Alih-alih bertanya tentang perjalanan dari Jawa menuju Mandar, bapak tua itu justru langsung menghenyak kami dengan pertanyaan yang tidak kami sangka,”Bagaimana pendapat kalian tentang staf khusus presiden?”. Pak Nurdin Hamma, nama penanya itu, masih mengikuti perkembangan berita politik mutakhir meski raut wajah sudah berkerut dan umur sudah lebih 80 tahun. Dalam usia setua itu, pantang bagi beliau untuk tidak memikirkan Indonesia, minimal mengetahui perkembangannya.
Kami tiba di rumah beliau pukul 10.00 Wita dan bercakap-cakap di ruang tamu dalam durasi yang lumayan lama. Kata Bang Aslam dan Abah Hamzah, Pak Nurdin Hamma adalah sesepuh di Teater Flamboyant. Maka secara otomatis, ketika rombongan ”Rihlah ke Mandar, Perjalanan Rindu dan Cinta” tiba Mandar, rumah beliau wajib dikunjungi. Banyak cerita beliau tentang anak-anak muda Teater Flamboyant yang bisa digali, termasuk juga cerita-cerita tentang persahabatan beliau dengan Mbah Nun.
Sama dengan anak-anak Teater Flamboyant, perkenalan beliau dengan Mbah Nun diperantarai oleh almarhum Bang Alisjahbana. Cuma dalam pergaulan dengan anak-anak Teater Flamboyant, Pak Nurdin diposisikan sebagai guru. Tak cuma guru di pergaulan, beliau juga menjadi guru Bang Alisjahbana di sekolah PGA—sekolah setara SMP tetapi dengan durasi pendidikan selama empat tahun. Kedekatan di sekolah itu yang membuat beliau akrab dengan Bang Ali, lantas Bang Ali mengajak anak-anak muda yang lain untuk berguru dengan Pak Nurdin.
Setiap Mbah Nun datang ke Mandar menemui anak-anak muda anggota Teater Flamboyant, selalu Mbah Nun menemui Pak Nurdin. Pergaulan beliau berdua terjadi awal 1980-an hingga kini. Selama itu pula itu banyak pengalaman suka dan duka yang disunggi bersama. Salah satu pengalaman duka yang selalu diingat oleh Pak Nurdin dan anak-anak Teater Flamboyant ialah perihal pencekalan Mbah Nun di Bumi Mandar.
Itu terjadi di penghujung akhir 1990-an. Mbah Nun hadir di Mandar tetapi tidak diperbolehkan mengisi acara. Padahal jauh-jauh hari, anak-anak Teater Flamboyant sudah menyiapkan acara tersebut, tetapi secara tiba-tiba acara tersebut tidak diizikan terselenggara. Pak Nurdin tidak terima dengan keputusan pemerintah yang arogan dan represif tersebut. Beliau menemui pejabat di Polmas dan berkata,” Kalau acara ini dicekal, berarti Anda juga mencekal Pak Baharuddin Lopa, sebab di acara itu Pak Baharuddin juga hadir sebagai pengisi acara.”
Pejabat itu tentu tidak akan berani mencekal Pak Baharuddin Lopa. Sebab beliau adalah tokoh terhormat di Indonesia yang berasal dari Mandar. Si pejabat itu lantas menjelaskan ke Pak Nurdin bahwa pencekalan itu berlaku kepada Emha Ainun Nadjib saja, tidak ke pengisi lainnya. Acara boleh berlangsung asal Emha tidak ikut mengisi.
Sesuai rencana, acara itu bakal diisi oleh enam narasumber. Selain Emha Ainun Nadjib, ada juga Baharuddin Lopa, Husni Jamaludin, Andi Mapatunru, Mahmun Hasanudin, dan Rahmat Hasanudin. Aparat keamanan dan pemerintah melarang acara itu terselenggara jika Emha Ainun Nadjib ikut acara. Ketua panitia acara saat itu, Abah Hamzah Ismail, tentu berang dengan keputusan pemerintah. Beliau bersama teman-teman sudah bersiap melakukan aksi untuk menolak pencekalan ini. Pak Nurdin juga tidak tinggal diam dengan berita ini. Beliau menyarankan kepada panitia agar dalam surat perizinan acara, nama Emha Ainun Nadjib ditaruh paling bawah saja. Alasan Pak Nurdin melakukan itu sederhana saja.
”Pemerintah sering memerhatikan nama-nama pengisi acara di bagian atas saja. Sedangkan nama-mana yag di bawah kerap diabaikan,” katanya.
Strategi itu sudah dijalankan tetapi akhirnya gagal juga meloloskan nama Emha Ainun Nadjib sebagai pembicara. Hingga akhirnya diputuskan, Mbah Nun datang ke acara tetapi tidak ikut bicara. Beliau duduk sebagai penonton saja. Lalu setelah acara yang dicekal itu selesai, anak-anak muda itu membuat acara lagi dan menghadirkan Mbah Nun sebagai pembicara. Acara yang baru itu bisa terselenggara tanpa ada cekal dari pemerintah.
Mbah Nun yang saat itu dicekal tampak santai-santai saja. Bahkan, kerap kali beliau berujar pencekalan itu mirip tahayul. Sebab, siapa yang memerintah dan memberikan surat pencekalan itu tidak jelas dan tidak diketahui orangnya. Meski dicekal berkali-kali, Mbah Nun masih bisa tampil di pelbagai forum diskusi. Beliau bisa menghadapi itu dengan tenang dan kalem. Pak Nurdin mengibaratkan sosok Mbah Nun itu ”seperti perahu yang berlayar di atas ombak.” Selalu tidak mulus perjalanannya, penuh dengan goyangan, tetapi beliau bisa mengemudikan perahu dan melewati ombak yang datang silih berganti. Selain itu juga, bagi Pak Nurdin, ”Cak Nun itu memberikan pengertian kepada kita kesenian itu beragam.”
Pak Nurdin bersyukur Mbah Nun bergaul secara erat dengan orang-orang Mandar. Dari pergaulan yang erat itu tersambung sampai ke kami, rombongan ”Rihlah ke Mandar”. ”Kedatangan Anda sangat memiliki arti besar bagi saya. Karena mengingatkan akan kesadaran nilai”, katanya. Apa yang dimaksud dengan kesadaran nilai itu barangkali terwujud dalam nilai silaturahim yang bisa terjalin antar lintas generasi. Meski dari generasi yang berbeda, kami dan para sesepuh Teater Flamboyant bisa gampang akrab. Pak Nurdin juga tidak mengira pergaulan dengan Mbah Nun bisa membuat ruang tamunya, siang itu, disesaki oleh anak-anak muda yang datang jauh dari Jawa, Lampung, dan Kalimantan.
”Saya bersyukur ada anak-anak muda mau mengeluarkan biaya besar untuk datang ke Mandar,” kata Pak Nurdin. Semua rombongan ini tergabung dalam Simpul Maiyah Nusantara. Kepada penggiat Simpul Maiyah, Pak Nurdin berpesan, Maiyah ”harus ada ksedaran satu bangsa dan kesadaran satu umat.”. Karena dua hal itu, kata Pak Nurdin, yang menjadi asas perjuangan H.O.S Cokroamintoto dulu. Pak Nurdin juga menyarankan kepada kami, untuk sering-sering belajar kepada tokoh-tokoh Indonesia masa silam. Sebab, tokoh-tokoh Indonesia saat ini hampir tidak bisa dipercayai perkataannya.
Warisan Mbah Nun di Mandar
Pak Nurdin juga mengatakan kepedulian Mbah Nun terhadap orang-orang Mandar membuktikan bahwa Mbah Nun telah berpikir secara Indonesia. Kepedulian Mbah Nun tidak bergantung pada kelompok agama, suku, dan organisasi, tetapi kepada siapa saja. Peran dan kontribusi Mbah Nun selama di Mandar bisa menggugah kesadaran anak-anak muda untuk berhenti melakukan tindakan-tindakan ternoda, dan beralih ke aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Semenjak kedatangan Mbah Nun, kata Pak Nurdin, banyak anak-anak muda Mandar yang menjadikan kota Jogja sebagai tujuan pendidikan. Setelah kedatangan Mbah Nun di Tanah Badik itu, jumlah pelajar yang melanjutkan pendidikan ke Jogja melonjak pesat. Jogja semakin tenar di Mandar. Salah satu yang membuat mereka terpikat dengan Jogja adalah Mbah Nun.
Tempat Berlabuh Anak-anak Nakal
Kurang lebih dua jam duduk di depan Pak Nurdin, kesan kami terhadap beliau adalah Pak Nurdin orang yang enak diajak ngobrol. Suasana obrolan juga berlangsung penuh gurauan dan tidak kaku. Kami tetap menyimaknya. Memang kondisi fisik akibat usia yang renta tidak bisa ditolak. Tetapi keadaan itu tidak menghalangi Pak Nurdin terus belajar dan meladeni ajakan diskusi oleh orang-orang yang lebih muda darinya.
Abah Tammalele mengatakan,”Pak Nurdin adalah guru siapa saja. Dia orang yang memiliki strategi dan cara berpikir yang visioner.” Maka dari itu, banyak anak-anak muda yang mendatanginya untuk meminta nasihat atau sekadar menjadi teman diskusi. Beliau mengayomi anak-anak muda, terkhusus anak-anak muda yang nakal. Pak Nurdin memiliki kreativitas dalam mendidik anak-anak nakal, sehingga anak-anak nakal itu nyaman dalam naungan Pak Nurdin. Termasuk juga Bang Alisjahbana. Kata Pak Nurdin, Alisjahbana termasuk murid yang paling nakal. Ia tidak mau memerhatikan semua mata pelajaran yang diajarkan guru. Tetapi di balik kenakalannya itu, kata Pak Nurdin, Bang Ali menyimpan banyak akal. Terbukti ia kerap memfotokopi tulisan-tulisan Mbah Nun di Tempo dan Panji Masyarakat untuk dibaca dan diskusikan dengan anak-anak Teater Flamboyant. Kenakalan Bang Ali yang membuat ia pergi ke Jogja. Berkat kenakalan itu juga ia bisa bertemu dengan Mbah Nun. Dan yang tidak Anda kira, kata Pak Nurdin sembari terkekeh, kenakalan Alisjahbana yang membuat Anda datang ke sini. (M. Yunan Setiawan)