Catatan Maiyahan Juguran Syafaat Edisi Januari 2020
“November Rain”, sebuah judul lagu dari band lejen asal Amrik yang pastinya sudah akrab di telinga anda yang lahir di era 80-an. Tatkala meng-khilafah-i waktu dan jarak tempuh perjalanan pulang dari Sinau Bareng Caknun.com di Kadipiro, Bantul, saya merefleksi diri bahwa akhir bulan di tahun 2019 yang saya jalani serupa dengan “Desember Rain”. Ini hanya istilah konotatif hasil otak-atik-gathuk yang saya ciptakan sendiri. Mohon jangan gagal paham.
“Desember Rain” atau Hujan di bulan Desember, yang secara kasunyatan saya dihujani banyak curahan ilmu di Maiyah. Mulai dari pengalaman pertama mengikuti Silatnas Maiyah di Semarang (6-8/12/2019), Menghadiri Milad Gambang Syafaat di Masjid Baiturrahman (25/12/2019), Sinau Bareng Caknun.com di Rumah Maiyah (04/01/2020), Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di desa Karanggintung (06/01/2020), dan agenda rutinan Simpul Maiyah Juguran Syafaat Purwokerto (11/01/2020).
Sejujurnya, tiga moment hujan ilmu Maiyah seperti yang tercantum di atas terjadi pada awal bulan Januari. Tapi biar tulisan ini tidak kehilangan sisi dramatisnya, anggap saja yang tiga moment terakhir juga terjadi pada bulan Desember. Jadi, mohon kerjasama dan pengertian anda.
Tetesan hujan ilmu Maiyah yang pertama saya terima langsung dari Marja Maiyah, Mbah Nun, kala beliau menyempatkan ngerawuhi Silatnas Maiyah di gedung UMKM Semarang. Dalam forum tersebut, Mbah Nun menyampaikan sesuatu yang sangat mendasar. Menurut Mbah Nun, Maiyah itu seperti arus air sungai yang bergerak mengalir secara istiqomah hanya oleh dorongan mata air di hulu sungai.
Melalui pembelajaran di Maiyah, kita ditemani oleh para Marja untuk bisa menemukan dan mengenali hulu mata air sumber inspirasi kehidupan, yaitu Tuhan. Maiyah tidak mendidik manusia gerbong kereta yang melaju kesana-kemari kehilangan independensi dan otentitas diri. Takluk terombang-ambing tirani lokomotif kebudayaan jahiliyah.
Dari rutinan Maiyahan Gambang Syafaat yang bertepatan dengan milad ke-20, saya meraih setetes makna konsep “Persatuan dan Kesatuan”. Dijelaskan Mas Budi, “Persatuan” itu merupakan penyatuan dari banyak entitas yang majemuk. Masing-masing entitas saling menguatkan dan kolaboratif dengan tidak menghilangkan sifat serta karakter khasnya.
Beda dengan konsep “Kesatuan” yang menghapus sifat dan karakter khas dari masing-masing entitas. Mereka melebur menjadi satu entitas baru dengan sifat dan karakter yang baru pula. Maka dari itu, sila tiga Pancasila berbunyi “Persatuan Indonesia”, bukan “Kesatuan Indonesia”. Bhineka Tunggal Ika menjadi latar historis dan filosofisnya.
Ternyata, saya perlu menempuh perjalanan darat sejauh 208 KM untuk sampai pada pemahaman makna “Persatuan dan Kesatuan”. Andai saya tidak salah duga, konsep Sinau Bareng di Maiyah itu juga dilandasi oleh semangat Persatuan. Melingkar duduk bersama, menata hati dan menjernihkan pikiran. Dengan segala keunikan yang dimiliki setiap simpul, kita berproses bersama untuk saling menumbuhkan dan merawat kemanusiaan.
Tetesan hujan ilmu Maiyah yang ketiga saya dapati di Kadipiro pada kegiatan Sinau Bareng Caknun.com. Mas Sabrang dengan segala talenta yang dimilikinya itu ternyata kerap gagal menulis. Menurut Mbah Nun, Mas Sabrang sering gagal fokus. Kekayaan pengetahuan Mas Sabrang malah mengganggu fokus atau topik tulisan yang sedang digalinya. Isi tulisan melebar ke mana-mana, kacau. Berkebalikan dengan yang saya alami, saya malah bingung mau nulis apa. Terkendala referensi pengetahuan yang cuma selebar pelataran rumah.
Kisah Mas Sabrang yang pernah ngalami keruwetan dalam menyusun tulisan, bagi saya pribadi menjadi semacam suplemen obat pelipur lara. Berarti aku iki ono kancane, ora dewekan. Meski sebab masalahe jan-jane beda adoh banget.
Moment yang keempat sebetulnya bukan lagi tetesan ilmu Maiyah, tapi udan deres. Yang karena turun begitu deras, tubuh saya basah kuyup. Udan deres ilmu Maiyah melanda teras rumah Pak Kadus Hilmy di desa Karanggintung, Sumbang, Banyumas. Transit hampir tiga jam sebelum memulai Sinau Bareng di lapangan Karanggintung, Mbah Nun menebar banyak sekali benih-benih ilmu.
Mengingat apa yang disampaikan Kusworo dalam Juguran Syafaat di Pendopo Wakil Bupati Banyumas kemarin (11/01/2020), suatu peristiwa bisa awet tersimpan rapi di dalam memori kita karena ada yang mengesankan. Unsur kesan, bukan urutan waktu. Kusworo kemudian mencontohkan, baju yang dipakai seminggu yang lalu mungkin kita sudah lupa, tapi tidak akan pernah lupa dengan baju yang kita kenakan saat resepsi pernikahan puluhan tahun silam.
Sesuai teori yang dirumuskan oleh Kusworo, saya menangkap satu kesan “aneh” pada Mbah Nun saat beliau memimpin briefing singkat dengan Pak Rektor IAIN Purwokerto, Mas Helmy, Mas Dony, dan Kiki (Ketua Panitia CNKK dari IAIN). Kesan saya, Mbah Nun sangat profesional. Nggak main-main. Dengan ribuan jam terbang yang telah dikantongi KiaiKanjeng, Mbah Nun kok masih bisa menyempatkan kordinasi ini-itu.
Dalam radius yang tidak memungkinkan untuk nguping secara utuh, samar-samar Mbah Nun menanyakan tema Sinau Bareng kepada Kiki. Lalu, Mbah Nun juga mengatakan bahwa dirinya tidak akan banyak memberikan mauidhoh hasanah. Ruang dakwah akan diberikan kepada anak-anak muda atau mahasiswa. Kita akan lebih banyak workshop, dan nanti lagu yang dibawakan KiaiKanjeng ini, ini, dan ini.
Kordinasi yang terjalin apik antara Mbah Nun, Mas Gandi, Mas Helmy, Mas Yudhis, dan Mas Dony patut menjadi teladan kita dalam merawat Maiyah di internal Simpul. Detail, terencana, terukur, dan bersungguh-sungguh (tapi tidak lupa gembira).
Kordinasi dengan bingkai semangat Persatuan untuk mewujudkan misi Maiyah – yang menurut Mas Tri Wahyu merupakan jalan revolusi sosial yang sangat halus.
Kordinasi dengan kanan-kiri (ukuwah) dan atas-bawah (spiritual), ibarat Tali Goci Layangan yang seimbang. “Layangan bisa mabur muluk duwur pisan, tegak lurus nang nduwur ubun-ubun sirah. Kuwe merga Tali Goci Layangan sing seimbang”, begitu kata Pendekar Cowongsewu, Kaki Titut, saat menjelentrehkan filosofi Tali Goci Layangan.
Pak Sugeng Barkop turut memberikan uneg-uneg tentang Simpul Maiyah via jalur pribadi empat mata di belakang Pendopo Wakil Bupati. “Aku melu Juguran merga kepengin ngrewangi Mbah Nun. Ngrewangi ben ilmune Mbah Nun bisa nyebar maring bocah-bocah”, ungkap Pak Sugeng sambil ngelap cangkir dan piring-piring wadah jamuan Juguran.
Ngrewangi proses distribusi ilmune Si Mbah bagi anak-cucunya yang membutuhkan pencerahan dan pemahaman keilmuan yang lebih presisi, seperti Bahtiar Adi Febriantoro, yang sempat ngalami dilema saat berjabat tangan dengan kaum hawa yang bukan mukhrim. Ada juga Suprapto, yang merasakan urutan dzikir dari Mbah Nun sangat logis (Laa robba illalloh, Laa malika illalloh, Laa ilaha illalloh).
Lain lagi dengan cerita Mas Wakijo yang enggak tahu di Maiyah mau nyari apa, tapi malah sering menemukan hal-hal yang spesial dalam hidupnya. Satu contoh kongkrit, Mas Wakijo menemukan jodoh lewat medium Maiyah. Mas Wakijo juga menemukan kebahagiaan, kebersamaan, ruang, dan nambah seduluran. Benar-benar sosok Maiyah sejati, Saya doakan semoga Mas Wakijo bisa istiqomah ber-Maiyah sampai tua seperti Dewa Cupumanik Astagina : Mbah Hadiwijaya.
Kebhinekaan Jamaah Maiyah itu kenyataan, persatuan Jamaah Maiyah itu ikhtiar. Juguran Syafaat Edisi-82 yang mengetengahkan tema “Kurikulum Diri Sendiri” sudah diobrolkan selama enam jam lebih. Mungkin saja di bulan depan – seperti usulan Mas Yunan yang terpesona dengan keunikan poster-poster Juguran Syafaat – kita mengangkat tema “Kurikulum Poster Maiyah”. Atau mumpung masih di awal tahun, bisa juga kita mengusung tema “Kurikulum Juguran Syafaat”. [Febri Patmoko/RedJS]