Dampak buruk sistem ranking dalam dunia pendidikan sudah kita pahami bersama. Tapi diam-diam saya rindu dan mengagumi suasana “feodalisme intelektual” di sekolah. Singkat kata, saya dan kawan-kawan yang tak pintar dan tak pernah masuk ranking sepuluh besar bisa tahu diri. Kami mampu menahan diri dan tak banyak tingkah.
Saya dan segenap kaum yang berada di bawah garis kemiskinan pengetahuan tidak akan pernah sembrono mengeluarkan argumen. Biarlah respon dan pertanyaan kritis kepada guru mata pelajaran disampaikan oleh bintang kelas. Bagi kami, alih-alih memberi respon, tidak ngantuk saja itu sudah pencapaian prestasi besar. Saat itu kami tak butuh amat yang namanya eksistensi. Suasana kelas sangat tenang. Kondusif.
Kerinduan saya bukan tanpa alasan. Sebuah kerinduan akibat rasa jengah seiring dengan fenomena kritis tanpa literasi dalam dunia sosial-media kita. Kaum “ruwaibidhah”, orang-orang lemah akal yang sok tahu bicara urusan orang banyak, begitu menurut Kiai Fuad dalam tajuk “Istiqamah Ber-Maiyah”.
Nyatanya, saat ini saya bukan remaja lagi. Oleh karena itu mimpi akan atmosfir pendidikan yang ideal saya taruh di pundak komunitas Juguran Syafaat Purwokerto.
Bayangan saya, seketika Narkim dan Kusworo selaku moderator Juguran Syafaat membuka sesi tanya-jawab dan public hearing, suasana forum bisa berlangsung ramai seperti saat kita ber-sosmed ria. Namun faktanya, menumpahkan uneg-uneg di depan microphone tidak semudah di depan keypad.
Jadi, secara tidak langsung dan tanpa kita sadari, Juguran Syafaat mengajak dan melatih kita untuk bertanggungjawab atas setiap kata dan argumen yang kita lontarkan. Juguran Syafaat dengan segala dinamikanya dalam kurun waktu setahun ke belakang perlu kita rawat sebagai wahana ruang berpikir, sebab menurut seorang filsuf Yunani kuno kita ini adalah binatang yang berpikir. (Febri Patmoko)