Urun Perspektif Reformasi
Juguran Syafaat malam hari ini dimulai dengan membaca Surat Yunus ayat 1-20 secara tartil dan dipimpin oleh Kukuh dan Karyanto. Setelah membaca Al Quran, para sedulur dipandu untuk berwirid Padhang mBulan bersama-sama. Suasana khusyuk dan syahdu mengawali Juguran Syafaat malam hari ini. Para sedulur juga diminta membacakan Al Fatihah untuk Almarhum Wiwit Widiyanto, Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat yang meninggal sehari sebelum Juguran Syafaat dalam perjalanan dari Jogja menuju ke Jakarta untuk menghadiri Majelis Maiyah Kenduri Cinta.
Kukuh memulai diskusi sesi pertama dengan memandu perkenalan antar sedulur Juguran Syafaat yang baru pernah hadir. Beberapa diantaranya berasal dari kalangan kampus di Purwokerto seperti IAIN Purwokerto dan Unsoed, pekerja kantoran, seniman, lalu ada juga yang sudah pernah mengikuti Maiyah di Mocopat Syafaat dan kebetulan sedang berdomisili di Purwokerto.
Beberapa sedulur dimintai pendapat mengenai tema Juguran Syafaat bulan ini, yaitu “Tawakal Reformasi”. Masing-masing urun perspektif, baik mengenai tawakal maupun tentang reformasi. Viki dari Sokaraja memberikan perspektif tentang reformasi dalam bidang pekerjaannya yaitu kesehatan, dimana dahulu menggunakan alat manual sekarang berreformasi menjadi alat digital yang canggih. Warso dari Purbalingga, menggunakan kata reformasi dalam peristiwa kehidupannya sekarang, yaitu pindah dari satu bisnis ke bisnis lain yang lebih baik. Reformasi menurut Warso adalah ganti formasi, atau ganti bentuk. Faisal dari FISIP Unsoed menyambung reformasi yang terjadi 98 kemarin hanya diketahui oleh masyarakat umum sebagai pelengseran Presiden Soeharto. Faisal menuturkan bahwa ada tiga serangkai Cak Nun, Cak Nur dan Gus Dur sangat penting dalam proses reformasi 98 namun tidak pernah terekspos media massa.
Kukuh meramu dengan apik perspektif-perspektif tadi dalam satu respon yang menjelaskan bahwa gerakan reaktif mahasiswa saat itu begitu menggejala hingga di beberapa kampus di Purwokerto. Namun disini titik lemahnya, mereka hanya menginginkan Soeharto untuk turun, tapi setelah itu belum ada pemahaman solusi konkret untuk bagaimana menjalankan pemerintahan selanjutnya.
Ki Ageng Juguran menyambung jeda antar diskusi dengan musik “Kuncine Lawang Suwargo” yang divokali oleh Rifangi.
Sisi Lain 98 Yang Tidak Tampak
Kusworo memandu diskusi sesi kedua dengan mengawali bahwa pertemuan disini semata-mata dalam wadah kemurnian untuk mau belajar sesuatu, bukan karena kepentingan tertentu.
“Sekarang kalau mau mengatakan sumber informasi, sudah tidak ada sumber yang valid, semua kabur. Kita sebagai anak muda membutuhkan alternatif asupan informasi dan cara berfikir. Nah, teman-teman disini mendapatkannya entah dari buku, youtube atau menghadiri langsung majelis Maiyah di kota-kota lain.”, sambung Kusworo.
Rizky menambahkan bahwa forum Maiyah ini bukan lahir karena inisiatif, tapi karena sebuah kebutuhan zaman. Ketika informasi semakin kabur sumber dan validitasnya, maka zaman bereaksi dengan menelurkan komunitas-komunitas yang epistemik, yaitu komunitas yang menggali di kedalaman yang lebih dibanding dengan diskusi pada umumnya.
“Kita mengetahui kata, peristiwa dan fenomena apapun, bukan hanya dari kulitnya, tapi juga kedalamannya. Bukan hanya etimologinya, tapi juga epistemologinya. Kita bersyukur bisa terlibat dalam forum ini, meski dibelakang hanya sekedar membuatkan kopi saja.”, ujar Rizky. Lalu Rizky juga menuturkan bahwa reformasi disini adalah sebagai pemantik saja bahwa cara berfikir kita sebenarnya terpenggal untuk mengakses sejarah, pengertian dan definisi.
Jeda diskusi diselingi oleh Ki Ageng Juguran dengan nomor sholawat Padhang mBulan kembali divokali oleh Rifangi. Rizky mempersilakan para pembicara untuk maju menempatkan diri di depan sedulur-sedulur yang hadir.
Hardi yang pernah berpengalaman sebagai wartawan pada saat peristiwa Reformasi 98, menceritakan sedikit proses yang terjadi kala itu. Hardi menuturkan bahwa bulan Mei selalu menjadi momentum kebangkitan negara ini, mulai dari kelahiran Budi Utomo, penyelenggaraan Rapat BPUPKI, hingga peristiwa Reformasi 98. Menurut Hardi, dalam peristiwa Reformasi kemarin banyak sekali pihak yang memiliki kepentingan, mulai dari pribadi, media, aktivis hingga militer.
“Yang terjadi setelah Soeharto turun, berbagai macam kepentinganpun muncul. Masing-masing berebut untuk berbicara didepan sebagai ahli reformasi. Banyak sekali hal-hal yang terjadi di luar Gedung DPR yang secara paralel tersambung dengan peristiwa Reformasi, tapi tidak bisa kita ungkap karena tersembunyi oleh dinding militer.”, tambah Hardi.
Hardi menambahkan bahwa banyak sekali informasi-informasi yang tidak utuh dalam peristiwa sejarah khususnya tentang siapa saja yang sebenarnya berperan dalam peristiwa tersebut.
Bilwan, owner dari Baturraden Adventure Forest, secara jujur menceritakan sudut pandangnya tentang reformasi bahwa pada saat itu dia berada di Jakarta dan termasuk orang yang bersedih ketika Soeharto turun. Itu dikarenakan jiwa muda Bilwan yang ingin dekat dengan penguasa dikala itu, dan dengan perubahan yang terjadi kesempatan itu menjadi hilang. Tapi kesedihan itu hilang ketika mengetahui ada harapan hari esok bahwa yang diundang untuk ‘rembugan’ reformasi oleh Soeharto bukanlah kalangan aktivis, partai, DPR, dan sebagainya, justru malah orang-orang seperti Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur dan lain-lain. Meskipun pada akhirnya tetap kecewa, karena reformasi ini tidak dikawal secara baik oleh orang-orang yang memang sejatinya memiliki kepentingan akan dirinya sendiri.
Ki Ageng Juguran merenyahkan suasana dengan sajian satu nomor karya Kiai Kanjeng berjudul “Sayang Padaku” yang divokali oleh Tita. Menyambung diskusi sebelumnya, menurut Kusworo, Indonesia ini kalau dalam permainan bola baru melakukan pergantian pemain, tapi belum melakukan reformasi atau berubah formasi permainannya.
Titut Edi merespon dengan bercerita tentang peristiwa reformasi 98 dimana dia saat itu bertetangga dengan seorang cina. Yang terjadi adalah hubungan mereka yang sangat humanis, sehingga tidak ada satupun celah yang bisa menyebabkan keduanya bertengkar. Yang terpenting dalam membina hubungan dengan sesama manusia adalah urusan ruhaninya, bukan urusan warna kulit, jasad fisik maupun suku agamanya. Titut Edi merefleksikan dengan kondisi sekarang ini, dimana kebahagiaan diperoleh dengan cara memiliki barang maka itu adalah kebahagiaan yang semu. Karena yang sejati adalah mensyukuri apa yang dimiliki.
Secara spontan, Titut membaca puisinya yang berisi tentang kritik terhadap kehidupam manusia saat ini. Disambung dengan nomor musik humor “Amenangi Jaman Edan” oleh Titut dan diiringi Ki Ageng Juguran.
Rizky menuturkan bahwa sekarang ini kita tidak bisa membedakan mana orang yang bisa disebut dengan tokoh mana orang yang bukan tokoh benar tapi ditokoh-tokohkan. Sedangkan dengan batu saja kita bisa membedakan, mana yang naga sui, mana bacan, mana yang harganya 1 juta, mana yang 50 ribu. Disinilah kita perlunya forum ini untuk pendalaman diskusi, agar kita tidak terima jadi ketika sebuah konsep di gelontorkan oleh buku, media dan apapun. Kita mampu berijtihad sendiri, mana yang sejati mana yang palsu.
Menjelang tengah malam, sebuah nomor berjudul “Marhaban Ahlan Wa Sahlan” dipersembahkan oleh Ki Ageng Juguran. Lalu dilanjutkan dengan nomor berjudul “Kepadamu Kekasihku” yang divokali oleh Tita.
Tawakal, Ruang Tuhan Atas Batas Kita
Agus Sukoco kemudian memberikan pengertian tawakal dengan analogi hubungan kita dengan seorang Kapolres, dimana kalau sudah dekat hubungannya, maka kejadian buruk apapun kita bisa mengeluh dan pasti nantinya akan terfasilitasi oleh Kapolres tersebut. Jika hubungan kita tidak dekat, maka akan sungkan dan tidak mungkin untuk mendapatkan fasilitasnya. Kepada Tuhan, kita musti seyakin hubungan kita dengan Kapolres yang dekat itu. Bahwa ketika ada apa-apa, nantinya Tuhan akan ikut bekerja dan bertanggung jawab untuk memfasilitasinya. Ini adalah analogi tawakal.
“Kita dalam hidup sering memposisikan Allah jauh, seperti terhadap seorang Kapolres yang tidak punya hubungan apa-apa. Tawakal inipun disengaja Tuhan, karena kita memang diciptakan secara terbatas kemampuannya. Dalam ketidakmampuan kita, disitulah Tuhan hadir melalui ruang tawakal.”, ujar Agus Sukoco.
Agus kemudian menceritakan pengalamannya menggelar diskusi publik dimana beberapa aktivis politik hadir, juga beberapa calon bupati di sebuah daerah. Yang terjadi saat ini adalah pemilihan kepala daerah harus mendapatkan rekomendasi parti dari pusat pimpinan. Sedangkan menurut Agus, dalam tradisi pemilihan kepala suku, rakyat sangat berdaulat dalam memilih siapa yang kelak menjadi pemimpin di suku tersebut.
“Pilkada itu omong kosong jika disebut demokrasi. Diam-diam kita kalah berdaulat dibanding dengan sebuah suku primitif di pedalaman sana. Besok-besok, anggota DPR kita nampaknya perlu studi banding untuk belajar kedaulatan kepada pemilihan kepada suku primitif.”, tambah Agus.
“Globalisasi itu cenderung menjadi peristiwa yang menyebabkan batalnya kesucian hidup. Runtuhnya nilai-nilai lokal itu karena nilai-nilai Barat yang sedang memenangi sejarah berkuasa dominan atasnya. Kita dipaksa untuk mengakui bahwa yang cantik itu yang berkulit putih, yang ganteng itu yang berhidung mancung. Saya berdoa, semoga kelak yang memenangkan peradaban adalah bangsa Afrika, sehingga ukuran tadi akan terbalik semua. Reformasi adalah satu format kepemimpinan yang mampu menjaga kedaulatan, karena yang Juguran Syafaat lakukan sekarang adalah upaya untuk melakukan wudhu dan mandi besar peradaban yang sedang terjadi kenajisan disana-sini.”, ujar Agus.
Hadiwijaya, salah seorang seniman Banyumas menambahkan bahwa reformasi itu adalah keniscayaan yang terjadi tidak hanya dalam sejarah bangsa, tapi juga diri manusia. Jika kita sudah menolak reformasi, maka itu yang disebut ‘mati sajroning urip’. Hadiwijaya menceritakan proses pembuatan batu akik yang dimulai dari bahan, digergaji kecil-kecil, diperhalus, digerinda hanya untuk menghasilkan sebuah batu yang apik dan mengkilap. Itu sama analoginya dengan proses kehidupan manusia ini.
Azmy dari Komunitas Gusdurian menuturkan bahwa dalam bertawakal, kita harus melakukan sesuatu dengan semaksimal mungkin. Apabila belum melakukan apa-apa sudah pasrah, maka itu adalah bentuk dari kemenyerahan, bukan ketawakalan.
Agus Sukoco menjelaskan bahwa apakah yang disebut maju itu harus seperti Singapura, Amerika dan Jepang. Jika iya, maka kita tidak akan pernah bisa mencapainya, karena bekal dari diri kita bukan mencari kemajuan dengan indikator yang mereka peroleh. Kita musti mempunyai ukuran sendiri untuk menjadi negara maju yang seperti apa.
“Mau sampai kapan kita akan kembali ke ukuran tadi? Ya kita tidak tahu. Tapi kita terus melakukan, melakukan dan melakukan. Karena Rasulullah saja saat mendapatkan ayat tidak pernah menanyakan kapan akan selesai. Rasulullah hanya menjalani ayat demi ayat sampai 23 tahun. Maka doa kita adalah agar kita dibimbing oleh hidayah Tuhan setapak demi setapak sebagaimana Rasulullah menjalani kehidupan dan perjuangan dalam bimbingan wahyu seayat demi seayat.”, kata Agus.
Pur dari Jogja merespon diskusi tadi bahwa kita harus menekankan bahwa pemerintah hanya sebuah operator yang ditunjuk oleh rakyat. Agus menyambung kembali dengan penjelasan bahwa ada cara berfikir linier dan cara berfikir siklikal dalam kehidupan sehari-hari. Agus menganalogikan hal ini kedalam bentuk kebutuhan hidup yang darurat, seperti butuh uang 1 juta rupiah tapi hanya punya uang 200 ribu. Jika cara berfikir linier maka 200 ribu ini akan kita gunakan sebagai simpanan menuju ke 1 juta rupiah. Tapi dalam cara berfikir siklikal, uang 200 ribu tidak akan menyelesaikan masalah apapun, jadi kita musti memberikan uang itu kepada yang berhak, ini adalah sebuah manajemen ketepatan.
“Uang 200 ribu tepatnya tidak pada saya, tapi itu akan menyelesaikan masalah orang yang memang hanya butuhnya 200 ribu. Dan ketika kita menempatkanya pada tempat yang tepat dengan memberikan uang itu, secara alamiah dan pasti maka kebutuhan kita yang 1 juta akan ditempatkan kembali ke kita dengan mekanisme tertentu. Ini adalah cara berfikir siklikal. Hal ini dianggap irasional karena kita kurang yakin akan adanya Tuhan.”, jelas Agus.
Togar seperti biasa mempertanyakan kembali apa itu reformasi, mau dibawa kemana, dan kalau reformasinya saja belum mengerti, untuk apa kita diminta tawakal. Rizky mengingatkan kembali sedikit proses lain Reformasi, seperti tanggal 11 mulai ada pengajian sholawat dan wirid Padhang mBulan di kediaman Cak Nun di Jombang. Runtutan proses reformasi hingga 2 hari setelah turunnya Soeharto, Cak Nun didampingi Habib Yahya dari Solo mulai menelateni sholawat keliling kampung menjaga ketentraman di Jakarta. Hingga akhirnya berkembanglah komunitas Maiyah sampai sekarang ini.
“Buah yang murni dari Reformasi 98 adalah lahirnya Maiyah ini. Maiyah adalah kita mulai lakukan datang kemari dengan niat yang murni dan pendalaman ilmu secara murni sehingga menjadi komunitas epistemik yang tidak hanya saling lempar wacana isu apa yang dipermukaan tapi kita juga cari kedalaman dan berani memunculkan hal-hal yang baru yang membantu membuat bangunan berfikir yang berdaulat.”, ujar Rizky.
Tepat pukul 02:30 Juguran Syafaat diakhiri dengan salaman sembari sholawat bersama-sama. [] RedJS
[ teks : Hilmy Nugraha ]