Upgrade Penggiat Juguran Syafaat II

Upgrading II Penggiat JS : Memperbaharui Syahadah “kemahalan” berada di Maiyah

Bagi orang-orang yang memilih bergiat di Maiyah, yang pertama-tama mesti di-upgrade adalah kesadarannya. Mas Agus Sukoco di awal sesi Upgrading II Penggiat Maiyah Juguran Syafaat tempo hari menyampaikan bahwa kita ini tidak serta-merta begitu saja berada di tengah-tengah lingkaran Maiyah seperti hari ini. Ada proses panjang yang sudah kita tempuh berupa pencarian-pencarian.

Oleh karenanya, Mas Agus mengajak penggiat yang hampir semuanya hadir malam hari itu untuk menyadari arti “kemahalan” untuk membahasakan nilai keistimewaan atas diterimanya kita di tengah-tengah lingkaran Maiyah.

Sengaja ditradisikan di Juguran Syafaat setiap memasuki Bulan Ramadhan diselenggarakan kegiatan Upgrading. Pada Kamis malam Jumat, 1 Juni 2017 bertepatan dengan 7 Ramadhan 1438 H para penggiat Maiyah Juguran Syafaat berkumpul untuk mengikuti Upgrading yang kedua. Acara berlangung secara bersahaja tidak di hotel mewah sebagaimana lazimnya kegiatan upgrading, tetapi acara dilangsungkan di halaman belakang kediaman Mas Agus Sukoco. Beliau adalah ‘Sifat’ dari Simpul Juguran Syafaat.

Mas Agus sangat menekankan pentingnya menjaga kesadaran “kemahalan” berada di dalam Maiyah.Tujuannya adalah agar kita tidak salah memosisikan diri. Ajakan tersebut dimonumentalisasi dengan pengistilahan yakni, memperbaharui syahadah atau persaksian kita dalam ber-Maiyah.

Diulas pada malam hari itu adalah bagaimana Penggiat Maiyah memperbaiki skala-skala prioritas. Bermaiyah tidaklah sama dengan kita bergabung di dalam organisasi, komunitas, perkumpulan atau club apapun, demikian Mas Agus menandaskan. Bergabungnya seseorang di tengah-tengah lingkaran Maiyah lebih pada orientasi nilai-nilai substantif, bukan perkara identitas komunalitas belaka.

Maka penerapan dalan interpretasi personalnya adalah, apabila seseorang telah menyadari “kemahalan” arti diterima di tengah-tengah Maiyah dan juga menyadari bahwa orientasi berkumpulnya kita adalah sebab nilai-nilai substantif, ketika ada pertengkaran, perselisihan atau pertentangan dengan orang yang sama-sama berada dia tengah-tengah lingkaran Maiyah, kita dapat mengerem, mengalah dan mengeyampingkan itu.

Sebab, yang primer adalah menjalankan tugas-tugas dalam ber-Maiyah. Perselisihan yang timbul jangan sampai menganggu hal yang lebih primer, anggap saja itu dinamika komununalitas belaka. Sebelum tampil keras kepala, lebih baik masing-masing yang sedang berselisih bertanya ke dalam diri, apakah betul yang paling mahal dan bernilai adalah anugerah Maiyah atau ego diri sendiri?

Pada sudut pandang lain Rizky, salah seorang penggiat turut merespon. Bahwa kaitannya dengan syahadah atau persaksian Maiyah kembali, maka PR kita ke depan adalah bagaimana kita menepatkan kaliber.

Sebab kita telah diberi modal yang begitu mahal dan bernilai, misalnya dianalogikan bahwa kita ini kalibernya BUMN, maka hendaknya jangan kita memiiki cara berfikir, sikap mental dan kalkulasi-kalkulasi yang kalibernya adalah pedagang kaki lima. Sebab hal itu sama saja kita telah memboros-boroskan modal mahal yang telah dianugerahkan kepada kita.

Piweling soal menepatkan kaliber juga telah diamanatkan oleh Mbah Nun pada kesempatan internalan di Owabong Cottage pada Sabtu, 8 April 2017 yang lalu. Mbah Nun dalam kesempatan internalan saat itu menyampaikan bahwa posisi Maiyah adalah sebagai keris, maka tetaplah menjadi keris. Yakni dengan tidak ikut gaduh bersama mainstream. Sebagai keris, Mbah Nun memberi teladan bahwa selama ini Beliau tidak pernah ‘meminta’ kepada orang lain. Kecuali yang beliau lakukan adalah ‘memintakan untuk orang lain’.

Pada menjelang sesi akhir, Herman, salah seorang Penggiat ikut urun suara, ia mengajak untuk kita memetakan potensi masing-masing. Sebab di Maiyah memiliki sumber daya yang sangat kaya. Ada yang bergerak di bidang seni budaya, lalu pendidikan, kemudian perniagaan, juga agrobisnis serta pergerakan sosial.

Kalau semua itu bisa diramu, saling berbagi peluang dan jejaring satu sama lain, maka betapa semua itu menjadi potensi yang sangat luar biasa.

Pada malam hari itu diulas pula mengenai hakikat Perang Badar. Hakikat perang badar tidak ada motivasi lain selain menolong orang-orang yang lemah. Maka kontekstualisasinya adalah, bagaimana kita akan sangat terbantu untuk menolong diantara kita yang lemah, apabila kita meramu dan membangun potensi yang luar biasa yang dimiliki diantara kita sendiri.

Hingga menjelang Shubuh, kegiatan upgrading yang dimulai pukul 20.00 itu kemudian dipungkasi. Masing-masing tentu saja mendapatkan ‘sangu’ yang berbeda satu sama lain sesuai dengan konteks dan situasi pribadi masing-masing. Tidak ada kesimpulan, maklumat atau petisi apapun yang dihasilkan. Tulisan inipun hanya sebuah potret saja dari sisi redaksi. [] RedJS

Upgrading Penggiat JS : Miliki Spirit Mbah Nun Muda

Forum Selasaan adalah salah satu forum rutinannya para penggiat Juguran Syafaat. Selasa kali ini (21/6), forum mengambil tempat di aula Madin Karangklesem, Kutasari, Purbalingga. Tampil berbeda dengan suasana forum seperti biasanya yang santai, jagar-jugur dengan begitu cairnya, kali ini Selasaan sengaja digelar dengan format yang agak formal.

Wadil, salah satu Penggiat menyampaikan bahwa pada malam hari itu semua berkumpul hendaknya diniati untuk meluruskan kiblat bersama-sama. Lalu, Hedi mengerucutkan ruang lingkup dari maksud meluruskan kiblat, yakni bersama-sama melakukan penyamaan pemahaman mengenai wilayah kerja penggiat.

Jadilah, oleh Kusworo malam hari itu forum secara dadakan diberi nama: Forum Upgrading Penggiat. Nael yang sudah lama menghendaki adanya forum semacam ini langsung setuju dengan pengistilahan tersebut, menurutnya dengan adanya forum semacam ini, dengan terbangunnya kesamaan pemahaman antar sesama penggiat akan dapat meng-upgrade kualitas kepengasuhan yang menjadi peran Juguran Syafaat sebagai salah satu Simpul Maiyah Nusantara.

Rizky kemudian merespon, bahwa ada beda Upgrading Penggiat Juguran Syafaat ini dengan kebanyakan forum upgrading-nya organisasi formal. Bedanya adalah bahwa kita tidak melulu mencari-cari kekurangan dan mengada-adakan pekerjaan baru dalam rangka optimalisasi. Tetapi paradigma upgrading kali ini adalah bagaimana kita mensyukuri kerja prestatif yang sudah kita kerjakan. Karena bila pekerjaan tersebut tidak disadari sebagai prestasi, bisa menjadi hilang keistiqomahannya, memudar tanpa terasa.

Pembahasan berlangsung serius tetapi tetap khas dengan guyon candaan ala Banyumasan-Purbalinggaan. Kerangka diskusi malam hari itu mengacu pada refleksi tiga momen penting yang pernah dilalui Juguran Syafaat, yakni: 1) Silatnas Maiyah, 2) Pisowanan Dalem ke Kadipiro, 3) Ihtifal Maiyah.

Pak Tono menyampaikan refleksi dari Silatnas yakni rumaketnya rasa persaudaraan, rasa menjadi keluarga di dalam Juguran Syafaat. Nael menambahkan, spirit menyuguhkan prestasi walau bekerja di ‘dapur’ harus terus dihadirkan kembali setiap saat.

Kemudian refleksi Pisowanan Dalem ke Kadipiro disampaikan oleh Rizky dengan diagram matriks kepengasuhan simpul. Simpul bukan hanya sebatas sarasehan bulanan, tetapi di dalam matriks kepengasuhan tersebut terdapat peran simpul untuk memberi pengaruh wacana / isu publik, memberikan dedikasi karya dan senantiasa berusaha membangun model hidup bersama yang ideal.

Hirdan kemudian memberikan refleksi perjalanan menuju Ihtifal Maiyah bulan Mei lalu. Ketika penggiat Juguran Syafaat berkesempatan bertemu dengan Mbah Nun, Mbah Nun berpesan tentang rasa syukur beliau atas produktivitas para penggiat di simpul-simpul Maiyah. Sebuah dhawuh yang merupakan apresiasi sekaligus cambuk bagi kita.

Naim kemudian menyambung, bahwa perjalanan Ihtifal kemarin bagi beberapa penggiat adalah perjalanan naik kereta api untuk yang pertama kali. Sebuah sisi lain yang membuat gelegar suasana ketika fakta itu digelar. Kemudian fakta lainnya adalah Naim memberikan apresiasi kepada Amin yang ketika selesai Ihtifal diam-diam dia mencuci ratusan piring tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Fakta ini pun akhirnya terkuak. Amin mengaku, ia hanya ingin ngrewangi Mbah Nun pada hal yang ia bisa kerjakan.

Menjelang penghujung forum, beralih topik, Toto memantik diskusi mengenai penataan Musik KAJ mengingat animo publik yang demikian antusias membuat manajemen harus selektif dalam memilah undangan-undangan. Ditegaskan kembali bahwa paradigma musik KAJ mengambil inisiasi dari Kiai Kanjeng sebagai musik pelayanan.

Ketika media sosial menjadi media interaksi online, KAJ menjadi media interaksi offline. Diantaranya melalui program EDUSANTRI yang sudah di launching di awal Ramadhan lalu. Hilmy menyampaikan harapannya untuk setelah ini KAJ lebih tertata secara jadwal dan manajemen.

Menjelang waktu sahur, forum Upgrading kemudian dipungkasi.  Di sesi-sesi akhir, semua bersepakat untuk masing-masing menyadari perannya bahwa semua adalah ‘produsen’ pada wilayah kerjanya masing-masing. Bukan hanya konsumen.

Rizky menutup dengan menyampaikan wejangan dari Mas Agus Sukoco yang disampaikan beberapa hari sebelumnya, “Kita mulai untuk seolah-olah menjadi Mbah Nun muda, miliki spirit itu”.

Acara malam hari itu diawali dengan sholawat dipandu oleh Sholeh, giliran mengakhiri, Sholeh menunjuk Ujang untuk memandu Suluk An Nur. Kemudian para penggiat melanjutkan dengan sahur bersama. [] RedJS