Rumah Tangga, Institusi Sosial Paling Alamiah dan Rasional

NIKAH ADALAH ikrar hati, formula kebudayaan untuk melembagakan suatu perjanjian dua hati yang telah menyatu. Dijembatani oleh penghubung antar hati manusia bernama cinta. Rahmat cinta adalah dorongan batin yang bersifat instingtif yang harus dikelola melalui institusi pernikahan agar menjadi barokah hidup bagi manusia.

Cinta lah yang membuat diri lokal jasadiah menemukan titik perjumpaan ruhani di zona kesadaran non-lokal yang misterius. Dua manusia melebur menjadi satu. Menjadi satu atau manunggal yang merupakan inti ajaran tauhid. Melalui menikah, manusia telah diberi informasi yang tidak hanya bersifat literatif mengenai inti tauhid, tetapi manusia dipeluangi langsung untuk memasuki thariqat penyatuan dan peleburan diri.

Karena telah terhubung oleh jembatan cinta, maka dua kepribadian, dua kecenderungan dan dua keinginan yang pada awalnya saling berbeda menemukan kerelaan untuk melepas ke-diri-an masing-masing. Pada kondisi saling ‘membuang diri’ itu, dua manusia akan memasuki diri yang baru, yakni diri komitmen. Sebuah diri kini telah bermetamorfosis menjadi diri istri dan diri suami.

Dengan cinta, manusia ditarik secara alamiah untuk hijrah menuju kesadaran baru. Karena sesungguhnya menikah bukanlah sekedar perpindahan status sosial semata, dari jomblo menjadi berkeluarga. Namun, menikah adalah proses transformasi kesadaran. Inilah revolusi paling fundamental dalam hidup manusia.

Institusi pernikahan adalah formula manajemen sosial untuk menentukan skala tanggungjawab, proporsi peran dan peta nilai bagi diri transformatif yakni diri pasca nikah di dalam tata kebudayaan dan peradaban tempat mereka berada. Ketika hasrat alamiah atau insting batiniah antara lelaki dan wanita yang bernama cinta tidak diinstitusionalisasi melalui pernikahan, maka kehidupan manusia kehilangan hakikat keberadabannya. Jadi, pernikahan atau rumah tangga adalah instrumen terpenting dalam konstruksi sejarah dan peradaban manusia di muka bumi.

Secara kuantitatif keluarga merupakan institusi terkecil bila ia dibandingkan dengan institusi sosial lain semisal negara. Akan tetapi, secara kualitatif keluarga adalah lembaga sejarah yang paling alamiah dan rasional landasan filosofis dan teologisnya. Maka tak heran bila Islam memandang orang yang sudah menikah berarti dianggap telah menjalankan separuh agamanya.

Orang yang telah menikah disebut suami-istri. Suami merupakan pakaian dari istri, sementara istri juga berfungsi dan berposisi pakaian bagi suami. Artinya, segala tindak- tanduk dan perangai orang yang sudah menikah, baik sebagai istri atau sebagai suami menjadi saling terkait satu sama lain. Jika seorang istri bersikap bengal dan melanggar etika sosial, suaminya yang akan terlihat rendah di mata masyarakat. Begitu juga sebaliknya. Kondisi demikian merupakan bukti bahwa mereka telah menjadi satu, melebur secara kualitatif menjadi diri baru.

Konsep menikah adalah metode pengelolaan hasrat cinta dan metode pemahaman transformasi ruhani yang paling efektif. Setelah seorang lelaki dan wanita diamanati rasa cinta untuk menjadi jalan perjumpaan dua hati, melalui menikah mereka mengerjakan cinta bagi keberlangsungan sejarah dan kebudayaan berdasarkan nilai Tuhan.

Cinta adalah modal yang secara kodratiah dititipkan Tuhan kepada manusia untuk mengerjakan sejarah dalam tugas kekhalifahannya. Tanpa cinta, manusia tidak akan bisa menghasilkan produk sejarah yang tinggi dan bermartabat. Karena hanya dengan cinta manusia bisa melakukan transformasi diri ke dimensi yang lebih tinggi. Cintalah yang akan menjadi jalan dan tenaga bagi manusia untuk mampu membuang ego dirinya menjadi pribadi baru yang siap ditagih oleh logika prinsip dasar penciptaan Tuhan atas manusia, yaitu menjadi ‘pengabdi’. [] Agus Sukoco

Selamat Idul Fitri, Selamatkan Idul Fitri dari Hedonisme

JUGURAN SYAFAAT melakukan upaya menghidupkan kembali budaya menggali. Misalnya tentang fenomena Idul Fitri.

Islam bukanlah agama kerahiban, dimana tuntunannya hanya seputar penyepian, tirakatan, dan anti-keduniawian. Tuntunan seputar Idul Fitri menjadi anomali dari semua itu. Nabi SAW menghendaki kita merayakan hari pertama sesudah bulan Ramadhan ini dengan gegap gempita :

  1. Berbondong-bondong Sholat Ied di tanah lapang luas
  2. Memakai pakaian yang paling bagus (walau tidak harus baru)
  3. Menyiapkan santapan. Setiap orang harus bisa makan pada hari itu.

Itulah betapa hari raya harus benar-benar kita rayakan.

Sayangnya, tuntunan yang indah dari Nabi SAW mengenai Idul Fitri ini kini telah sedemikian rupa dikomoditasi oleh sang pemilik modal. Dengan jelinya sang pemilik modal melakukan ‘perampokan’ massal, dalam rangka mobilisasi uang dari masyarakat kepada mereka melalui berbagai aktivitas transaksi jual beli komoditas atribut seputar Idul Fitri.

Walhasil, Idul Fitri bergeser menjadi lebaran. Kegegapgempitaan mengamalkan tuntunan Nabi SAW bergeser menjadi pesta yang hedonistik. meng…nge…ri…kan..

Ketika sang pemilik modal dengan jelinya melakukan komoditasi Idul Fitri demi mobilisiasi uang. Maka, Maiyah tidak boleh kalah jeli. Maiyah tidak boleh mengelus dada kesesakan nafasnya akibat paranoid melihat fenomena ini. Karena sikap paranoid akan berpotensi membawa pada terjadinya fenomena “amputasi sosial”.

Apa amputasi sosial yang dimaksud? Yakni, niatnya memberantas hedonistiknya pesta, tapi malah menghapuskan ke-raya-annya hari raya Idul Fitri. Tidak, tidak bisa begitu, hari raya tetaplah harus raya.

Maka inilah PR kita bersama, untuk mengayak hedonisme yang ada di dalam hari raya, tapi tetap menjaga raya nya hari raya, jangan kekayaan sosial hari raya diamputasi menjadi sepi, tidak lagi raya. [] Rizky Dwi Rahmawan

:: Rizky Dwi Rahmawan | @Rizky165 ::