Rancu Sejak dari Kata-Kata

Hari demi hari bangsa kita terus menghadapi kerancuan demi kerancuan. Seperti benang kusut yang sungguh putus asa untuk dibuat kembali terurai. Kerancuan yang berlapis-lapis, mulai dari kerancuan harga-harga, kerancuan kebijakan-kebijakan dan tanpa sadar, kita sebenarnya sudah rancu mulai dari hal yang paling dasar, kerancuan kita dalam memahami kata-kata dan istilah-istilah.

Orang Barat kagum kepada Indonesia, diantaranya karena mereka menyaksikan, bahkan seorang tukang becak yang notabenenya adalah kaum marginal dalam hidupnya ia mempunyai falsafah, “Sejatine, urip kuwi mung mampir wedangan”. Walau pada kenyataannya, sebagian kita yang merasa memiliki kasta di atas tukang becak juga tidak memiliki falsafah hidup seluhur itu. Falsafah luhur yang membuat ia setia mengayuh becak, tanpa dibebani depresi mental akibat tekanan sosial.

Jangankan memiliki falsafah hidup, bahkan membedakan antara mana falsafah, mana semboyan dan mana afirmasi saja sepertinya masih rancu. Kerancuan kita memahami istilah inilah bisa jadi yang menjadi pangkal dari segala kerancuan yang terjadi di bangsa ini secara berlapis-lapis hari ini.

Ada falsafah, ada prinsip, ada metode, ada semboyan atau moto, ada visi, ada misi, ada afirmasi dan lain sebagainya. Ketidakpekaan kita terhadap kata dan istilah membuat kita hanya mengenalinya sebagai pepatah, atau kata bijak atau kata mutiara.

Falsafah adalah sikap batin yang mendasar, ia berfungsi sebagai the deep of lifemap. Falsafah yang benar akan membuat cara kita memandang sesuatu menjadi lebih presisi. Orang yang mempunyai falsafah atau sikap batin yang menjadi dasar terhadap hidup adalah sebagai “mampir wedangan”, tentu akan beda improvisasi sikap hidupnya dengan orang yang memiliki sikap batin yang menjadi dasar bahwa hidup adalah ngobyek. Falsafah ngobyek namanya.

Pilihan sikapnya akan berbeda, kuda-kuda daya tahan hidupnya berbeda. Prinsip yang dipegang akan berbeda, metode yang ditempuh berbeda, visi yang dituju berbeda, slogan yang dibuat juga akan berbeda. Maka tidak ada salahnya kalau kita cek lagi apa falsafah hidup kita.

Kalau falsafah adalah sikap batin yang mendasar. Maka jangan keliru memilih sekedar pepatah untuk dijadikan falsafah. Ada pepatah “Mikul dhuwur, mendhem jero”, itu adalah jenis prinsip. Ada “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, itu adalah jenis metode. Ada “Sakinah, mawadah, warrohmah”, itu adalah visi. Ada “Bhineka tunggal ika”, itu adalah motto atau semboyan. Ada pula “Kegagalan adalah sukses yang tertunda”, itu adalah jenis afirmasi. Satu persatu kita urai kerancuan kita dalam memahami kata-kata, satu persatu kita tempatkan yang empan papan sehingga mereka menjadi memiliki fungsi dalam hidup kita.

Kalau falsafah hidup sudah diidentifikasi, selanjutnya kita cek dan temukan falsafah kita dalam berbangsa. Sudah benarkah sikap batin kita dalam memutuskan untuk hidup bersama menjadi sebuah bangsa? Kalau “Bhineka tunggal ika” adalah semboyan, lalu “Bela negara” adalah metode untuk mengerjakan misi dan mencapai visi “Membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, lalu apakah falsafah kita dalam berbangsa?

Mari kita cek lagi sikap batin kita memandang keberbangsaan kita. Apakah bangsa hanyalah sekedar ampiran atau persinggahan? Ataukah bangsa adalah tempat berlindung dari ancaman bangsa lain? Atau bangsa adalah tempat membangun kekayaan mengungguli bangsa lain? Ataukah bangsa adalah tempat memperkaya segelintir orang dan memiskinkan sebagian besar lainnya?

Bangsa ini sejatinya adalah rumah tempat bernaung, atau sejatinya bangsa ini adalah perusahaan pemburu pendapatan? Mentang-mentang agenda dunia saat ini adalah urusan pasar, yakni pasar bebas lalu apakah serta merta kita memandang bangsa adalah lapak usaha? Sehinga falsafah salah kaprah kita adalah: Sejatinya membangun bangsa adalah membangun perusahaan.

Demi efisiensi perusahaan, subsidi untuk cabang produksi strategis yang signifikan bagi hajat hidup orang banyak harus dikurangi bahkan dicabut. Demi optimalisasi pendapatan perusahaan, tambang emas harus dinasionalisasi. Demi mengurangi kebocoran kas perusahaan, komisi pengembalian uang kas harus digenjot. Bukan semua itu jelek, tapi menjadi tidak tepat ketika sikap batin kita rancu. Akhirnya kita tidak bergerak kemana-mana.

Apa jadinya kalau kita tinggal bernaung di sebuah rumah, tapi kita abai dengan kondisi rumah karena disibukkan oleh papan nama usaha yang terpampang didepan rumah. Urusannya cuma laba, omset dan peluang. Lupa kalau rumah juga harus dijaga tatanannya dan terus dirawat. Itulah gambaran orang yang salah menaruh sikap batin sebagai dasar memandang kehidupan keberbangsaannya, salah memegang falsafah dalam berbangsa.[] Rizky Dwi Rahmawan

HAKEKAT PENDIDIKAN

Secara bahasa, sejarah berasal dari kata ‘sajaroh’ yang berarti ‘pohon’. Istilah sejarah selama ini dimaknai secara umum hanya sebatas informasi tentang fakta masa silam. Padahal jika sejarah diartikan pohon, masa silam itu baru mewakili bagian ‘akar’. Sementara pohon sendiri terdiri dari akar, batang, dahan, daun dan buah. Komposisi ke-semuanya itulah disebut ‘sajaroh’. Dengan demikian, sejarah atau sajaroh merupakan formula anatomi tentang kehidupan yang terdiri dari akar masa silam, batang masa kini serta dahan/daun/buah masa depan. Masa kini yang terpenggal dari masa silam tidak akan pernah menghasilkan daun dan buah masa depan, karena batang pohon telah tidak memiliki ketersambungan dengan akar masa silam.

Sebagai sebuah pohon, kebudayaan kita hari ini telah berdiri tidak di atas ketersambungan akar masa silam. Batang pohon peradaban bangsa kita sama sekali bukan lahir dari perspektif otentik dan filosofi orisinal ‘akar’ nilai leluhur sendiri. Maka yang terjadi adalah kerusakan anatomi ‘sajaroh’ yang berimplikasi pada kebimbangan mengelola masa kini sehingga kehilangan presisi dalam memproduk langkah-langkah masa depan .Hampir di setiap ranah dan segmentasi kebudayaan kita menjadi rancu dan distortif. Peradaban yang dikonstruksi dengan landasan nilai yang diproduksi oleh ‘dismanagemen sejarah’ akan membuat umat manusia kehilangan kiblat orientasinya. Indikator ketersesatan kebudayaan manusia modern adalah terjadinya proses sekulerisasi kehidupan. Salah satu out-put dari sekulerisme kebudayaan modern adalah kerancuan dunia pendidikan yang sedang bersama-sama kita selenggarakan.

Tujuan Pendidikan

Dalam islam dikenal tarbiyah. Merupakan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang artinya pendidikan. Menurut istilah, tarbiyah adalah suatu tindakan mengasuh dan memelihara serta mendidik. Peran kepengasuhan sesungguhnya merupakan tugas primer yang diamanatkan kepada orang tua atas anak-anaknya. Setiap anak tidak memiliki otoritas untuk memilih dilahirkan dari orang tua siapa. Kedatanganya ke muka bumi melalui mekanisme biologis bernama kelahiran, merupakan hak mutlak Tuhan dalam memilihkan pihak yang menjadi orang tuanya. Dalam konteks ‘tarbiyah’, ketetapan seperti ini mengandung makna bahwa, setiap orang tua adalah ‘guru’ paling tepat bagi kebutuhan ‘kepengasuhan’ anak-anaknya. Siapapun dan bagaimanapun keadaan orang tua kita, mereka adalah pihak yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi ‘pengasuh’ terbaik kita. Setidaknya, tarbiyah di tahap paling awal.

Setiap anak yang lahir adalah manusia baru dengan perjanjiannya masing-masing. Orang tua hanya medium bagi kehadiran ‘manusia baru’ itu di muka bumi. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa, janin di kandungan akan ditiupkan ‘ruh’ di bulan ke empat dengan empat perjanjian otentik mengenai nasib, ajal, amal dan rejeki. Perjanjian otentik itu secara umum adalah sebentuk peran khusus kekholifahan yang sudah ditetapkan sejak sebelum ‘manusia baru’ itu dihadirkan ke dunia. Kemudian di surat An Naml ayat 78 disebutkan, ‘Dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, serta hati agar kamu bersyukur’. Artinya setiap anak atau manusia baru yang lahir itu ‘lupa’ dengan perjanjian otentiknya, sehingga ia harus ‘diingatkan’ kembali tentang siapa dirinya supaya mengerti jenis tugas ke-khalifahanya. Proses mengingatkan kembali itulah dinamakan ‘tarbiyah’. Maka Nabi mengatakan, ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu’, disitu yang dipakai kata rabbahu bukan illahu. Kalau yang dipergunakan adalah kata rabbahu berarti parallel dengan tarbiyah. Jadi tarbiyah, menurut hadist tersebut aksentuasinya adalah ‘pengenalan diri’.

Yang dimaksud dengan pengenalan diri tentu bukan pengetahuan tentang siapa namanya, dimana alamat rumah dan tempat kerjanya. Pengenalan diri sama sekali tidak terutama terkait dengan segala ornament social-budayanya, tetapi pengetahuan mengenai diri esensialnya, jati diri atau diri sejatinya. Lalu bagaimana seharusnya orang tua atau institusi pendidikan menjalankan peran tarbiyahnya?. Karena yang tahu ‘perjanjian otentik’ setiap anak dengan Tuhannya hanya Tuhan sendiri, sementara tidak satu orangpun di dunia ini yang diberi hak untuk ‘mengintip’ catatan rahasia itu, maka kewajiaban orang tua dan sekolah hanya bagaimana menciptakan situasi kondusif bagi setiap anak untuk tumbuh dengan dinamika dan kecenderungan personalitasnya. Bukan malah memenjarakan anak atau manusia baru itu dalam kerangkeng system pendidikan yang mengeneralisir setiap kecenderungan anak dengan kurikulum seragam.

Jika manusia telah mengenali dirinya sendiri, maka ia akan menemukan potensi otentik yang dipinjami Tuhan untuk menjalankan fungsi dan peran ke-khalifahan sesuai dengan perjanjian otentiknya. Tugas orang tua atau sekolah selanjutnya adalah menyediakan ‘ruang tumbuh’ bagi potensi otentik setiap anak untuk berkembang dan menyempurna. Apabila orang tua atau sekolah gagal mengawal dalam proses tarbiyah, maka dampaknya bagi anak adalah ia akan menjadi manusia yang tidak mengerti modal otentiknya dan tidak tahu orientasi hidupnya. Ibarat seseorang yang sesungguhnya dibekali alat berupa Sabit ketika ditugasi kerja bakti di perkebunan, tetapi karena tidak pernah mengenal fungsi Sabit, maka ia akan menggunakan Sabit untuk memotong kayu hanya karena kebanyakan orang yang dilihatnya sedang memotong kayu, padahal orang-orang yang sedang memotong kayu memang mereka membawa alat gergaji. Dan inilah fenomena yang lazim terjadi, pilihan fakultas hanya dimotivasi oleh kecenderungan trend dan peluang ekonomi. Yang lebih aneh lagi adalah orang tua dan sekolah menyelenggarakan jenis ‘ketersesatan’ seperti ini.

Pemantul Hidayah dari Tuhan

Ada semacam proses reduksi dalam kebudayaan modern yang merupakan implikasi dari fenomena sekulerisme. Ilmu adalah hidayah dari Allah SWT. Dan hak prerogratif Allah untuk memberi hidayah. Selama ini yang dimaksud hidayah hanya berlaku dan diterapkan di ranah agama formal, misalnya pada kejadian-kejadian yang menyangkut perilaku moral keagamaan. Ketika ada orang dari gemar berjudi tiba-tiba berubah menjadi rajin sholat, seketika masyarakat akan dengan mudah memaknainya sebagai peristiwa hidayah. Tetapi ketika ada anak dari belum paham 4+4 = 8 kemudian menjadi mengerti setelah belajar matematika, jarang orang menafsiri bahwa pengetahuan tentang matematika juga sebuah fenomena hidayah. Seolah-olah ilmu matematika, biologi, fisika dan lain-lain bukan merupakan ’ilmu’ yang bersumber dari Tuhan. Sikap memisah-misah seperti itu merupakan cara berpikir sekuler, karena menganggap ada hal yang bisa lepas dari keterkaitannya dengan Tuhan.

Tetapi yang harus menjadi perhatian khusus para pelaku pendidikan adalah ketika Tuhan menghadirkan otoritasNya sedemikian mutlak dalam konteks ‘hidayah’. Hal ini bisa kita ketahui melaui FirmanNya surat Al-Zumar(35), ‘ Dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang bisa member petunjuk baginya. Dan barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang bisa menyesatkannya. Bukankah Allah maha perkasa lagi mempunyai kekuasaan untuk mengazhab’. Ada dua sifat Tuhan yang berposisi dialektis dalam konteks ini. Yaitu Tuhan bersikap menyesatkan dan Tuhan berperilaku memberi petunjuk. Fenomena pertama, Tuhan bersikap menyesatkan. Ini tentu berlaku ketika ada suatu sikap, akhlak dan moral serta pola perilaku tertentu yang menciptakan logika untuk disesatkan. Sebaliknya, fenomena berikutnya adalah ketika Tuhan menghendaki untuk memberi petunjuk atau hidayah. Ada suatu kecenderungan dan perilaku tertentu yang membuat seseorang atau sebuah masyarakat berada pada ‘posisi’ dan kondisi yang tepat untuk mendapatkan hidayah dari Tuhan. Dalam konteks ilmu, dua fenomena itu juga berlaku. Artinya, ketika seseorang mendapatkan suatu ilmu, dia berada pada himpitan dua kecenderungan dialektis sifat Tuhan itu. Ilmu yang diperoleh berkemungkinan ‘penyesatan’ dari Tuhan atau sebaliknya, sebuah hidayah. Banyak orang makin menguasai ilmu justru semakin jahat dan destruktif. Ilmu yang merupakan ‘hidayah’ adalah ketika berdampak kepada peningkatan moralitas dan peran konstruktif pemiliknya.

Dari uraian di atas, maka institusi pendidikan, sekolah, pesantren, dan universitas-universitas merupakan tempat bagi anak-anak bangsa menerima hidayah. Peran lembaga pendidikan berada pada suatu kondisi yang ‘rawan’ karena proses transfer ilmu berkemungkinan sebagai petunjuk atau terpeleset menjadi penyesatan. Maka institusi pendidikan harus dibangun di atas logika sikap, akhlak dan moral yang relevan untuk berposisi mendapat hidayah. Ada beberapa factor mendasar dalam membangun moralitas dan akhlak institusi pendidikan yang harus diperhatikan.Pertama ; Jika orang tua merupakan ‘guru’ paling tepat dalam proses ‘tarbiyah, maka institusi pendidikan harus hadir sebagai ‘pengganti’ orang tua yang menjalankan fungsi kepengasuhan lanjutan. Dengan kata lain, hubungan orang tua dan lembaga pendidikan harus dibangun berdasarkan ‘akad’ yang jelas. Akad inilah yang menentukan ‘ke-halal-an’ institusi pendidikan sebagai pengganti orang tua. Kita bisa belajar dari sejarah penyerahan anak dari orang tua kepada kyai di pesantren jaman dulu. Seorang Kyai di pesantren benar-benar menjalankan dan menggantikan peran orang tua. Hampir seluruh hidup sang Kyai di dedikasikan untuk jenis pengabdian kepengasuhan seperti itu. Akad yang dibangun bukan berdasarkan kesepakatan transaksional, tetapi saling rela dan merelakan.Jika serah terima antara orang tua dan lembaga pendidikan masih menyisakan ‘keluhan’ diantara keduanya, maka proses ‘tarbiyah’ menjadi batal nilai. Kedua ; Di surah Yasin ayat 21, Tuhan menginformasikan, ‘ Ikutilah orang yang tidak meminta balasan kepada kalian, mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk’. Dalam konteks pendidikan, ilmu yang bermakna ‘hidayah’ hanya bisa didapatkan dari orang-orang yang tanpa pamrih dalam mengajarkanya. Orang yang ikhlas dalam dunia pendidikan modern sekarang direpresentasikan oleh sebuah institusi. Artinya, institusi pendidkan harus benar-benar setepat mungkin dalam memposisikan diri secara moral sebagai pihak yang menjalankan peran ‘kepengasuhan’, agar seluruh proses belajar-mengajar berlangsung sebagai sebuah peristiwa ‘transfer’ hidayah. Karena kegagalan membangun ketepatan pola perilaku dan logika akhlak, institusi pendidikan akan kehilangan ‘presisi’ dalam merespon dialektika dua sifat Tuhan, Al mudzil dan Al Haadi. Sehingga lembaga pendidikan hanya akan memproduk ‘calon-calon’ pelaku destruksi kehidupan. Dengan kata lain, seluruh proses belajar-mengajar akan kehilangan ‘substansi’ tarbiyah, karena yang terjadi berkemungkinan perwujudan fenomena Tuhan sebagai Al Mudzil.

Institusi pendidikan harus memulai berbenah diri dengan cara menciptakan kultur masjid di dalam seluruh aktifitas pembelajarannya. Hubungan orang tua, murid, dan sekolah dikontruksi sedemikian rupa sebagaimana hubungan antara warga dan masjid. Seluruh kebutuhan operasional peribadatan di masjid diurus oleh takmir masjid dengan cara merundingkanya secara transparan dengan warga. Sehingga meskipun secara financial warga ‘wajib’ berkontribusi tetapi tdak sedang dalam rangka ‘membayar’ ketika akan sholat. Diantara warga dan masjid terbangun hubungan moral, bukan transaksional. Demikian seharusnya sekolah atau institusi pendidikan dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Jika masyarakat masih mengalami ‘kecemasan’ ketika akan menyekolahkan anak-anaknya ,karena terancam oleh ‘tarif’ pendidikan, maka lembaga pendidikan belum merepresentasikan diri sebagai ‘orang yang tanpa meminta balasan’ sebagaimana disebutkan dalam surat yasin ayat 21 di atas.

Manusia Seutuhnya

Di lembaga pendidikan paling transaksional dan atheis-pun, orang bisa belajar ilmu biologi, fisika, matematika, kedokteran dan segala jenis ilmu yang kesemuanya itu hakekatnya bersumber dari Tuhan. Tetapi seluruh ilmunya tidak akan menjadi ;tharekat’ kehidupannya. Ilmu yang merupakan fenomena hidayah akan menjadikan para ‘pemiliknya’ menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang dengan ilmu yang dikuasainya itu menemukan ‘jati dirinya’. Seorang dokter yang ilmu kedokteranya merupakan hidayah, akan menemukan kenikmatan berjumpa dengan ‘kebenaran dan kebesaran Tuhan’ ketika bisa menyembuhkan orang. Dokter yang menjadikan ilmunya sebagai ‘tharekat’ hidupnya, maka kesembuhan pasien adalah fenomena menakjubkan bagi penglihatan batin dan intelektualnya. Sehingga kesadaran pribadinya akan dipenuhi oleh energy dan semangat menolong orang lain, karena ia merasa berjumpa Tuhan ketika sedang mempraktikan ilmunya. Sebaliknya, jika ilmu kedokteranya merupakan fenomena ‘idzlal’, maka ia hanya akan menjadi ‘pemeras’ yang oportunistis, sakitnya orang lain akan dianggap ‘jalan’ dan kesempatan untuk memperkaya diri. Kondisi dan kualitas manusia sangat dipengaruhi oleh seluruh proses ‘tarbiyahnya’. Ketika proses belajar-mengajar ‘me-negasi-kan’ faktor-faktor spiritualitas, maka pembelajaran telah kehilangan ‘esensi’ tarbiyah. [] Agus Sukoco

SELAMAT JALAN PAK ARUNG

Diiringi lantunan Takbir Idul Adha, Jamaah Maiyah Juguran Syafaat bersama-sama berkumpul bak di ruang tunggu. Pemberangkatan perjalanan Almarhum Bapak Arung Samudra menuju ke haribaan Allah Subhanahuwata’ala. Hari Rabu, 23 September 2015, bertepatan dengan malam Hari Raya Idul Adha, Jamaah Maiyah Juguran Syafaat kehilangan salah seorang penggiat terbaik yang telah bertahun-tahun berjuang bersama.

Almarhum Bapak Arung Samudra mangkat dari dimensi yang kita sama-sama tempati saat ini, menuju pada dimensi yang lebih tinggi yang lebih dekat dengan haribaan-Nya dikarenakan sakit. Ibu, Istri, dua putra, satu putri, satu menantu dan dua cucunya dengan berat hati dan berjuang untuk ikhlas melepas kepergian beliau. Bukan hanya keluarga dan Jamaah Maiyah yang merasa kehilangan beliau, tetapi seluruh warga Kutasari, Purbalinggapun turut merasa kehilangan.

Semasa hidupnya, Bapak Arung Samudra memiliki peran yang besar bagi tetangga dan masyarakat disekitarnya. Beliau adalah sesepuh bagi masyarakatnya. Diantara demikian banyak jasa beliau bagi masyarakat adalah program yang saat ini sedang berlangsung yakni program pembangunan mushola RT dimana beliau memiliki andil besar dalam menggerakkan masyarakat dan menghimpun pendanaan.

Bapak Arung Samudra adalah Penggiat Maiyah yang sangat aktif. Beliau hampir tidak pernah absen di kegiatan-kegiatan penting Maiyah di Banyumas Raya. Ketakdziman beliau pada Simbah Emha Ainun Nadjib tidak diragukan lagi. Bahkan beliau adalah yang paling hafal quote atau kata-kata yang kerap dilontarkan oleh Simbah Emha Ainun Nadjib.

Beliau adalah pribadi yang bersahaja. Sekalipun begitu, dalam kesederhanaannya totalitas perjuangan di Maiyah tidak tanggung-tanggung. Di awal-awal Kelompok Musik Ki Ageng Juguran merilis album yang pertama. Beliau bersama Bapak Partono habis-habisan menyiapkan pendanaan dan andil secara fisik menemani proses rekaman sepanjang malam dari awal hingga akhir rekaman selesai. Padahal saat itu, tidak ada hitung-hitungan prospek bisnis dari album tersebut, bahkan nama grup musiknyapun belum ada. Betul-betul motifnya murni pengabdian dan perjuangan.

Kini Beliau sudah tidak bersama-sama kita lagi. Kalau dunia ini adalah layar komputer dan kita manusia ada di dalamnya. Maka file Pak Arung sudah di “close”. Tapi file tersebut tidaklah hilang. Ia sudah berada di lembaran print out. Kita saja yang masih ditakdirkan berada di dalam layar, tak punya daya jangkau menemukan lembaran print out yang sesungguhnya lebih sejati.

Ditengah kesedihan kehilangan, sekaligus kita berbangga karena kita kini memiliki pasukan yang berada di dimensi yang lebih tinggi dari kita. Kalau semasa hidup di dunia saja Pak Arung demikian total membantu perjuangan Maiyah, apalagi sekarang ketika telah berada pada dimensi di atas dunia.

Semoga Allah Subhanahuwata’ala mempersaudarakan Pak Arung dengan para pejuang Allah dan para kekasih Allah disana. Dan semoga kita yang ditinggalkan diberikan keistiqomahan untuk mengikuti jejak baik beliau, keistiqomahan beliau dalam bermaiyah dan kesungguhan beliau dalam mempelajari dan mengerjakan Islam dengan penuh kejujuran, kemurnian dan ketinggian akhlak.

Kelompok Musik Ki Ageng Juguran dan Album yang telah dihasilkan adalah warisan istimewa yang beliau rintis yang harus kita jaga untuk terus menghasilkan karya dan mengayomi. Di setiap jengkal kemajuan kelompok musik ini ada jariyah amal bagi Pak Arung. Di setiap karya yang digaungkan kelompok music ini ada kebanggaan bagi kita juga bagi Pak Arung. Selamat Jalan Pak Arung…[] Rizky Dwi Rahmawan

Purbalingga, 31 Oktober 2015
Rizky Dwi Rahmawan

*) Catatan 40 hari wafatnya Pak Arung Samudra

SEKOLAH DAN TRANSAKSI

Ada persamaan antara sekolah dan masjid, di dua tempat itulah anak manusia menerima hidayah. Oleh karenanya kita harus menjaga kesucian di kedua tempat itu. Kalau sebagian kita sulit memahami, ini karena selama ini kita sudah mengalami reduksi tentang pengertian hidayah.

Ketika seseorang tiba-tiba menjadi rajin sholat, rajin ngaji, kita menyebutnya dia sudah mendapat hidayah. Namun sesungguhnya hidayah tidak sebatas pada ibadah maghdoh saja. Karena bahkan ketika seorang anak diajari oleh gurunya 2 + 2 dan si anak faham jawabannya adalah 4, sesungguhnya anak itu sudah dianugerahi hidayah oleh Allah.
Lalu, kenapa anak yang sholeh mendapat kefahaman jawabannya 4, dan yang tidak sholeh juga tetap faham bahwa 2 + 2 = 4. Apakah anak yang tidak sholeh juga tetap berhak mendapat hidayah? Jangan lupa, Allah dalam Asmaul Husna memiliki sifat Al Hadi (Maha Memberi Petunjuk) juga memiliki sifat Al Mudzil (Maha Menyesatkan). Mungkin bentuknya sama-sama faham 2 + 2 = 4, tapi ketika kefahaman itu kelak ketika dewasa menjadikan sebab si anak memberi manfaat pada masyarakat, berarti hidayah kefahaman yang ia peroleh adalah dari sifat Allah Al Hadi. Sementara ketika kefahaman itu kelak ketikda dewasa menjadi sebab si anak melakukan korupsi, barulah kita tahu bahwa kefahaman itu dari sifat Allah Al Mudzil.

Kalau kita faham ini, maka kita akan bersepakat untuk menjaga kehati-hatian mengelola ‘kesucian’ lingkungan pendidikan anak-anak kita. Kesucian inilah yang menjadi syarat Allah Al Hadi memberikan hidayah. Maka sangat mengherankan kalau terdengar ada sekolah yang ribut-ribut soal uang. Kalau warung atau toko wajar disana ribut soal uang, karena memang disana adalah tempat orang bertransaksi.

Kerap kali terjadi ketidaksesuaian nilai, orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah untuk menjemput hidayah, tapi belum-belum sudah ditodhong dengan angka-angka biaya. Ini seperti orang mau datang ke masjid untuk sholat, tapi diminta untuk membeli sajadah, sarung dan mukena terlebih dulu.

Ketika memang masjid memiliki kebutuhan yang menyangkut biaya, maka yang dilakukan adalah berembug antara takmir masjid dan masyarakat. Pun demikian ketika sekolah memiliki kebutuhan yang menyangkut biaya, maka yang dilakukan adalah berembug antara takmir sekolah dengan para wali murid.

Dalam forum rembug itu nantinya dibahas skala prioritas, mana yang harus diadakan dan seberapa kemampuan bersama untuk bergotong royong. Seringkali yang merusak kesucian adalah karena para wali murid sudah dianggap sebagaimana para konsumen warung, sehingga angket diskusi biaya yang disodorkan tidak transaparan dan tidak berangkat dari proses riset skala prioritas terlebih dahulu.

Padahal, jika forum rembug antara pihak sekolah dan wali murid ini dijaga kesuciannya, seharusnya biaya bisa disepakati secara ridho bi ridho. Karena orang tua pasti akan memberikan yang paling maksimal bagi pendidikan anak-anaknya. Hanya orang tua-orang tua yang kikir yang lebih mengutamakan piknik dan shoping di atas prioritas anggaran untuk pendidikan anak-anaknya.

Maka biaya pendidikan dapat ditanggung bersama secara gotong royong dengan kerelaan semua pihak. Jangan lupa dioptimalkan dan ditransparankan dana-dana alokasi pendidikan yang besarnya seperlima APBN. Dan yang tidak kalah penting adalah kita bersama membangun sekolah yang bersahaja, jauh dari pembangunan kemewahan demi menghindari mengajarkan kepada siswa-siswa cara hidup hedonistik.[] Agus Sukoco

Ibu Kandung Anak-Anak Nusantara

Langkah kaki kebangsaan kalang kabut
Menerobos udara yang mengering
Arus waktu mengalir di jalan darah sejarah yang terbuntu
Bau keringat peradaban meracuni paru-paru kehidupan
Jiwa-jiwa retak ditabrak mimpi buruk yang lahir dari got-got kumuh, tempat bersarangnya amarah dan putus asa

Manusia bagai kertas-kertas berhamburan
Digerakan oleh angin yang dikendalikan para pemodal
Lewat sihir globalisasi dan bujuk rayu iklan dajjal kapitalisme
Suara gaduh cekikikan para hantu memantul-mantul dari dinding mall, tempat para gundik belanja dengan uang Negara

Ibu…!
Dari rahim sejarahmu, lahir anak-anak Nusantara
Bayi-bayi ksatria dengan kepak dan paruh rajawali
yang pernah menjelajahi setiap samudera dan benua-benua
alam masih mengenang, Sanjaya dengan kebudayaan tanah, Purnawarman dengan kebudayaan air,
Dua wangsa yang mewariskan penyatuan kebudayaan tanah dan air,,,,tanah air.
Kemudian Sriwijaya, Singasari dan anak kebanggaanmu Majapahit, engkau timang-timang dengan penuh cinta

Ibu…!
Catatan di cakrawala menyimpan senyum ranummu
Bagaimana engkau memetik rembulan, ketika anak-anakmu memerlukan lentera
Dan ketika pagi datang, kau rengkuh matahari untuk membakar jiwa perjuangan anak-anakmu

Ibu…!
Hidupmu sekarang murung
Setelah orang-orang kalap itu mengusirmu,
Mengacak-acak rumah suci Nusantara
Tempat sembahyang para ksatria, ruang semedi para Brahmana dan hamparan tikar tafakkur para Pujangga

Ibu…!
Lihatlah ibu…!
Hampir seabad kami menyusu
Bukan dari puting suci sejarah kebudayaan kami

Ibu…!
Rambutmu kusut, matamu sayu
Diam termangu bersandar pada awan
Selaksa mimpi masa lalu menikam-nikam ulu hatimu

Ibu…!
Kau menyendiri mendekap sepi di tempat terasing
Untuk menjumpaimu, kami harus menyusuri jalan rahasia
Menerobos celah-celah waktu dan menyingkap lipatan-lipatan ruang

Ibu…!
Lihatlah ibu…!
Keremangan jalan sejarah anak-anakmu
Rusaknya tatanan pergaulan kemanusiaan yang alamiah
Anak-anak bangsamu dimasukkan gelanggang pertikaian yang dibedaki gincu indah demokrasi dan hak asasi
Saling cakar dan berebut seperti binatang

Pulanglah ibu…!
Rumahmu sekarang dipetak-petak
Menjadi tempat penyembelihan para petani yang sekarat di sawah-sawah garapannya sendiri
Dapur bersahaja tempat kita dulu menyiapkan makan malam dengan lauk-pauk cinta, sekarang berbau amis, karena tungku di atas api berisi darah buruh-buruh pabrik yang dihisap cukong-cukong.
Daging anak cucumu menjadi santap malam kanibalisme politik

Oooohhh…….perjalanan kebangsaan yang tidak jelas “sangkan parannya”
Rutenya hanya berdasarkan panduan selera para germo yang diangkat menjadi imam

Ibu…!
Kami dilanda rindu yang memburu…
Kapankah taman-taman dan serambi rumah kita ditaburi semerbak bunga-bunga dari konde-mu…
Dengan puisi ini aku memanggilmu…!!!

Agus Sukoco
Sokawera, 13 Nov 2014

BAHAYA KONOTASIFIKASI

Mendadak masyarakat dibuat terkejut, di SPBU tidak tersedia pasokan premium. Kejadian di penghujung bulan perayaan kemerdekaan ini terjadi merata di banyak daerah di negeri ini. Seperti sebuah modus operandi terorisme, masyarakat seolah sengaja dibuat panik dengan kelangkaan premium yang telah menjadi kebutuhan dasar sehari-hari mereka. Antrian panjang berjubel, berita heboh mengabarkan, sosial mediapun tak kalah gempar oleh keluhan dan umpatan.

Kelangkaan memang memicu kepanikan. Ketika Perusahaan Listrik Negara mengalami kelangkaan pasokan listrik, ia melakukan pemadaman bergilir sehingga kehebohan cukup teredam, tetapi kali ini ketika Perusahaan Tambang Minyak Nasional yang mengalami kelangkaan, bukannya membuat operasi senyap, justru malah menyulut situasi yang menghebohkan. Dan goalnyapun berhasil, saat ini seluruh rakyat jadi tahu, kalau bahan bakar subsidi langka adanya.

Inilah contoh soal problematika sosial yang sedang terjadi di negeri kita saat ini. Kali ini kita tidak sedang mendiskusikan solusi, kita hanya ingin meraba makna kata-kata saja. Kalau diperhatikan, kata ‘subsidi’ dalam frasa bahan bakar subsidi apakah merupakan kenyataan faktual ataukah hanya pengistilahan saja? Bermakna denotasi atau konotasi?

Mari kita telisik bersama. Kalau memang rakyat tidak punya uang, sedangkan pemerintah punya uang dan prihatin melihat rakyat yang kesulitan membeli bahan bakar. Kemudian pemerintah menyisihkan sebagian uangnya untuk membantu rakyat membelikan bahan bakar sehingga rakyat bisa membelinya dibawah harga aslinya, maka kata ‘subsidi’ merupakan sebuah denotasi.

Akan tetapi kalau rakyat yang punya uang, kemudian rakyat menitipkan uangnya untuk dikelola kepada sekelompok tim yang bernama pemerintah, kemudian tim yang ditugasi mengelola itu membelanjakan uang rakyat untuk membeli bahan bakar sehingga rakyat tinggal menambahi sebagian kekurangannya, maka istilah ‘bahan bakar subsidi’ merupakan kalimat bermakna konotasi. Pertanyaannya, kenapa pemerintah tidak menggunakan kalimat denotasi saja, malah membuat kalimat konotasi. Mungkin, mereka melakukan konotasifikasi seperti itu berharap agar rakyat merasa berhutang jasa kepada mereka.

Banyak contoh lain mengenai kejadian konotasifikasi, misalnya sering kita jumpai di badan kereta api atau di tiket bus tertulis “Penumpang ‘dilindungi’ oleh asuransi”. Begitu juga tawaran ‘perlindungan’ yang sering disampaikan oleh banyak promosi asuransi. Kata dilindungi dan perlindungan di atas apakah bermakna denotasi atau konotasi? Yang dilakukan perusahaan asuransi ketika terjadi kecelakaan adalah pemberian dana santunan. Dana santunan diberikan sebagai kompensasi karena orang yang bersangkutan sudah menyetorkan sejumlah biaya premi dan menyepakati akad premi-kompensasi di dalam polis. Jadi sebetulnya kata dilindungi atau perlindungan hanyalah pengistilahan yang merupakan konotasifikasi dari kata kompensasi. Karena mekanisme yang terjadi secara definitif adalah peristiwa pemberian kompensasi.

Kalau kita mau jeli, ada banyak sekali istilah-istilah dalam kehidupan sehari-hari yang bermakna konotasi. Kata ‘anugerah’ dalam kegiatan anugerah penghargaan apakah benar-benar anugerah? Kata ‘perwakilan’ dalam Dewan Perwakilan Rakyat apakah benar-benar mekanisme mewakilkan dan mewakili? Lalu begitu banyak kalimat slogan dan jargon juga tidak mengandung makna definitif denotatif didalamnya.

Kata dibutuhkan adalah sebagai jembatan penyampai pesan dan makna di dimensi sosial manusia. Kalau keterikatan kata sudah terurai dari makna-makna yang harus dia bawa, apa itu tidak berpengaruh pada tumbuh kembang kualitas kehidupan sosial kita? Kerancuan terjadi dalam banyak hal, slogan melayani masyarakat kadang berubah menjadi menggagahi masyarakat. Pengertian khusyuk keliru dengan pengertian konsentrasi. Sikap toleransi rancu dengan budaya permisifisme. Jargonnya pelayanan publik tapi yang terjadi adalah predator publik.

Begitulah degradasi pertumbuhan kehidupan kita dalam bermasyarakat. Kata yang seharusnya menjadi alat komunikasi pengantar makna, pengantar ilmu dan pengantar hidayah, menjadi berbahaya karena saat ini hanya diperalat untuk kepentingan promosi, persuasi dan alat jualan segala rupa komoditas belaka. Baik komoditas barang maupun jasa. Baik barang dan jasa yang layak untuk diperdagangkan ataupun bukan. Mari kita coba teliti lagi, barangkali masih ada kata-kata yang mengandung makna baik denotasi maupun konotasi yang digaungkan kepada publik tidak untuk keperluan kalkulatif transaksional.[] RizkyDwiR