PADA FORUM MAIYAH Juguran Syafaat Januari 2016 lalu di Purwokerto, banyak hal yang menarik untuk diingat ingat kembali, dicerna kemudian dijadikan oleh-oleh rezeki ilmu dan hikmah yang tak terkira banyak dan besar manfaatnya. Forum Maiyah Juguran Syafaat yang dimotori oleh mayoritas penggiat anak-anak muda ini menawarkan acara ‘malam mingguan’ yang berbeda. Saya melihat, forum yang diadakan di pendopo SKB Purwokerto ini seperti remang cahaya yang bagai dilihat dari kejauhan, samar tapi diam-diam menarik perhatian. Lambat laun, remang cahaya ini dengan sendirinya besar dan suatu saat dapat memberi kilauan cahaya yang dahsyat karena sejak dini mereka sudah memberikan sorotan sorotan cahaya ke berbagai arah dan objek permasalahan.
Banyak hal, luas dan panjang lebar seputar ‘Proses dan Prosesi Shalawat’ dibahas oleh Syekh Nurshamad Kamba, juga Pak Titut seorang seniman teater Banyumasan ikut menaburkan khasanah kearifan lokal. Pak Hadi Wijaya seorang seniman lukis dengan pengalaman beliau yang banyak, juga banyak ilmu dari para penggiat tentunya.
Adalah Mas Agus Sukoco, yang juga salah satu penggiat sekaligus narasumber yang hadir malam itu memaparkan tafsir surat al Fatihah dengan apik, tidak biasa dan inspiratif. Beliau manafsir surat al Fatihah secara terbalik. Menarik tafsir surat itu justru dari akhir ayat yang kemudian disambung ke ayat sebelumnya yang kemudian berakhir justru di awal ayat. Menurutnya, Bismillahirrahmanirrahim itu merupakan tujuan yang justru diletakkan di awal ayat. Sangat terkesan mendengarnya karena mengingatkan saya ke pola penulisan dan cara berfikir umum yang linier nan baku versus pola susunan surat dan ayat al Qur’an.
Di lain kesempatan, beberapa tahun lalu Cak Nun pernah memaparkan hal yang mirip, yang menyatakan bahwa kalimat dan susunan bahasa yang dipakai al Qur’an itu urutannya sangat siklikal. Bahwa sejatinya al Qur’an sangat mungkin dimulai dari ayat yang mana saja dan diakhiri pada ayat ke berapa saja. Karena al Qur’an susunan kalimatnya itu terkesan acak dan sulit kita ‘menemukan’ awal dan akhir karena semuanya bisa dijadikan awal permulaan. Kalimat, kata, bahkan huruf pun mengandung makna yang dalam. Al Qur’an bagai samudera yang luas dan dalam yang tidak ada ujungnya karena melingkar. Al Qur’an bagai langit yang manusia mustahil bertemu batas akhirnya.
Coba kita intip aturan baku tulisan yang beredar hasil karya manusia. Mulai dari kata pengantar, pendahuluan, bab atau isi, permasalahan, konklusi, rangkuman dan penutup. Alur tulisan yang linier ini berlaku pada hampir semua jenis karya tulis. Gunanya agar penulis dan pembaca mudah mengerti alur jalan ‘cerita’ atau isi pemikiran yang sedang dibahas. Tulisan yang model seperti ini sangat kaku karena keterkaitan kalimat awal dan akhir sebagai keterangan kalimat atau bab sebelumnya. Sulit dibayangkan karya ilmiah kita baca secara acak susunannya dan parsial memahaminya. Karena kalimat selain al Qur’an tidak mempunyai kemungkinan yang banyak kecuali satu dua makna yang tersirat. Itupun sangat jarang. Meski katanya, kaum muslim tidak boleh memahami al Qur’an secara parsial, memotong ayat seenaknya, mengambil sebagian dan menolak sebagian yang lain, tafsir parsial dan seterusnya. Saya setuju ungkapan itu apalagi ayat tentang hukum. Dan hendaknya al Qur’an dipahami secara menyeluruh. Tapi tidak ada buku manapun yang kalimatnya bisa ditafsir detail sampai makna makna setiap hurufnya. Yang sekali lagi, manusia memulainya pada ayat berapapun, ia akan menemukan hikmah, ilmu, makna yang luas belum lagi ratusan sudut pandang ilmu yang tak terkira.
Sir Ibrahim
Timoho, Yogyakarta.
17 Januari 2016.
Penulis adalah Penggiat Maiyah Kenduri Cinta.