernegara dan bermasyarakat hanya bisa mempermasalahkan setelah ‘air tumpah’ itu berceceran memenuhi lantai ruangan rumah. Tradisi kita adalah mengutuk air tumpah di lantai sebagai kotoran yang mengganggu kenyamanan tanpa pernah sebelumnya merasa berkewajiban  menyediakan wadah penampungan untuk persiapan  jika sewaktu-waktu gelas-gelas menjadi retak. Fenomena munculnya berbagai aliran alternatif yang ternyata mendapat banyak pengikut adalah bukti bahwa institusi keagamaan yang sudah ada dan juga lembaga–lembaga negara belum hadir sebagai baskom penampungan. Para ‘gelas retak’ yang sedang merindukan wadah untuk dituangi air kegelisahan, merasa mendapat harapan baru setiap ada wadah alternatif yang ditawarkan melalui kehadiran pihak yang dirasakan lebih nyata.  Meskipun pada hakekatnya hampir setiap pengalaman hadirnya wadah baru itu selalu berangkat dari jualan mitos.

Wadah baru itu bisa berupa partai politik, ormas, sempalan, sekte, aliran kepercayaan atau sosok spiritual yang hampir kesemuanya itu berdiri di atas pondasi mitos. Baik mitologi modern ekspor bernama demokrasi atau mitos-mitos domestik dari klenik masa silam. Dalam kondisi hidup yang penuh tekanan dan goncangan, orang yang mengaku sebagai pendidik bangsa dan melantik diri sebagai tokoh agama belum menemukan formula dakwah yang mampu mengawal akal sehat masyarakat. Agama masih dihadirkan secara doktriner

dan bukan disuguhkan sebagai metode yang memungkinkan manusia memasuki ruang-ruang ketercerahan baru. Pada konteks tertentu bahkan dakwah agama seringkali dirasakan sebagai ancaman tambahan berupa beban-beban kewajiban dan informasi mengerikan tentang laknat dari Tuhan.

Munculnya aliran alternative sepertihalnya kasus Gafatar yang sempat ramai beberapa saat lalu terus berulang terjadi. Ini menjadi pelajaran penting bagi negara dan institusi agama untuk mulai memiliki kepekaan terhadap berbagai keluhan dan kegelisahan di masyarakat. Sudah saatnya pemerintah dan ulama menyediakan diri dengan sepenuh hati untuk menjadi baskom yang siap di tuangi seluruh problem isi jiwa umat. Bukan sibuk mengurusi segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan problem mendasar dan darurat masyarakatnya.

Di tengah kehidupan yang atmosfir kesadaran masyarakatnya didominasi kecenderungan mitologi, ketika ada orang tiba-tiba mengaku nabi, satria piningit, dewa, malaikat atau bahkan mengaku  tuhan sekalipun akan dipercaya. Irasionalitas dan degradasi akal sehat itu tidak disebabkan oleh siapa-siapa, tetapi dari kegagalan kita bersama dalam menjalankan peran negara dan lembaga agama secara sehat. Kebodohan atau bahkan kejahatan kita akan makin sempurna apabila kita cenderung melengkapinya dengan menghardik mereka dengan tuduhan kafir dan sesat.

Seharusnya dari setiap fenomena yang terjadi di bangsa ini, kita harus bersungguh-sungguh memetika pelajarannya. Dari fenomena Gafatar misalnya, kita bisa mempelajari betapa tekad mereka dalam mencari impian idealnya dengan hijrah ke tempat yang jauh dari keluarga dan kampung halamannya

adalah sebuah semangat idealisme yang mengagumkan di tengah masyarakat yang cenderung makin pragmatis dan oportunitis. Bahwa keyakinan mereka berbeda dengan kita, itu persoalan yang menyangkut pilihan pribadi dan urusan hidayah.

Apa yang sedang diyakini oleh mereka? Dari mana mereka memperoleh kebulatan hati sedemikian rupa hingga berani se-ekstrim itu dalam mengambil keputusan.  Apakah kita yang merasa sedang berada di dalam kebenaran iman sanggup untuk memilih sepi di tengah kenikmatan dalam keramaian ini? Lepas dari benar dan salah secara keyakinan iman, keberanian mental mereka tampaknya harus kita akui sebagai sesuatu yang diam-diam membuat imaginasi kita terbang ke peristiwa hijrah di awal-awal lahirnya Islam. Kita mungkin bisa menyembunyikan keringkihan mental kita dengan mengatakan bahwa mereka telah berbuat konyol.

Jika suatu saat saya diminta untuk bicara iman dihadapan mereka, saya akan memilih menolak, karena apapun jenis iman yang sedang meraka genggam di hati, sudah terbukti mampu memproduk keberanian untuk menjauh dari kemapanan. Sementara saya masih sedemikian romantik dan cengeng jika harus meninggalkan  segala  kenangan indah di kampung halaman.

Untuk sekedar mengutuk sesuatu, tidak dibutuhkan ilmu. Untuk hanya menghardik tidak diperlukan kualitas diri. Untuk mengatakan dan menilai pelacur itu kotor, anak SD juga sangat fasih dan artikulatif. Tetapi untuk menolong mereka dari perilaku melacur itu yang membutuhkan ilmu dan kearifan. Banyak hal yang bisa kita pelajari dan menjadi bahan instropeksi.[] Agus Sukoco

Frustasi Berbuat Baik

ANDA YANG PERNAH hidup di daerah Singapura, Jepang atau Korea pasti tahu betapa tertibnya negara mereka. Tidak merokok sembarangan, antri jika menunggu sesuatu, bisa berhenti pada haltenya, bahkan yang ekstrim mereka tidak meludah sembarangan. Mereka negara tertib. Percaya betul bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Yakin betul bahwa setiap keburukan akan dibalas dengan keburukan. Sekecil apapun. Bukankah ini firman Tuhan?

Karena negara melindunginya. Negara menjamin orang yang berbuat baik, jujur dan kerja keras mendapatkan apa yang menjadi haknya. Disana mereka yang berbuat baik akan mendapatkan pelayanan terbaik oleh negara. Orang jujur pasti aman dan akan dicari-cari untuk diminta bekerja. Orang yang kerja keras dijamin oleh negara, mereka akan mendapatkan hak terbaik atas gaji, tunjangan dari negara.

Nah, disini? Jangankan jaminan. Orang berbuat baik sekarang malah dicurigai. Menyapa orang di angkot di kota besar bisa jadi modus kejahatan. Orang-orang terbaik negeri ini dibuang. Orang jujur malah hancur. Yang dijaga adalah mereka yang bisa membayar semuanya. Sekeras apapun kita bekerja, tidak akan dihargai oleh negara. Itu urusanmu sendiri. Tidak pengaruh. Ada tidak ada negara menjadi tidak ada bedanya. Apa tujuan ada negara? Kalau urusan ini saja tidak bisa mengurus.

Lalu orang-orang menjadi frustasi berbuat baik. Rajin berbohong. Malas bekerja keras. Apatis. kejahatan dimana-mana. Cara berfikir sehat kita terbalik sudah. Negara yang seharusnya menjamin ini semua menjadi malah berlawanan.

Tapi kalau kita hanya mengharap kepada negara ini, pasti jadinya hanya frustasi, putus asa dan kemenyerahan hidup. Sedang kalau kata Bung Karno diatas kekuasaan negara ini ada kekuasaan rakyat, dan diatasnya lagi ada kekuasaan Tuhan. Kita sering lupa ada Tuhan. Maka menjadi pasrah dalam kefrustasian.

Yakin saja, bahwa bisa jadi negara kita tidak menjamin balasan kebaikan yang kita perbuat, tapi Tuhan menghitung dengan teliti, menyimpan semua file perbuatan kita dengan detail dan membalasnya satu persatu dikondisi dan waktu yang paling tepat yang dirasakan oleh umat manusia. Itu kalau kita tidak atheis dan masih percaya ada Tuhan. [] Hilmy Febrian Nugraha

Kekayaan Sudut Pandang Ilmu

PADA FORUM MAIYAH Juguran Syafaat Januari 2016 lalu di Purwokerto, banyak hal yang menarik untuk diingat ingat kembali, dicerna kemudian dijadikan oleh-oleh rezeki ilmu dan hikmah yang tak terkira banyak dan besar manfaatnya. Forum Maiyah Juguran Syafaat yang dimotori oleh mayoritas penggiat anak-anak muda ini menawarkan acara ‘malam mingguan’ yang berbeda. Saya melihat, forum yang diadakan di pendopo SKB Purwokerto ini seperti remang cahaya yang bagai dilihat dari kejauhan, samar tapi diam-diam menarik perhatian. Lambat laun, remang cahaya ini dengan sendirinya besar dan suatu saat dapat memberi kilauan cahaya yang dahsyat karena sejak dini mereka sudah memberikan sorotan sorotan cahaya ke berbagai arah dan objek permasalahan.

Banyak hal, luas dan panjang lebar seputar ‘Proses dan Prosesi Shalawat’ dibahas oleh Syekh Nurshamad Kamba, juga Pak Titut seorang seniman teater Banyumasan ikut menaburkan khasanah kearifan lokal. Pak Hadi Wijaya seorang seniman lukis dengan pengalaman beliau yang banyak, juga banyak ilmu dari para penggiat tentunya.

Adalah Mas Agus Sukoco, yang juga salah satu penggiat sekaligus narasumber yang hadir malam itu memaparkan tafsir surat al Fatihah dengan apik, tidak biasa dan inspiratif. Beliau manafsir surat al Fatihah secara terbalik. Menarik tafsir surat itu justru dari akhir ayat yang kemudian disambung ke ayat sebelumnya yang kemudian berakhir justru di awal ayat. Menurutnya, Bismillahirrahmanirrahim itu merupakan tujuan yang justru diletakkan di awal ayat. Sangat terkesan mendengarnya karena mengingatkan saya ke pola penulisan dan cara berfikir umum yang linier nan baku versus pola susunan surat dan ayat al Qur’an.

Di lain kesempatan, beberapa tahun lalu Cak Nun pernah memaparkan hal yang mirip, yang menyatakan bahwa kalimat dan susunan bahasa yang dipakai al Qur’an itu urutannya sangat siklikal. Bahwa sejatinya al Qur’an sangat mungkin dimulai dari ayat yang mana saja dan diakhiri pada ayat ke berapa saja. Karena al Qur’an susunan kalimatnya itu terkesan acak dan sulit kita ‘menemukan’ awal dan akhir karena semuanya bisa dijadikan awal permulaan. Kalimat, kata, bahkan huruf pun mengandung makna yang dalam. Al Qur’an bagai samudera yang luas dan dalam yang tidak ada ujungnya karena melingkar. Al Qur’an bagai langit yang manusia mustahil bertemu batas akhirnya.

Coba kita intip aturan baku tulisan yang beredar hasil karya manusia. Mulai dari kata pengantar, pendahuluan, bab atau isi, permasalahan, konklusi, rangkuman dan penutup. Alur tulisan yang linier ini berlaku pada hampir semua jenis karya tulis. Gunanya agar penulis dan pembaca mudah mengerti alur jalan ‘cerita’ atau isi pemikiran yang sedang dibahas. Tulisan yang model seperti ini sangat kaku karena keterkaitan kalimat awal dan akhir sebagai keterangan kalimat atau bab sebelumnya. Sulit dibayangkan karya ilmiah kita baca secara acak susunannya dan parsial memahaminya. Karena kalimat selain al Qur’an tidak mempunyai kemungkinan yang banyak kecuali satu dua makna yang tersirat. Itupun sangat jarang. Meski katanya, kaum muslim tidak boleh memahami al Qur’an secara parsial, memotong ayat seenaknya, mengambil sebagian dan menolak sebagian yang lain, tafsir parsial dan seterusnya. Saya setuju ungkapan itu apalagi ayat tentang hukum. Dan hendaknya al Qur’an dipahami secara menyeluruh. Tapi tidak ada buku manapun yang kalimatnya bisa ditafsir detail sampai makna makna setiap hurufnya. Yang sekali lagi, manusia memulainya pada ayat berapapun, ia akan menemukan hikmah, ilmu, makna yang luas belum lagi ratusan sudut pandang ilmu yang tak terkira.

Sir Ibrahim
Timoho, Yogyakarta.
17 Januari 2016.

Penulis adalah Penggiat Maiyah Kenduri Cinta.

Beragama dengan Rendah Hati

KITA MENGENAL MUHAMMAD, Isa, Musa, Nuh, dll sebagai Nabi sebab generasi, kakek-nenek,  buyut, canggah, wareng dan seterusnya telah mengakuinya sebagai Nabi. Beliau-beliau telah dicatat oleh sejarah sebagai orang yang memiliki reputasi moral hebat sehingga sudah mampu mengubah dunia. Namun, seandainya kita hidup di jaman ketika beliau-beliau masih hidup, disaat belum banyak orang mengakuinya sebagai Nabi dan berestafet-estafet generasi belum mengabadikannya di dalam prasasti waktu, bahkan pada saat itu sebagian besar memusuhinya, apakah ada jaminan kita bisa mengenali beliau-beliau tersebut sebagai orang yang ber-SK langit untuk membawa risalah dan nubuwah?

Dengan mata pandang pengetahuan jenis apa manusia bisa memastikan ‘sosok’ orang yang relevan dan layak untuk digelari Nabi? Sensitifitas batin seperti apa yang memiliki daya raba sehingga sanggup membaca pertanda kenabian seseorang? Padahal sertifikasi risalah dan nubuwah merupakan pengangkatan ‘maqom’ spiritualitas yang bersifat supra rasional, bukan gelar akademik yang diberikan oleh lembaga negara yang cukup ditandai dengan selembar dokumen bernama sertifikat. Ini adalah fenomena yang bukan hanya menimbulkan reaksi pro-kontra tetapi juga resistensi. Kita tahu bahwa pada awal kabar kenabian Muhammad, resistensi dari masyarakat pada saat itu terwujud pada tuduhan bahwa Muhammad gila.

Kemapanan selalu saja akan bersikap resisten terhadap segala gejala kebaruan. Ide dan perspektif baru yang mencoba ditawarkan oleh orang yang telah tercerahkan akan terdengar sumbang di telinga arus kebudayaan mainstream. Hal ini menciptakan konsekuensi ‘terasing’ bagi setiap yang mengimani Muhammad sebagai Nabi. Hegemoni Abu Jahal dan Abu Sufyan mencengkram sedemikian kuat ranah politik, sosial budaya dan ekonomi. Bergabung kepada Muhammad sama dengan melawan gelombang raksasa kekuasaan pada saat itu. Hanya orang dengan perangkat ruhaninya berkualitas prima dan mental Bimasena saja yang memiliki kepekaan untuk sanggup menyaksikan fenomena risalah dan nubuwah. Tanpa anugerah itu, tidak mungkin ada keberanian untuk  menyatakan aspirasi spiritualnya di tengah bebalnya kebudayaan Jahiliyah. Terbukti hanya sedikit masyarakat yang lolos seleksi penjaringan hidayah.

Kita tentu pernah mendengar sebuah ungkapan terkenal, ‘laa ya’riful wali ilal wali’, yang kurang lebih maknanya adalah, yang tahu wali adalah wali.  Berangkat dari ungkapan itu kita bisa menyimpulkan dalam konteks yang lebih luas bahwa hanya orang hebat yang bisa melihat kehebatan seseorang. Lalu jenis manusia seperti apa yang bisa memiliki kejernihan mata batin dan ketajaman analisis intelektual  melihat kenabian seseorang? Iman kepada Nabi tentu bukan perkara sederhana. Setiap orang berhak merasa beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, merasa beriman tidak serta merta berarti benar-benar sudah beriman. Karena pemabuk dipinggir jalan ketika ditanya siapa Nabimu? Ia dengan lantang dan religius akan menjawab Nabi saya: Muhammad SAW. Sebuah jawaban yang diproduksi oleh pikiran yang sekedar mendapat informasi teks, informasi beo dari kenyataan sejarah yang melatarbelakangi hidupnya.

Seandainya sahabat-sahabat setia Beliau masih hidup, mungkin bisa kita jadikan narasumber untuk menjelaskan alasan rasional mengimani Muhammad sebagai Nabi.Namun sayangnya, kini kita sudah tidak memungkinkan untuk mengakses narasumber tersebut untuk mendapatkan konfirmasi dan jawaban secara langsung. Narasumber yang ada sekarang adalah sama, yakni orang yang dibentuk oleh proses sejarah yang sama. Fakta ini adalah landasan logis untuk mendasari sikap keagamaan kita, bahwa siapapun harus bersedia berendah hati. Karena keimanan kepada kenabian Muhammad adalah bentukan sejarah, bukan pengalaman empiris sebagaimana Abu Bakar, Ali,  Umar, Usman dan para sahabat yang lain.

Kalau Nabi Muhammad atau Nabi Nuh tiba-tiba ‘iseng’ datang ke mall atau ke upacara bendera saat ini, siapa yang akan mengenalinya? Jika Beliau tiba-tiba mengambil mikrofon di acara pengajian akbar dan mengatakan bahwa beliau Nabi, sudah pasti panitia akan segera menangkap dan menyerahkan Beliau ke Polsek dengan tuduhan Nabi palsu serta pengganggu ketertiban umum.

Kita adalah manusia buta-tuli yang hanya bisa di tolong oleh sejarah dalam mengidentifikasi kebenaran. Itupun masih penuh perselisihan sedemikian rupa dalam mengapresiasi dan menginterpretasikanya. Itulah sebabnya pintu kenabian telah ditutup. Agar tidak semakin menambah gaduh sengketa perselisihan saat ini. Seandainya pintu kenabian masih terbuka, orang yang akan nyaleg dan nyapres pasti lebih dulu mendeklarasikan diri sebagai Nabi, sebagaimana fenomena gelar Haji yang lagi tren untuk membangun citra dan status sosial. Citra sosial inilah yang menarik hati para oportunis untuk melenggangkan kepentingannya.

Pintu kenabian telah ditutup, tetapi bukan berarti sudah tidak ada lagi manusia yang secara esensi disandangi amanah untuk membawa warisan risalah dan nubuwah. Orang dengan esensi kenabian pasti masih bertebaran di setiap jaman. Ditutupnya pintu kenabian saya menduga hanya sebuah strategi Tuhan untuk meminimalisir potensi dan kecenderungan mengaku-aku. Karena manusia modern sudah tidak terlatih untuk mengasah batin melihat hakikat kenabian dan kerasulan.

Jarak sejarah dan bentangan jaman dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW membuat posisi kita hanya berderajat sebagai orang yang harus terus belajar dan berjuang dalam soal keimanan. Bukan pihak yang legal untuk merasa diri paling benar sambil seolah-oleh sebagai pemilik kebenaran. Kecuali jika Abu Bakar, Ali, Usman, Umar dan para sahabat masih ada ditengah-tengah kita, mereka kita persilahkan untuk membenarkan atau menyalahkan cara kita dalam menafsiri agama. Tapi kalau sekedar saya dan anda, mari kita sama-sama berendah hati saja atas kadar dan keabsahan keimanan masing-masing.

Nabi Muhammad SAW dan para nabi yang lain, saya kira tidak pernah bercita-cita menjadi Nabi. Yang mereka lakukan adalah bersetia kepada akal dan nurani dalam hidupnya. Akal dan nurani yang terjaga itulah yang menggerakan manusia untuk berbuat baik. Beliau-beliau pada awalnya hanya orang yang gelisah dengan ketidakadilan dan kerusakan sosial yang ada di lingkunganya, kemudian digerakan oleh naluri alamiah dan akal sehatnya untuk berjuang merubahnya. Kemudian akhlak, komitmen moral dan totalitas pengabdiannya itulah yang membuat Tuhan mengangkatnya dengan kemuliaan.

Jadi bukan orang yang belum berbuat apa-apa kepada kehidupan tiba-tiba merasa pantas jadi ustadz dan digelari pemimpin agama. Lebih ironis lagi, hari ini, orang sibuk bercita-cita menjadi ustadz sambil menindas perasaan orang dengan mengkafir-kafirkan. Boro-boro menolong nasib dan kelaparan tetangga, tetapi justru malah bersemangat sekali menyayat-yayat hati orang lain dengan menuduh musyrik. Jangan sampai karenanya kita justru menjadi semakin jauh untuk menemukan siapa-siapa saja para pewaris SK nubuwah dan risalah yang diberitakan sebagai “Ulama’ Warasatul Anbiya”. [] Agus Sukoco

Siapakah Orang Tua Kadipaten Purbalingga?

Menurut cendikiawan muslim Emha Ainun Nadjib, berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditopang oleh lima pilar utama. Rakyat, negarawan/ cendikiawan atau ulil albab, tentara rakyat, agama/ulama, dan kebudayaan keraton. Dalam sebuah negara, keberadaan rakyat menjadi mutlak diperlukan karena merekalah sesungguhnya pusat orientasi dari cita-cita konsep tentang negara.

Meraka yang hari ini sebagai petani, karyawan, dan pedagang asongan, itulah yang disebut rakyat. Kemudian ada negarawan atau cendikiawan. Kalau dalam proses berdirinya NKRI, mereka adalah Bung Karno, Hatta, Wahid Hasyim, Natsir, M Roem, H Agussalim, dan lain-lain. Konsep dan gagasan tentang filosofi, landasan berfikir serta sendi-sendi  negara, lahir dari buah berpikir para cendikiawan atau negarawan tersebut.

Lalu Militer, berdirinya NKRI tidak bisa lepas dari formula perjuangan fisik dan ketangguhan mental tentara rakyat. Prinsip nasionalisme yang diekspresikan melalui keberanian mental para tentara adalah penopang penting eksistensi NKRI. Pilar berikutnya adalah agama. Inilah sumber inspirasi gagasan tentang konsep perjuangan, landasan moral serta ruh sebuah peradaban. Agama menjadi sumber nilai yang mendorong semangat nasionalisme untuk mengikat rasa kebersamaan.

Pilar terakhir adalah kebudayaan keraton. Sebelum NKRI berdiri, puluhan bahkan mungkin ratusan kerajaan sudah ada di tanah nusantara ini. Mereka dengan suka rela menyerahkan kedaulatan daerahnya untuk bergabung kepada  kesepakatan bersama yaitu NKRI. Tatanan sosial masyarakat bernama kerajaan berikut kadipaten dan kademangan di dalamnya memiliki capaian peradaban dengan konsep murni budaya dan sejarah sendiri. Barulah setelah Indonesia merdeka, seluruh kerajaan dan kadipaten harus mengikuti ritme kebijakan NKRI.

Ibu Kandung Sejarah Kota Perwira

Atas ide Kiai Arsantaka, yang waktu itu menjabat sebagai Demang Humbul (koordinator  para demang), dibangunlah rumah kabupaten dan Alun-alun Purbalingga. Tepat pada hari Senin manis tanggal 23 Juli 1759 Masehi, Purbalingga secara resmi lepas dari kekuasaan Kabupaten Banyumas dan menjadi kabupaten bawahan Kraton Surakarta. Bupati pertama Purbalingga adalah anak kandung Kiai Arsantaka yaitu Arsayuda yang bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.

Sampai sembilan kali pergantian pemimpin, jabatan Bupati Purbalingga dipegang oleh keturunan Kiai Arsantaka. Barulah di tahun 1950 Masehi, pengangkatan bupati tidak berdasarkan keturunan lagi. Demi sebuah  kesepakatan nasional untuk membangun tatanan formal bernama negara, Purbalingga sebagai sebuah kabupaten rela untuk menyerahkan kedaulatanya menjadi bawahan NKRI.

Sehingga menjadi aneh ketika tatanan sosial yang dirintis oleh Kiai Arsantaka ini kemudian  dihilangkan dari benak sejarah negara. Buktinya konstitusi Indonesia sama sekali tidak bersedia untuk mengakui ibu kandung sejarahnya. Padahal, Kabupaten Purbalingga bukanlah anak yang dilahirkan NKRI, karena ia lahir jauh lebih dulu sebelum 1945 M. Kesepakatan nasional berupa berdirinya NKRI merupakan berkah tersendiri yang harus disyukuri bersama, karena itu merupakan bukti bahwa bangsa kita telah lepas dari belenggu penjajahan bangsa asing. Tetapi menjadi ironi jika kesepakatan nasional itu kemudian justru telah membuang jauh fondasi otentik rumah besar Purbalingga.

Lalu bagaimanakah upaya swadaya kita sebagai anak-anak bangsa agar tidak menjadi durhaka di tengah konstitusi dan sistem negara yang tidak mengakui eksistensi ibu kandung sejarah-berupa segala rintisan peradaban yang diprakasai Kiai Arsantaka itu. Masyarakat dan Pemkab Purbalingga harus bekerjasama untuk setidaknya memberikan hak kultural kepada Trah Kiai Arsantaka. Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 telah mengamanati kita sebagai bangsa untuk melestarikan nilai-nilai budayanya.

Alangkah arif jika Pemkab Purbalingga bersedia memberikan ruang kultural dengan membangun kembali simbolisme tatanan pemerintahan era dinasti Kiai Arsantaka. Ini akan menjadi semacam situs sejarah yang selalu mengingatkan masyarakat Purbalingga dari generasi ke generasi kepada asal-usul kebudayaan dan ibu kandung sejarahnya. Biarkan NKRI dengan konstitusinya menjadi dasar berlangsungnya tatanan formal struktural, tetapi di ranah kultural tetap ada kewajiban moral kita sebagai bangsa untuk tetap mengingat dan takdzim kepada rahim sejarahnya.

Simbolisme tatanan Kabupaten Purbalingga pra NKRI bisa diwujudkan dengan cara membangun kembali semacam Keraton Kadipaten dengan segala nilai, kultur dan tradisinya. Keraton kadipaten bisa diberdayakan untuk menjadi pusat kebudayaan yang berfungsi menjaga nilai otentik dan adat istiadat masyarakat Purbalingga agar tidak semakin jauh tertiup angin jahat globalisme modernitas yang membuat bangsa kita kehilangan jati dirinya. Dari keraton itu juga bisa membuka peluang bagi Pemkab untuk menggali potensi pariwisata di bidang budaya.

Jika Yogyakarta punya Keraton Kesultanan, Purbalingga juga memiliki potensi historis untuk membangun Keraton Kadipaten. Kabupaten Purbalingga sebelum NKRI, bupati terakhir bergelar Dipokusumo VI. Jika hari ini, eksistensi keraton akan dihidupkan kembali di ranah kultural, maka Keraton Kadipaten akan dipegang oleh orang yang bergelar Dipokusumo VII. Fungsi dan tugas jabatan tersebut adalah sebagai pemangku adat yang menjaga nilai-nilai otentik tradisi dan kebudayaan masyarakat Purbalingga.

Raden Subagyo Wiryo Saputro

Raden Subagyo Wiryo Saputro yang sekarang menyepi di Desa Candiwulan merupakan pewaris resmi Trah Dipokusumo. Beliau adalah orang yang memiliki hak kultural dan sejarah untuk ditahtakan menjadi Sesepuh Keraton, karena leluhur beliaulah yang memulai merintis tatanan dan peradaban bernama Kabupaten Purbalingga.

Jika Pemkab Purbalingga mengambil kebijakan resmi dengan mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah tentang perlindungan cagar budaya untuk membangun simbolisme kebudayaan berupa keraton, itu merupakan langkah bijak agar kesepakatan nasional berdirinya NKRI tidak serta merta mengusir sejarah  dari tatanan kebangsaan kita.

Pada Hari Jadi Purbalingga kali ini, sudah seyogyanya Pemkab dan seluruh masyarakat Purbalingga melakukan refleksi kesejarahannya, agar tidak tercerabut dari akar otentik dan filosofi original sejarah leluhur sendiri. Karena sehebat dan sebesar apapun kemajuan sebuah peradaban-jika tidak memiliki akar otentik sejarahnya sendiri, maka cepat atau lambat pasti akan runtuh. Sebagaimana jika sebuah pohon beringin yang besar tetapi  penopangnya adalah akar pohon pepaya, itu merupakan kondisi yang hanya menyongsong kepastian untuk tumbang diterpa angin.

Tampaknya sebagai bangsa kita butuh belajar bagaimana Inggris dalam memposisikan ibu sejarah bernama Ratu Elizabeth, Belanda meletakan secara presisi eksistensi orangtua sejarahnya sebagai Raja dalam konstitusi kenegaraanya, Jepang mendudukan Kaisar, dan berbagai negara maju lainnya dalam mengapresiasi sesepuh kebangsaannya. Secepat apapun langkah kaki teknologi kebudayaan mereka, akar otentik kesejarahannya tetap dilestarikan. Sementara bangsa kita yang sesungguhnya memiliki akar yang lebih kuat dalam perihal nilai, tradisi, dan filosofi sejarahnnya, justru telah lupa diri dan tersihir oleh  ilusi modernitas yang berkilau-kilau di ufuk cakrawala artifisialisme.

Purbalingga di hari ulang tahunnya kali ini, harus mendengarkan suara dari pusat kedalaman kalbu kebudayaanya tentang fitrah kehidupan yang menyimpan kerinduan kepada asal-usul dan sangkan-paran sejarahnya. Karena tidak ada perjalanan yang bisa lepas dan terbebas dari kebutuhan untuk pulang ke bilik kelahirannya.

Falsafah merupakan landasan akar  yang menentukan sikap batin manusia atau masyarakat dalam membangun persepsi hidup. Persepsi tentang konsep hidup bersama yang kemudian mewujud dalam bentuk negara, itu merupakan produk gagasan yang juga berasal-usul dari mata air falsafah. Kita bisa mempersepsikan negara dengan terlebih dahulu berangkat dari filosofi tentang rumah. Dalam sebuah rumah, idealnya dihuni oleh orangtua, anak, dan pembantu. Jika sebuah rumah orangtua sedang bepergian, seketat apapun aturan resmi tentang rambu-rambu moral di rumah itu, anak-anak akan cenderung urakan dan bersikap semaunya. Dibutuhkan wibawa orangtua di sebuah rumah agar anak-anak dan seluruh penghuni rumah terjaga perilaku dan sikap moralnya.

Bukankah kita semua tahu, bahwa posisi pemerintah adalah hanya sebagai pelayan atau pembantu di sebuah rumah besar bernama negara. Jika kita merujuk kepada analogi filosofis itu, maka rakyat adalah anak dalam tatanan negara. Lalu siapa dan di manakah pihak yang memiliki kedudukan sebagai orangtua?.

Konstitusi Negara kita masih rancu dalam memposisikan makna negara dan pemerintah. Pemerintah seharusnya hanya menjadi pembantu rumah tangga, tetapi sekaligus dikeramatkan seolah-olah sebagai orangtua (posisi ganda). Keberadaan orangtua yang sesungguhnya, yaitu pihak yang memiliki legimitasi sejarah dalam konsep ketatanegaraan seperti ditiadakan.

Kembali ke Purbalingga, siapakah orangtua rumah bernama Purbalingga ini?.  Negara dengan trias politikanya belum merepresentasikan keutuhan struktur dan anatomi penghuni rumah. Upaya menghadirkan kembali tentang sejarah Keraton kadipaten dengan segala falsafah dan tata nilainya adalah Ijtihad. Usaha sungguh-sungguh ini untuk memberi ruang dan porsi peran kultural orangtua di sebuah rumah yang kita cintai bersama, yaitu Purbalingga.[] Agus Sukoco