Ananiyah dan Hasad

Kalau engkau memandang sampai kedalaman danau air Maiyah, tampak betapa sejatinya Tsaqafah Tauhid yang dijalani Jibril, Adam hingga kesempurnaannya pada Baginda Muhammad saw.

Kelihatan juga oleh pandanganmu tingkat kebenaran alamiah masyarakat nomaden, suku-suku, komunitas, maupun tingkat kemashlahatan Kerajaan, Keraton, Persemakmuran, Perdikan, Republik, Demokrasi, hingga pun Globalisasi.

Tergambar di penglihatanmu satuan-satuan ideologi, aliran pemikiran, organisasi massa, madzhab, golongan dan kelompok, syu’ub wa qabail, yang sangat mudah kau temukan rasio iktikad sosialnya, serta kandungan ijtihad rahmah lil’alamin-nya.

Bahkan betapa indahnya sekolah, universitas, pesantren, percantrikan, halaqah, workshop dan satuan-satuan pembelajaran hidup model apapun. Apalagi di lingkaran kecil keluarga-keluarga.

Tetapi itu semua batal dan menghanguskan kehidupan, kalau manusianya menuhankan dunia. Bermental egosentris dan otoriter. Dadanya dipenuhi ananiyah dan hasad. Otaknya dipenggal dari gelombang akal dan pendaran hidayah. Jiwanya dikendalikan oleh baghdlun, karhun, ‘ida’un, kebencian, pentidakkan dan pengkafiran atas yang selain dirinya.

Pasukan Iblis merajalela meracuni jiwa manusia Negerimu. Merasukkan penyakit untuk memperjualbelikan segala hal dari biji kacang, demokrasi hingga Tuhan. Mengibarkan dusta Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, pemikiran dan ideologi. Sadar mengkhianati sumpah, sadar maling dan memaksiati Allah dan Rasul-Nya. Membujukkan pencitraan, merayukan Talbis, men-spotlight-kan makar dengan wajah kesetiaan, memviralkan kesetiaan sebagai makar.

Kalau kesiapan hidupmu adalah tidak sunyi, tidak menderita dan rasa lumpuh terhadap ketakberdayaan memanggul ujian Allah, menjauhlah dari mataair Maiyah.

Mbah Nun
Mataair Maiyah 6,
Kadipiro, November 2017

Sumber: https://www.caknun.com/2017/ananiyah-dan-hasad/

Gabah Dèn Interi

Sebagai yang dititipi mengawal memancarnya mataair Maiyah, aku mengalami dan menyimpulkan bahwa Maiyah itu tidak ada manfaatnya bagi kehidupan di mana manusia fokus menikmati dan merakusi dunia. Disebabkan oleh sekurang-kurangnya sepuluh hal, yang kupetikkan dari ribuan sebab:

Pertama, Maiyah tidak menjadikan dunia sebagai tujuan. Kedua, Maiyah tidak memposisikan dunia sebagai tempat membangun kehidupan yang nyata berdasarkan kesejatian dan keabadian. Ketiga, Maiyah tidak berminat untuk memiliki dan menguasai dunia. Keempat, Maiyah tidak punya kesanggupan dan perangkat untuk mengubah kehidupan manusia di dunia. Kelima, Maiyah tidak berani ikut melakukan perusakan atas rahmat dan amanah Allah.

Keenam, tidak punya daya untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia di dunia, apalagi menjadi dan menambah masalah. Ketujuh, Maiyah takut terlibat di dalam keserakahan keduniawian, penganiayaan hakikat dan martabat manusia, kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa, pemalsuan literasi, penggelapan intelektualitas, pemincangan mentalitas, pemenggalan spiritualitas. Terlebih lagi melakukan pelecehan terhadap eksistensi dan hak Allah, penghinaan terhadap Agama-Nya serta para pecinta-Nya, pada tingkat dan kadar yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kedelapan, Maiyah sekadar berikhtiar mengurangi beban-beban yang ditimbulkan oleh hubbud-dunya dan intisyarul-fasadKesembilan, Maiyah menempuh jalan agar tidak ikut sakit-dunia,  tidak ikut dianiaya apalagi menganiaya, tidak ikut menipu, memperdaya, mengebiri, membonsai, menjebak, menggerogoti, melampiaskan keserakahan, mengkolonialisasi dan mengimperialisasi. Kesepuluh, Maiyah berikhtiar dengan rasa syukur dan husnudh-dhon agar dijadikan bagian dari perkenan “gabah dèn interi” oleh Allah untuk menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Maka saya menganjurkan menjauhlah dari jalan sunyi Maiyah. Nikmatilah dunia, serakahilah keduniawian, bergabunglah pada kekuasaan, raihlah jabatan, program, proyek, kemajuan dan sukses. Atau lawanlah semua itu dengan pemberontakan, revolusi, atau gerakan-gerakan anak bangsa model apapun.

Semoga keputusan kalian ditanggapi oleh amr Allah swt, irodah  Rasulullah saw dan gelombang hamba-hamba yang Beliau berdua cintai dan mencintai Beliau berdua.

Mbah Nun
Mataair Maiyah 5, 
Kadipiro, November 2017

Sumber: https://www.caknun.com/2017/gabah-den-interi/

‘Ilmun La Yanfa’

Meskipun Maiyah adalah mataair yang dicurahkan dari langit ke suatu titik di tanah Indonesia, tetapi ia diperuntukkan hanya bagi hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Mungkin itu yang disebut gelombang amrdan irodah Maha Ruh sumber mataair itu, pada garis syafaat kekasih-Nya Muhammad saw.

Mataair itu dipancarkan untuk Al-Muhtadin, hamba-hamba yang dihidayahi oleh Allah. Mereka kemudian berhimpun menjadi Al-Mutahabbina Fillah, hamba-hamba yang saling mencintai semata-mata karena Allah. Bersaudara tidak karena hubungan darah, kesamaan golongan, madzhab, atau karena motivasi kekuasaan dan transaksi keduniaan.

Mereka bersaudara dan merawat persaudaraan fid-dunya wal-akhirahkholidina fiha abada, dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring. Dalam kemudahan atau kesulitan, kemiskinan atau kekayaan, kesedihan atau kegembiraan, dalam kepungan kegelapan atau limpahan cahaya. Mereka mengalir dalam getaran bersama. Mereka bergetar di aliran yang sama.

Para pereguk Mataair Maiyah diantarkan dan dihimpun memasuki suatu jagat kejiwaan di mana mereka mengalami kenikmatan bertauhid, ketakjuban ber-Islam, kesegaran silaturahmi, kemurnian ukhuwah, keseimbangan mental, kejernihan olah akal, keadilan berpikir, ketenteraman hati, kebijaksanaan bersikap — serta secara keseluruhan semacam keterbimbingan hidup.

Tetapi Allah menguji mereka: Seperti ada tangan besar yang menarik mereka ke jalan sunyi, yang membuat mereka terasing, berbeda bahkan bertentangan dengan dunia dan Indonesia.

Air yang mereka tadahi dari Mataair Maiyah mungkin sekadar dijadikan minuman untuk kesegaran di tenggorokan hidup bersama keluarga. Untuk peluasan dan pendalaman ilmu kehidupan. Untuk racikan baru kesehatan dan pengobatan. Untuk meningkatkan kualitas Ziro’ah, eksplorasi kreativitas Shina’ah dan respons terhadap perubahan tata penghidupan Tijaroh. Atau bisa juga untuk penghimpunan energi zaman melawan kedhaliman nasional dan global. Bahkan lebih menyeluruh, bulat, kaffah sekaligus detail dan ‘serbuk’.

Tetapi skala mereka sebatas “wala tansa nashibaka minad-dunya”. Tumpuan mereka adalah “innalloha ‘ala kulli syai`in qodir”. Koridor ilmu mereka adalah kesadaran bahwa pelaku utama perubahan adalah Allah sendiri. Serta takkan mereka lukai atau retakkan nikmat Allah berupa perkenan Al-Muhtadin dan ikhtiar Al-Mutahabbina Fillah.

Pun jangan lupa: Mataair Maiyah bisa tidak berguna apapun. Orang datang ke Mataair Maiyah sekadar untuk memetik keuntungan bagi dirinya sendiri. Maiyah bisa tidak pernah menjadi apa-apa. Menguap ke kekosongan zaman. Sirna dari lembaran buku sejarah dan kehidupan. Menjadi hamparan kerakal-kerikil diinjak-injak oleh gajah Abrahah. Bisa karena kemalasan mental, kesemberonoan ilmu, kejumudan spiritual, atau ketidakberdayaan memanggul berkah. Maiyah menjadi ‘ilmun la yanfa’. Ilmu yang tidak bermanfaat.

Mbah Nun
Mataair Maiyah 1-4,
Kadipiro, November 2017

Sumber: https://www.caknun.com/2017/ilmun-la-yanfa/

Syahrul Huzni

Aku terkurung di tengah kayu pintu yang tertutup. Pintu itu terkunci, gerbangnya tergembok.

Siapa yang mengunci pintu? Kewajaran. Siapa yang menggembok gerbang? Keharusan.

La haula wala quwwata illa billah al-‘Aliy al-‘Adhim. Sedangkan yang ada padaku hanya ketakberdayaan.

Terkadang aku harus melumpuhkan diri dengan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak kulakukan, atau tidak melakukan hal-hal yang semestinya kulakukan.

Di saat lain aku memasuki ranjau dengan membuka sesuatu yang seharusnya tak kubuka, atau tidak menguakkan sesuatu yang semestinya kukuakkan.

Pintu gerbang keluar menuju Indonesia habis semua kuncinya tanpa ada yang bisa dipakai untuk membukanya.

Pintu gerbang masuk ke dalam kebun dan rumahku sendiri ketelingsut di bawah ribuan kaki-kaki yang berjejal, riuh rendah, gaduh oleh jutaan kata dan kalimat yang tak bersambung satu sama lain.

Daur wajib kuhentikan putarannya sampai hari yang kunantikan. Tinggal setetes demi setetes air liurku sendiri. Menemani detak-detik jantungku sendiri, menapaki ketakjubanku kepada rahasia-Nya janji-Nya:

Wa nuridu an namunna ‘alalladzina istudl’ifu fil ardli wa naj’aluhum aimmah wa naj’aluhumul waritsin.

Ya Allah Ya Hayyu ya QoyyumYa Habib ya Syafi’, jangan biarkan kaki kami menapak di jalan yang tidak menuju ridla-Mu.

Aku sedih dan berputus asa pada Indonesia dan kebunku sendiri. Tetapi aku gembira dan bergairah oleh rahmat dan pertolongan-Mu.

EAN
Subuh 20 Oktober 2017.

Sumber: https://www.caknun.com/2017/syahrul-huzni/

BERTANAM KESUBURAN DI KEBUN-KEBUN MAIYAH

Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia…” (QS. Al-An’am: 70)

Sampai hari ini sudah tak kurang-kurang Maiyah menyayangi Indonesia. Dan masih tersedia berlaut-laut cinta dan ilmu untuk lebih menyayanginya. Tetapi tanah Indonesia tidak merekah oleh biji cinta Maiyah yang ditanam padanya.

Maka mulai bakda Idulfitri 1438 H Jamaah Maiyah mengkonsentrasikan hidupnya yang primer-wajib ke dalam dirinya, keluarga masing-masing dan jaringan persaudaraan Maiyah. Yang sekunder-sunnah untuk luar Maiyah: Ummat Islam, Bangsa dan Negara Indonesia, dan ummat manusia.

Secara lebih lengkap latar belakang dan proses sebab akibat kenapa Haluan ini diambil, secara simultan dicari, dirembug, dan ditemukan oleh Jamaah Maiyah, serta diungkap oleh Redaktur Maiyah sesudah menggalinya dari Marja’ Maiyah.

Primer-Wajib:

Dengan bekal ilmu, pengetahuan dan pengalaman bermaiyah, Jamaah Maiyah memastikan penghidupan ekonomi diri dan keluarganya masing-masing. Mengambil keputusan tentang apa yang dipilih untuk dikerjakan dan diperjuangkannya, demi memastikan “wala tansa nashibaka minad-dunya“.

Jamaah Maiyah yang sudah stabil dengan pijakan penghidupannya bersama keluarganya, merintis peningkatan daya penghidupan itu, mempermatang kemampuan keusahaannya, merajut sinergi sesama Jamaah Maiyah, melebarkan jangkauannya, menaikkan kadarnya, memperkuat akarnya serta memperlebat pembuahannya.

Jamaah Maiyah memacu “wala tansa nashibaka minad-dunya“, memperluas dan memperkaya wilayah-wilayah ijtihad keusahaannya, kreativitas produktifnya, inovasi dan invensinya, berakar dan berpijak pada fadhilah atau bakat atau kecenderungan masing-masing.

Tidak ada batas bagi ijtihad usaha itu: tanah, logam, bunyi, huruf, angin, energi, maya, rupa, dan segala kemungkinan rezeki dari Allah. Termasuk memaiyahkan kekayaannya, harta bendanya, energi dan spirit rohaniahnya.

Wala tansa nashibaka minad-dunya” Jamaah Maiyah dimaksimalkan sampai tingkat setinggi dan seluas apapun, sampai kemungkinan mencipratkan atau melimpahkan manfaat bagi masyarakat sekitar, ummat, bangsa dan Negara Indonesia maupun Dunia. Tetapi tetap meletakkannya di dalam niat primer-wajib “atakallahud darol akhirah” dengan konsentrasi wajib mengolah kesuburan Kebun Maiyah.

Sekunder-Sunnah:

Jamaah Maiyah di setiap titik dan lingkaran:

  1. Mempersiapkan tradisi Wirid Kesuburan Kebun Maiyah.
  2. Menjajaki ketersediaan “Pasukan Tahlukah” untuk mobilisasi “Hizib Wabal”.
  3. “Memperbanyak Kekasih Allah”.
  4. Menginvestasi butir-butir emas berlian mutiara yang Allah memfadhilahkannya hanya di Maiyah.

Muhammad Ainun Nadjib⁠⁠⁠⁠
17 Juli 2017

Sumber : https://www.caknun.com/2017/bertanam-kesuburan-di-kebun-kebun-maiyah/

Yang Menang Harus Bangsa Indonesia

Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka.

Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar”mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”.

Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya.

Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi).

Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita.

411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan. Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.

Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-momentum dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton” ( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai).

Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak move-on. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat.

Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”. [] RedJS

Sumber : https://www.caknun.com/2016/yang-menang-harus-bangsa-indonesia/