Melangkahlah, Maka Engkau Menginspirasi

Nampak rapih berjejer, sepeda motor berpuluh-puluh jumlahnya di pelataran Pendopo Cahyana di Kompleks Rumah Jabatan Wakil Bupati Purbalingga. Beberapa petugas berseragam membantu menata dengan sabar dan riang hati membuat tertibnya urusan perpakiran. Semata-mata ia melaksanakan apa kata pepatah, “Adil semenjak dari parkiran”.

Pada Sabtu, 7 September 2019 lalu, pada siang menjelang sore hari, sekitar 200 orang pemuda dari Karang Taruna Kabupaten Purbalingga dari berbagai level kepengurusan desa, kecamatan dan kabupaten mereka semua berkumpul. Dengan antusias mereka menghadiri kegiatan Purbalingga Youth Discussion yang kali itu mengangkat tema “Maximazing Creativity in Creative Economy Era”.

Foto: Budi Santoso

Ada dua pembicara tampil di depan. Yang pertama Mas Bambang Irawan, Ketua DPRD Kabupaten Purbalingga yang sekaligus juga menjabat sebagai Ketua Umum Karang Taruna Kabupaten Purbalingga. Pembicara berikutnya adalah Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh atau kerap disapa pula Noe Letto. Mas Sabrang diundang di Purbalingga selaku tokoh pemuda multi kreasi. Mas Sabrang menjadi magnet tersendiri pada sore itu. Tentu yang pertama karena beliau adalah artis nasional. Kemudian lagi para peserta belum banyak yang tahu kiprahnya di dunia kreatif. Dari musik, film dan aplikasi digital yang sudah dilahirkan dari gagasan Mas Sabrang.

Mas BI demikian sapaan akrab Mas Bambang Irawan, dipersilahkan oleh Mas Imam selaku moderator untuk mengawali paparan siang hari itu. Dengan apik Mas BI memaparkan bahwa Pemerintah Kabupaten Purbalingga sudah menggandeng industri kreatif yang ada dengan berbagai macam pembinaan dan kegiatan di dalamnya. Ketika salah seorang mengusulkan beberapa pelatihan untuk pemuda di Purbalingga, Mas BI dengan sigap mempersilakan mereka untuk mengajukan apa saja yang mereka butuhkan. Selama disusun dengan baik, terhitung dan bertanggungjawab. Forum siang hari itu menjadi sebuah link and match forum yang tepat antara rakyat dengan pemangku kebijakan.

Foto: Budi Santoso

Kemudian tiba giliran Mas Sabrang, Ia mengawali dengan mendasari arti tentang apa itu ekonomi kreatif. Dari situ berkembang hingga industri kreatif, pariwisata yang kreatif dan strategi dasar bisnis. Beberapa peserta menanyakan terkait motivasi, bagaimana memulai usaha, hingga bagaimana mengubah mindset teman-teman di sekitarnya.

“Siapa bilang ada yang mewajibkan Anda untuk mengubah mindset. Tidak. Sebab Anda bukan nabi. Kemampuan Anda adalah menjadi contoh atau teladan, sehingga kemudian menginspirasi orang dan membuktikan diri bahwa Anda bisa. Dari situlah mereka akan mengikuti langkah-langkah Anda.”, ujar Mas Sabrang. Kalimat ini menyentuh hati para pemuda yang selalu punya hasrat untuk mengubah cara berfikir orang lain, tapi lupa bahwa yang sejatinya wajib diubah adalah dirinya sendiri.

Sore bertambah gayeng, ketika Mas Sabrang menyanyikan dua lagu dari Letto, yaitu Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya. Smartphone berjejer mengabadikan moment tersebut. Layaknya koor paduan suara, hampir semua turut menyanyikan lagu yang pernah hits di beberapa tahun silam.

Foto: Budi Santoso

“Semoga anda menjadi generasi pembaharu Indonesia yang memulai memperbaiki Indonesia sekarang.”, akhir kata dari Mas Sabrang memungkasi kegiatan sore itu.

Menjelang pukul 17.00 acara kemudian dipungkasi. Peserta kemudian pulang membawa perolehan yang berbeda-beda. Wajah cerah sumringah tampak dari mereka yang hadir. Apalagi bagi mereka yang sempat berswafoto bersama Mas BI dan Mas Sabrang. Kegiatan ini mudah-mudahan bisa menjadi alat asah bagi cara berfikir yang lebih lantip dan makin akurat atas tidak tertebaknya perubahan-perubahan apa yang ada di masa depan kelak. (Hilmy Nugraha)

Menyemangati Adik-adik IPNU dan IPPNU Banyumas

 

Juguran PC. IPNU-IPPNU Banyumas, 28 Februari 2016

Ada sekitar 300an muda mudi berkumpul disini. Kalau dilihat cukong calon legislatif, sudah pasti diincar menjadi lumbung suara demi jabatannya. Tapi toh, umurnya belum mencukupi untuk menjadi pemilih. 17 tahunpun belum. Dan uniknya, pikirannya segar, daya tahannya luar biasa, energinya meluas membumi. Mereka adalah kader IPNU dan IPPNU se Kabupaten Banyumas.

Pada tanggal 28 Februari 2016, kali ini mereka menghelat sebuah acara seharian dalam rangka memperingati Hari Lahir IPNU ke 62 dan IPPNU ke 61 beriringan dengan Hari Lahir Kabupaten Banyumas yang direvisi beberapa waktu lalu. Pada paginya mereka melakukan kirab pawai berkeliling komplek Pendopo Sipanji Kecamatan Banyumas. Beberapa acara seperti Lomba Tumpeng dan Lomba Qori turut memeriahkan rangkaian acara ini. Dan pada puncaknya, setelah Dhuhur diselenggarakan acara dengan format santai atau orang Banyumas biasa menyebut Juguran.

Agaknya puncak acara dibuat konsep mirip dengan Juguran Syafaat. Duduk lesehan, tempat singup di pendopo, diselingi musik-musik santai, obrolan santai namun tetap berisi dan interaktif berbagai arah. Tentunya karena beberapa kader inti IPNU Banyumas memang rajin datang ke Juguran Syafaat dan beberapa kali bersinggungan event bersama. Menjadi uji praktikum kembali akan tema besar Kepangasuhan dari para penggiat JS untuk ikut mbombongi dan nyemangati adik-adik dari IPNU Banyumas.

Tema diskusi kali ini adalah “IPNU dulu, IPNU sekarang dan IPNU esok”. Dimoderatori secara apik oleh Rizky yang biasanya aktif di Forum Juguran Syafaat. Beberapa narasumber sudah hadir dihadapan rekan dan rekanita IPNU Banyumas, sebutan akrab untuk kader IPNU. Untuk pemapar pertama dipersilakan Era dari KNPI Banyumas yang dulunya merupakan kader IPNU yang menjelaskan bahwa kita membutuhkan sarikat untuk identitas dalam sebuah perjuangan. Era menggarisbawahi peran besar IPNU dalam penggodokan kader muda Nahdlatul Ulama. Selanjutnya, Afif yang kader IPNU juga pernah menjuarau salah satu kompetisi dakwah di televisi nasional kita, menuturkan beberapa problematika yang terjadi ketika menjadi kader IPNU, antara lain stigma negatif dari lingkungan sekitar. Afif menyemangati bahwa yang dilakukan kader IPNU adalah hal yang sama sekali berbeda dengan apa yang pelajar lain lakukan diusianya. Mewakili tuan rumah pendopo, Ahmad Suryanto Camat Banyumas juga menekankan nilai keikhlasan dalam setiap berkegiatan. Selain itu Ahmad juga sedikit menceritakan sejarah Pendopo yang dahulunya merupakan pendopo utama Kabupaten Banyumas. Titut Edi, selaku Budayawan Banyumas, menambahkan bahwa sebagai orang islam terlebih NU, maka kita harus mencintai alam dan daerahnya.

Agus Sukoco yang tak lain penggiat Juguran Syafaat ikut menyampaikan kebahagiaannya bertemu dengan anak muda yang sangat militan seperti kader IPNU dan IPPNU. Dalam paparan singkatnya, Agus berkisah tentang Nabi Khidir yang pesan hikmahnya dalam refleksi waktu dahulu, kini dan esok hari. Dalam penjelasanya, Agus percaya bahwa apa yang dilakukan kita kemarin sangat berkaitan dengan keadaan kita kini. Dan apa yang akan terjadi esok hari adalah buah investasi dari apa yang kita lakukan sekarang.

Agus juga menyampaikan bahwa yang musti dirubah pertama kali adalah cara berfikir. Jika sudah berubah maka akan mempengaruhi mental kita. Berlanjut pengaruhnya ke sikap hidup kita dan berikutnya hasil budaya kita. Agus juga mengingatkan bahwa point penting khas dari pelajar IPNU adalah dalam menjaga tradisi belajarnya. Agus mengharapkan bahwa apapun yang sudah menjadi tradisi dalam kalangan NU seperti tahlilan, ziaroh dan lain-lain, lakukan saja sepenuh hati, sambil pelan-pelan dikaji hikmah dan sudut pandang sosial ilmiahnya. Pelajar IPNU diharapkan juga mampu mencerdasi apapun yang terjadi disekitar lingkungannya. Seperti perbedaan dalam tata cara beribadah hingga isu sosial terbaru saat ini.

* * *

Memang Beda

Disisi lain, beberapa muda mudi terlihat berduaan dikomplek pendopo. Obral obrol ngalor ngidul. Buang waktu menghabiskan sore menikmati angin sepoi-sepoi. Entah membicarakan rencana apa. Jauh kontras dari adik-adik yang sedang menyimak penjelasan kakak-kakak narasumber yang berada di dalam pendopo. Terlihat berbeda nampaknya mata adik-adik ini. Penuh binar asa, menyalakan energi jiwa mudanya. Mereka sanggup menelan pemahaman-pemahaman filosofis dari yang dipaparkan oleh kakak-kakak narasumber.

Beberapa rekan ikut merespon diskusi sebelumnya. Fauzi dari Kebasen, menanyakan apakah dengan besarnya NU akan membahayakan beberapa ormas yang lain. Ihsan dari Banyumas, ikutbmenanyakan bagaimana caranya IPNU bisa menjadi kawah candra dimuka untuk manusia Indonesia serta bagaimana hubungan Islam dengan jawa. Pertanyaan-pertanyaan segar muncul tidak terduga dari beberapa yang hadir. Rifki dari Banyumas juga ikut urun pertanyaan bagaimana seharusnya karakter pelajar NU dari Banyumas.

Titut Edi merespon bahwa pemuda yang berkarakter adalah mereka yang mempunyai daya ganggu. Daya ganggu disini bukan berarti menyukai kekisruhan, tapi berbeda dengan yang lain. Mempunyai satu hal kebaikan menonjol yang bisa menjadi andalan hidup. Titut juga menjelaskan bahwa budaya dan agama adalah sama-sama bentuk mencari keselamatan hidup. Disinilah Islam dan jawa bisa bertemu dan bersambungan dengan baik.

Agus Sukoco merespon bahwa yang terjadi saat ini adalah arus globalisasi dimana setiap orang dipaksa mempunyai ukuran hidup yang sama. Orang hebat adalah seperti orang barat. Orang kalau tidak putih kulitnya maka tidak cantik. Trend fashion menjadi tolak ukur gaya hidup sekarang. Maka bentuk perlawanannya adalah menjadi diri sendiri yang otentik. Agus menyemangati bahwa IPNU ini adalah tempat yang tepat bagi para pelajar untuk menempa dan menemukan jati dirinya. Agus percaya bahwa mereka adalah generasi terbaik Indonesia dalam 10 tahun mendatang.

Tepat pukul 16.00 WIB, acara dirampungkan. Rizky sebagai moderator menutup acara dengan berpesan bahwa aktif di IPNU dan IPPNU adalah ikut andil dalam menjadi sejarah panjang Islam di Nusantara. Meski acara sedari pagi, mereka tetap kuat bertahan hingga sore hari untuk mengikuti acara puncak ini. Satu persatu adik-adik ini meninggalkan pendopo tempat acara. Tidak sedikit mereka yang menaiki kendaraan bak terbuka untuk pulang ke rumah. Mereka pulang membawa pemahaman akan tujuan mereka untuk belajar saat ini. [] Hilmy Febrian Nugraha

JS Kemarin

Awale Mung Kumpul Bocah

Sekumpulan pemuda ini rata-rata berumur 28 tahun. Hampir seumuran. Berbagai pekerjaan dijalani, ada yang wiraswasta, kantoran, pedagang, freelance, pengangguran, petani hingga masih mahasiswa. Berkumpul menjadi hal yang merekatkan mereka sejak tahun 2005. Beberapa diantaranya persambungan karena kawan lama sejak SMA, ada juga yang lebih lama yaitu kawan sejak SMP, atau pertemuan-pertemuan khusus seperti di kampus. Sejak 2005 akhir mereka membuat komunitas pemuda yang mempunyai mimpi untuk ikut support anak muda dalam hal perubahan motivasi dan orientasi hidup.

Dengan bekal seadanya, mereka membuat media berbentuk koran yang ditempel di dinding sekolah, disingkat kording. Pertama kali terbit pada 12 Desember 2006. Kording ini jauh dari kaidah etika jurnalistik, bisa dikatakan modal nekat miskin ilmu. Tapi untuk urusan semangat belajar dan militansi jangan ditanya. Kording ini berisi muatan tentang motivasi belajar dan bercita-cita. Beberapa ditulis sendiri oleh tim redaktur, dan yang lain adalah comotan dari internet. Jangkauan sebarnya meliputi SMP dan SMA di 4 kabupaten yaitu Banyumas, Purbalingg, Cilacap dan Banjarnegara.

Kording ini bertahan tertempel selama 2 tahun lebih. Dari media Kording inilah, mereka berupaya untuk bertransformasi ke pelatihan. Tahun 2008, lagi-lagi berbekal nekat dan doa, mereka menawarkan pelatihan di sekolah-sekolah untuk persiapan mental menghadapi Ujian. Beberapa sekolah menerimanya dengan senang hati, sebagian besar yang lain menolaknya dengan halus. Bukan karena apa-apa, mungkin memang timming saat itu belum ramai pelatihan motivasi menghadapi ujian. Ada juga pelatihan public speaking dan softskill untuk guru-guru. Beberapa kali juga mereka merambah kota-kota di Jawa Tengah untuk mengadakan tour pelatihan ini. Sebuah potret bahwa yang mereka lakukan sudah melampaui jamannya.

 *  *  *

Diskusi ke Diskusi

Diskusi selalu berjalan, bahkan sejak sebelum penciptaan Kording. Hampir setiap hari mereka berkumpul di rumah kontrakan di jantung kota Purwokerto yang mereka anggap sebagai markas. Berbicara ngalor ngidul, membahas fenomena sosial, pengembangan diri, agama, hingga asmara pun tak lepas setiap waktunya. Selain diskusi, mereka rajin untuk saling sambang satu sama lain. Sehingga keluarga besar mereka makin erat persaudaraannya.

Selain diskusi, mereka rajin mengikuti pelatihan-pelatihan dari wirausaha, pengembangan diri sampai yang berbau-bau agama. Rasa haus akan ilmu menjadi sandaran dalam mereka mengikuti pelatihan. Dari Jakarta hingga Malang mereka buru dengan serius. Katanya untuk keberkahan ilmu, semua dikejar meski jauh. Guru-guru terbaik tanah air pun mereka temui. Proses ini ada pada periode tahun 2008-2010.

Tapi nampaknya semua perjalanan belum menyembuhkan dahaga mereka. Masih ada yang kurang dalam hidup. Pencarian akan jati diri belum usai. Melihat kondisi dunia yang penuh carut marut ini, harus kemana lagi akan melangkah. Usia menuju 25 adalah masa-masa penuh dengan pertanyaan hidup dan perjuangan memepertahankan idealisme.

Hingga pada suatu ketika, internet pada kontrakan mereka menyentuh youtube dengan kata kunci “Cak Nun”. Dari situ mereka sangat tertarik dengan apa yang Cak Nun sampaikan di forum-forumnya. Segar, membuka pikiran dan mencerahkan. Tafsir-tafsir yang kontekstual. Bahasa yang ringan mudah dimengerti. Meski tak jarang bahasa melangit, tapi dalam beberapa kali berfikir akhirnya bisa dicerna juga. Beberapa diantaranya tertarik dengan musik Kiai Kanjeng yang dimotori oleh Cak Nun itu sendiri. Musik yang kaya dan berisi terlihat dari setiap pementasannya.

Diskusi terus berlanjut. Sehabis menonton youtube Cak Nun, mereka berdiskusi dari hasil apa yang mereka tonton bersama. Ada juga seorang yang mulai mengumpulkan buku-buku Cak Nun dan membacanya satu persatu. Memperkaya diri dengan khasanah pemikiran Cak Nun. Ada juga yang mulai men-downloadlagu-lagu Kiai Kanjeng dan tentunya diperdengarkan bersama.Dari situlah, pemikiran Cak Nun mulai mempengaruhi sekumpulan pemuda ini.

 *  *  *

Setia Hadir

Dan tumbu temu tutup. Pada 28 Oktober 2010, seorang kawan mengabarkan bahwa ada pengajian Cak Nun Kiai Kanjeng di Desa Kalisalak, Kebasen yang jaraknya sekitar 15 KMdari Purwokerto. Berangkatlah mereka dengan semangat ekstra. Meski hujan sejak sore tidak menyurutkan stamina belajar mereka menuju ke tempat acara. Berhujan-hujanan, setia dalam beceknya lapangan desa terobati ketika bisa mengikuti ceramah Cak Nun langsung disertai iringan musik Kiai Kanjeng yang syahdu dan rampak.

Sesudah itu, para pemuda itu menjadi rajin mengikuti Maiyah Mocopat Syafaat di Bantul, Yogyakarta. Sudah seperti wajib rasanya, setiap tanggal 17 pasti menjadi agenda rutin mereka untuk setia hadir “berziarah” ke Yogyakarata. Pemikiran mereka menjadi makin meluas dan mendalam. Dalam beragama menjadi semakin dewasa. Tidak egois. Melihat masyarakat menjadi lebih peduli. Berpolitik menjadi punya pijakan kaki. berkesenian menjadi punya makna tujuan. Dan disitulah nampaknya pertanyaan-pertanyaan hidup sekumpulan pemuda ini terjawab satu persatu.

Selama hampir 3 tahun setia mengikuti kajian-kajian di forum Maiyah di berbagai tempat seperti Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat dan beberapa forum di sekitaran Jawa tengah, maka mereka mempunyai inisiatif baru. Mereka mencoba untuk ikut berperan aktif bermaiyah dengan menggagas forum seperti yang mereka ikuti sebelumnya. Dengan berkiblat ke Kenduri Cinta, Jakarta, mereka menyelenggarakan forum maiyah ini perdana pada Sabtu, 13 April 2013. Lagi-lagi hanya bermodal nekat dan doa, forum ini berjalan lancar dengan peserta 50-an orang hingga pukul 01.00 dini hari. Forum ini dinamakan Juguran Syafaat. Yang mempunyai arti “Juguran” adalah duduk-duduk santai, tongkrongan, ngariung. Dan “Syafaat” sendiri adalah pertolongan istimewa dai Kanjeng Nabi. Mereka berharap bahwa melalui forum ini dengan format santai duduk-duduk juga bisa saling sharing pemahaman yang mengantarkan merka mendapatkan pertolongan istimewa dari Kanjeng Nabi Muhammad.

Pada penyelenggaraan kedua, mereka dipertemukan dengan sedulur Maiyah dari Purbalingga. Dengan dipandegani Agus Sukoco, sedulur Maiyah Purbalingga ternyata sudah lama melingkar bersama dalam berproses. Mereka sudah sejak 2006 mengikuti Forum Maiyah Mocopat Syafaat. Disehari-hari, mereka bekerja sebagai karyawan swasta, buruh pabrik, pedagang, petani hingga penganggur. Pertemuan rutin mereka setiap malam Jumat, bersholawat bersama di belakang rumah Agus Sukoco. Selain itu juga mencoba menggali lebih dalam apa yang sudah disampaikan oleh Cak Nun ditempat lain.

Diam-diam mereka sudah bergerak. Dalam kesunyian, forum-forum sholawat mereka gagas dari rumah ke rumah. Dari desa ke desa. Hingga pada Desember 2012, sedulur Purbalingga ini bisa meminta Cak Nun dan Kiai Kanjeng untuk mengaji bersama di Karanggambas, Purbalingga. Prestasinya kala itu adalah Cak Nun berjabat tangan terlama selama perhelatan Cak Nun dan Kiai Kanjeng selama ini. Selain rajin bersholawat dan kecil-kecilan berdiskusi, sedulur Purbalingga rajin berziarah dan laku tirakat. Jika diskusi sudah mentok, maka wirid dan tirakat menjadi andalan utama. Demikian falsafahnya. Dan itu menjadi tradisi hingga saat ini.

Sedulur Purbalingga ini sangat senang sekali bisa bertemu dengan teman-teman Purwokerto. Seperti saudara lama yang dipertemukan kembali. Sejak 2006 berproses hingga 2013 bertemu di Juguran Syafaat, tidak pernah mereka berani untuk membuat forum terbuka seperti ini. Dan Juguran Syafaat inilah jawaban atas kegelisahan sedulur Purbalingga selama ini. Yang dari Purbalingga memahami betul aspek spiritualitas, sedangkan dari Purwokerto kaya akan khasanah modern ilmiah. Bersatu berproses bersama, saling mengisi saling melengkapi. Setiap person, paham kerja dan wilayahnya masing-masing.

 *  *  *

Dari Juguran ke Juguran

Hingga saat ini Juguran Syaafat memasuki edisi ke 35. Setiap hari Rabu mereka masih berkumpul rutin untuk membicarakan ngalor ngidul, fenomena sosial, pengembangan diri, agama hingga asmara. Masih sama seperti 6 tahun yang lalu. Hanya saja kerangka diskusinya ada pada garis besar Maiyah. Cara pandang mereka sudah berubah. Sudut pandang terhadap maslah jadi lebih luas. Malam Jumat setia berkumpul dengan sedulur di Purbalingga ikut bersholawat dan membahas kedalaman Maiyah bersama.

Evaluasi-evaluasi selalu dijalankan sesudah penyelenggaraan forum. Dari konsep acara, tema, pengisi acara, sesi diskusi, musik pengisi, sound system hingga sekedar penyajian makanan kecil dan kopi. Setiap detail mereka perhatikan. Pelan-pelan berlatih berdiskusi dengan tujuan lebih spesifik yaitu penentuan tema diskusi untuk Juguran Syafaat bulan depan. Juga pembagian kerja dari pra acara hingga setelah acara. Pengalaman menyelenggarakan event menjadi bekal tersendiri dalam penyelnggarakan forum Juguran Syafaat ini.

Salah satu yang menjadi kebanggan mereka adalah mampu menjadi tuan rumah pada Silaturahmi Penggiat Nasional pada 4-6 Desember 2014 di Baturraden. Dimana pesertanya adalah semua simpul Maiyah Nusantara dari Lampung hingga Surabaya. Rasa-rasanya baru kemarin Juguran Syafaat perdana terselenggara. Dan April besok ternyata sudah 3 tahun berproses. Pelan-pelan mereka mengistikomahi proses perjalanan bermaiyah ini. Satu-satunya tujuan cuma satu, ikut bisa nyicil ngrewangi Mbah Nun dandan-dandan peradaban. [] RedJS

 

Jenderal Soedirman Tidak Mati

Pengajian Haul Jenderal Soedirman di Pondok Pesantren An Nahl Purbalingga, 20 Februari 2016

Langit mendung menaungi Purbalingga sedari sore. Tarub dan panggung sudah disiapkan panitia bahkan sejak siang. Sound system dicoba kualitasnya. Karpet-karpet digelar. Panganan jajanan pasar tersedia di meja disudut tarub.

Beberapa pemuda memang yang manggawangi teknis acara ini. Mereka adalah Garda Community. Kelompok pemuda pemudi yang berasal dari Purbalingga ini sudah berkumpul melingkar sejak 2011. Sejak awal persentuhan dengan Maiyah sudah mempengaruhi cara berfikir dan bertindak mereka. Komunitas ini beranggotakan 200 an pemuda pemudi yang hampir sebagian besar bekerja menjadi buruh pabrik rambut di kisaran Purbalingga. Militansi mereka sudah tidak diragukan lagi. Hampir setiap bulan mereka menyisihkan penghasilannya barang 5000-10000 rupiah untuk kas komunitas ini. Dan ini diperuntukkan untuk kegiatan sosial seperti santunan anak yatim, pengajian rutin hingga tanggap bencana.

Acara ini selain rutinan dari Pondok Pesantren An Nahl, yaitu pengajian selapanan malam ahad manis juga diikuti dengan Haul Jenderal Soedirman. Tepat pukul 19.30 WIB, acara dimulai dengan sholawat dan pembacaan maulid Simtudurror. Acara dilanjutkan dengan pentas seni oleh santriwan santriwati dari Pondok Pesantren An Nahl.

Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Seolah menyambut kegiatan malam hari ini, gerimispun ikut merespon. Acara ini dihadiri oleh 300an orang dari sekitar kawasan Pondok Pesantren. Memasuki acara utama, Ki Ageng Juguran membuka dengan dua nomor Bangbang Wetan dan Senandung Desa. Para tamu undangan dari pengasuh Pondok Pesantren, unsur Muspika Kecamatan Kutasari, Camat, Danramil dan Kepala Desa turut hadir dan berada di panggung. Hadir juga Agus Sukoco yang kali ini mewakili Lakpesdam NU Purbalingga.

Kiai Fitron, pengasuh Pesantren menyambut dengan kebanggan bersama bahwa para panitia kali ini berasal dari kalangan pemuda Purbalingga. Camat Kutasari ikut menyampaikan bahwa kegiatan seperti ini adalah hal positif untuk anak muda dibandingkan hanya nongkrong tidak jelas di pinggir jalan hingga narkoba. Agus Sukoco, ikut menambahkan bahwa kebanggaan rakyat Purbalingga adalah menjadi tanah kelahiran pahlawan besar Indonesia Jenderal Soedirman. Agus berpendapat bahwa leluhur kita yang sudah meninggal itu tidak benar-benar tiada. Ini sesuai dengan janji Allah. Maka dengan penyelenggaraan Haul Jenderal Soedirman seperti ini diharapkan Jenderal Soedirman tetap hidup dan mendampingi anak cucunya di Purbalingga dalam bentuk spirit juang dan semangat positif. Membahas hukum saat ini, Agus ikut menerangkan bahwa hukum itu seperti pagar bagi orang yang tidak memiliki batasan diri secara internal.

“Seharusnya orang sudah memiliki akal sehat dan hati nurani sudah tidak memerlukan hukum dalam praktek kehidupan sosial dan budaya. Orang tidak perlu hukum untuk tidak mencuri. Karena akal sehatnya menolak itu semua.”, tambah Agus.

Danramil Kutasari ikut memberikan perspektif tentang perjalanan hidup Jenderal Soedirman. Menurutnya, Jenderal Soedirman adalah bapak dari TNI yang merupakan pencipta dari taktik perang gerilya. Jika dikaitkan dengan sejarah Islam, maka Jenderal Soedirman sebenarnya mengadopsi teknik perang dari Rasulullah.

“Allahu Rabi”, sebuah tembang sholawat ikut menghiasi jeda antar sesi diskusi. Ustadz Jendro dari Purbalingga ikut menyajikan sebuah tembang mocopat Pangkur yang berisi tentang syair perjuangan. Selain itu, dijelaskan pula arti kata An Nahl, yang artinya lebah. Dimana lebah tidak menyukai bunga yang terbuat dari plastik. Sama seperti santri An Nahl ini, tidak menyukai kepalsuan-kepalsuan dunia karena mencari kesejatian hidup. Ki Ageng Juguran mempersembahkan nomor syahdu Hasbunallah.

Tepat pukul 24.00 WIB, acara diakhiri dengan sholawat Tarhim oleh Ujang KAJ. Doa bersama dipandu oleh Kiai Fitron. Cahaya ilmu dan pemahaman memasuki ubun-ubun yang hadir selaras dengan niat ikhlasnya bersilaturahmi dan mencari ilmu. Hadirin pulang satu persatu membawa semangat juang nasionalisme Jenderal Soedirman ke dalam aktifitas mereka esok hari. [] Hilmy Febrian Nugraha

Mesra Bersama Penggiat JS

 

BERTEMPAT KEDIAMAN Agus Sukoco, pertemuan yang cukup intim  digelar. Pertemuan ini digelar  untuk menyambut kedatangan tamu  dari Padhang mBulan, Jombang  yaitu Lek Hammad, Cak Lutfi dan  Cak Atim. Tamu-tamu mulia  tersebut semalam sudah menghadiri  Juguran Syafaat. Selain tamu  tadi, telah hadir juga para  penggiat Juguran Syafaat dari  Purwokerto dan Purbalingga. Ada  juga tamu dari Suluk Pesisiran  turut serta mengikuti acara.

Acara dibuka dengan bersholawat  bersama dipandu oleh Toto dan  Ujang diiringi gitar sederhana.  Selanjutnya Rizky menyampaikan  bahwa pertemuan sederhana ini adalah bentuk sambutan dari Juguran Syafaat atas niat baik Padhang mBulan dalam mempererat tali silaturahmi.

Tempat acara yang cukup representif. Meski dibelakang rumah, tapi rasanya tetap nyaman. Beratap langit berbintang dan beralaskan karpet sederhana. Hidangan seadanya tersedia didepan para penggiat.

Agus Sukoco menyambut dengan mengingatkan semuanya akan ibu kandung simpul Maiyah yaitu Padhang mBulan. Bagaimana perjuangannya dari tahun 90an, itulah yang menginspirasi gerakan kita hingga saat ini.

Lek Hammad merespon dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya saat ini adalah upaya menjaga istiqomah silaturahmi. Lek Ham juga bercerita bahwa Padhang mBulan dari awal dibuat bukan berdasarkan cita-cita besar, hanya karena bagaimana cara agar Cak Nun bisa pulang ke Menturo sebulan sekali. Lek Ham juga berpesan bahwa dalam kita bermaiyah hendaknya ikut membantu perjuangan Cak Nun. Seperti yang sudah dilakukan simpul sebelumnya, pun penataan internal simpul seperti membuat instrumen media dan lain sebagainya.

Rizky ikut menjelaskan bahwa konsep simpul sekarang adalah bentuk padatan dalam Maiyah yang didalamnya terdapat beberapa instrumen pendukung seperti media, event, dll. Cak Lutfi sendiri menambahkan bahwa kemesraan antar jamaah itu yang utama. Cak Lutfi juga meminta agar dalam setiap forum bisa saling menyapa jamaah dikota lain secara jarak jauh.

Mendekati akhir acara resmi, sholawat dipandu oleh Cak Lutfi dibawakan bersama-sama. Hawa hangat dan syahdu mengalir diantara sesama penggiat. Khusyuk terasa nikmat. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah santai. Ngobrol sana-sini, berbagi kemesraan. [] Hilmy Febrian Nugraha

14 Februari 2016

Frustasi Berbuat Baik

ANDA YANG PERNAH hidup di daerah Singapura, Jepang atau Korea pasti tahu betapa tertibnya negara mereka. Tidak merokok sembarangan, antri jika menunggu sesuatu, bisa berhenti pada haltenya, bahkan yang ekstrim mereka tidak meludah sembarangan. Mereka negara tertib. Percaya betul bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Yakin betul bahwa setiap keburukan akan dibalas dengan keburukan. Sekecil apapun. Bukankah ini firman Tuhan?

Karena negara melindunginya. Negara menjamin orang yang berbuat baik, jujur dan kerja keras mendapatkan apa yang menjadi haknya. Disana mereka yang berbuat baik akan mendapatkan pelayanan terbaik oleh negara. Orang jujur pasti aman dan akan dicari-cari untuk diminta bekerja. Orang yang kerja keras dijamin oleh negara, mereka akan mendapatkan hak terbaik atas gaji, tunjangan dari negara.

Nah, disini? Jangankan jaminan. Orang berbuat baik sekarang malah dicurigai. Menyapa orang di angkot di kota besar bisa jadi modus kejahatan. Orang-orang terbaik negeri ini dibuang. Orang jujur malah hancur. Yang dijaga adalah mereka yang bisa membayar semuanya. Sekeras apapun kita bekerja, tidak akan dihargai oleh negara. Itu urusanmu sendiri. Tidak pengaruh. Ada tidak ada negara menjadi tidak ada bedanya. Apa tujuan ada negara? Kalau urusan ini saja tidak bisa mengurus.

Lalu orang-orang menjadi frustasi berbuat baik. Rajin berbohong. Malas bekerja keras. Apatis. kejahatan dimana-mana. Cara berfikir sehat kita terbalik sudah. Negara yang seharusnya menjamin ini semua menjadi malah berlawanan.

Tapi kalau kita hanya mengharap kepada negara ini, pasti jadinya hanya frustasi, putus asa dan kemenyerahan hidup. Sedang kalau kata Bung Karno diatas kekuasaan negara ini ada kekuasaan rakyat, dan diatasnya lagi ada kekuasaan Tuhan. Kita sering lupa ada Tuhan. Maka menjadi pasrah dalam kefrustasian.

Yakin saja, bahwa bisa jadi negara kita tidak menjamin balasan kebaikan yang kita perbuat, tapi Tuhan menghitung dengan teliti, menyimpan semua file perbuatan kita dengan detail dan membalasnya satu persatu dikondisi dan waktu yang paling tepat yang dirasakan oleh umat manusia. Itu kalau kita tidak atheis dan masih percaya ada Tuhan. [] Hilmy Febrian Nugraha