Anak-anak akan mudah bertengkar dan gaduh jika sebuah rumah tidak memiliki bapak yang kharismatik. Bapak adalah simbol wibawa, pawang yang memancarkan kasih sayang dan melindungi hak setiap anak dengan adil. Ada hal-hal yang tidak cukup hanya diserahkan kepada pembantu rumah tangga dalam sebuah keluarga. Begitu juga sebuah rumah besar bernama negara. Pemerintah adalah pembantu/pelayan menurut undang-undang. Siapakah bapak yang berposisi sebagai orang tua dalam sebuah negara?.
Lebah saja yang tingkat persoalan dan dinamika sosialnya sangat pasti dan statis serta tidak kompleks, membutuhkan ‘Ratu’. Mayarakat Lebah akan bubar jika tidak ada Ratunya. Seluruh pergolakan dan benturan anak-anak bangsa ini tampaknya karena rumah besar bernama negara sedang ditinggal atau meninggalkan konsep bernama keluarga yang membutuhkan eksistensi orang tua. Di satu sisi pelayan/pembantu diposisikan sedemikian mapan dan seolah-olah berperan dan dikeramatkan sebagai orang tua dalam sebuah keluarga.
Kehidupan manusia tidak bisa menghindar dari kodrat alam, dimana keberlangsungannya membutuhkan eksistensi pemimpin. Pemimpin yang lahir dari rahim sejarah, lahir dari proses dan mekanisme otentik kebangsaan kita, bukan dilahirkan berdasarkan sistem dan mekanisme yang diadopsi dan diinspirasi oleh nilai-nilai yang diimport.
Suatu saat pasti selubung kabut yang menggelapi pandangan akal dan batin anak-anak bangsa ini akan terbuka, sehingga wajah orang tuanya akan dapat mereka kenali, aura cintanya akan bisa mereka rasakan getarannya.
Rumah akan kembali aman, damai dan romantis, karena bapak atau orang tua telah datang ke tengah-tengah keluarga. Rumah yang kaya raya ini tidak lagi terancam oleh para bandit yang telah memperdayai dan menyelingkuhi para pembantu. Anak-anak akan segera mendapat hak-hak kedaulatannya di dalam rumah.
Pencapaian budaya, ilmu dan pengetahuan kita baru bisa memproduk mekanisme untuk mendapatkan pembantu/pelayan. Kita belum menemukan metode sejarah untuk mendapatkan bapak atau pemimpin. Bahkan negara belum kita sepakati sebagai sebuah rumah yang mendasarkan diri pada konsep nilai keluarga. Kondisi demikian membuat seluruh penghuni rumah tidak memiliki ketersambungan persaudaraan sebagai sesama anak. [] Agus Sukoco