Sekolah adalah Mengisi Waktu Luang

Sebuah kredo yang amat populer berbunyi “Sekolah adalah mengisi waktu luang”. Dengan adanya sekolah, seseorang menjadi tidak bosan sebab terlalu punya banyak waktu untuk tidur siang. Dengan adanya sekolah, seseorang menjadi mempunyai kesempatan untuksessrawungan berinteraksi dengan banyak orang, melatih kepekaan dan belajar pemosisian diri di tengah-tengah lingkungan.

Syukur Alhamdulillah saat ini sedang diupayakan adanya program wajib sekolah yakni minimal 12 tahun. Kalau seseorang memilih sepakat dengan kredo populer di atas, berarti mau tidak mau seseorang harus mengupayakan diri untuk mempunyai waktu luang sejumlah jam durasi sekolah dikali 12 tahun tersebut.

Dan kalau memang seseorang memilih patuh dengan kredo di atas, sekolah benar-benar diposisikan hanya mengisi waktu luang. Mengikut para maestro yang sudah berhasil di bidangnya, seseorang harus menyediakan waktu di luar sekolah sebagai waktu inti untuk sungguh-sungguh menempuh berbagai proses pembelajaran yang sesuai dengan bakat dan minatnya.

Andreas Hareva pernah menulis sebuah buku berjudul “Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup”. Sebelum les atau bimbel marak seperti akhir-akhir ini, sulit bagi kita memahami maksud dari judul buku tersebut. Bagaimana mungkin sekolah yang bangunannya saja megah dan mentereng, tidak kalah dengan megah dan menterengnya gedung bank dan perkantoran kok dianggap sebagai “tidak pernah cukup?”. Bagaimana mungkin sekolah yang biayanya bagi sebagian orang menghabiskan lebih dari separuh anggaran rumah tangga, juga durasi waktu yang dibutuhkan lebih dari waktu produktif harian seseorang kok dianggap “tidak pernah cukup?”.

Namun, hari ini kita saksikan bahwa untuk menghadapi menegangkannya fase-fase akhir kelulusan, seseorang dituntut untuk mendayagunakan waktu, tenaga dan biaya di luar sekolah secara sungguh-sungguh bahkan agak sepaneng dengan mendaftar di berbagai program les atau bimbingan belajar.

Begitulah, prestasi paling maksimal dari seseorang yang hanya rajin sekolah adalah menjadi manusia rata-rata. Tanpa mendayagunakan waktu secara khusus di luar sekolah sebagai waktu inti untuk melakukan pembelajaran tertentu, sulit kemungkinan bagi seseorang untuk menjadi maestro.

Terlebih saat ini kita lihat makin sengitnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan atau sekedar meraih prestasi-prestasi di kehidupan nyata. Mau tidak mau seseorang harus lebih giat dan bersungguh-sungguh mendayagunakan waktu di luar waktu sekolahnya.

Tidak ada penyanyi yang mahir hanya bermodal rajin pada saat jam pelajaran kesenian. Tidak ada mubaligh yang mumpuni hanya sebab ia mengikuti pelajaran agama dengan baik saja. Betapa tidak cukupnya modal yang diberikan sekolah ditunjukkan dengan di saat seseorang harus memasuki dunia kerja, seseorang harus melalui proses on the job training atau bentuk-bentuk pendidikan pembekalan khusus lainnya. Seringkali proses itu berlangsung berbulan-bulan, padahal seseorang telah menempuh belasan tahun waktu bersekolah.

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, tes minat dan bakat menjadi begitu mudah dilaksanakan. Misalnya pada website temubakat.com, seseorang bisa register dan melaksanakan test potensi diri secara mandiri tanpa repot-repot harus pergi ke klinik konseling. Mengetahui minat dan bakat adalah modal utama untuk seseorang mengasah “gergaji”, untuk mengasah sisi tajam pada dirinya.

Sisi tajam seseorang berbeda satu sama lain. Selain bakat yang dipengaruhi oleh DNA juga oleh pengaruh pergaulan yang berbeda satu sama lain juga melahirkan minat yang berbeda. Bermodal mengetahui minat dan bakat, seseorang dapat berselancar di internet misalnya untuk menemukan program-program sesuai yang diingini, juga untuk menemukan forum maupun komunitas yang bersesuaian. Seseorang bisa “learn from the maestro” sebagai cara paling ampuh untuk menempa dirinya menjadi maestro pula.

Ini era borderless seperti saat ini bahkan tidak ada batas negara untuk belajar. Wawasan harus internasional, penguasaan bahasa asing menjadi kebutuhan tak terelakkan. Tanpa penguasaan bahasa yang baik, seseorang akan lebih memilih program-program dan komunitas-komunitas yang dekat dengan tempat tinggalnya saja. Walhasil seseorang akan kurang pergaulan atau setidakanya kalah pergaulan. Kesempatan untuk belajar lintas negara lintas benua adalah hal yang sayang untuk dilewatkan.

Pada akhirnya, seseorang akan kalah dalam sengitnya persaingan global saat ini adalah ketika di waktu luang ia bisa rajin tetapi di waktu inti justru ia beristirahat. Di sekolah ia habis-habisan, di luar sekolah justru ia tepar kelelahan. Apalagi dengan penerapan full day school (FDS) yang menjadi sebuah tantangan baru. Bagaimana seseorang memastikan untuk bisa pandai-pandai betul meng-arrange waktunya.

Bagaimana harus memperpanjang waktu luang minimal sepanjang durasi baru bersekolah. Bagaimana di panjangnya durasi bersekolah seseorang menjadi tidak sepaneng. Bisa menyerap bahan-bahan yang diajarkan, sekaligus bisa rileks beristirahat. Agar sepulang sekolah ia masih mempunyai stamina yang prima untuk menempuh pengembangan bakat dan minat yang menjadi kurikulum pembelajaran pribadinya.

Sehingga cita-cita menjadi maestro di bidang yang menjadi bakat dan minatnya tidak menjadi terhambat oleh kesibukan bersekolah. [] Rizky Dwi Rahmawan

SEKOLAH DAN TRANSAKSI

Ada persamaan antara sekolah dan masjid, di dua tempat itulah anak manusia menerima hidayah. Oleh karenanya kita harus menjaga kesucian di kedua tempat itu. Kalau sebagian kita sulit memahami, ini karena selama ini kita sudah mengalami reduksi tentang pengertian hidayah.

Ketika seseorang tiba-tiba menjadi rajin sholat, rajin ngaji, kita menyebutnya dia sudah mendapat hidayah. Namun sesungguhnya hidayah tidak sebatas pada ibadah maghdoh saja. Karena bahkan ketika seorang anak diajari oleh gurunya 2 + 2 dan si anak faham jawabannya adalah 4, sesungguhnya anak itu sudah dianugerahi hidayah oleh Allah.
Lalu, kenapa anak yang sholeh mendapat kefahaman jawabannya 4, dan yang tidak sholeh juga tetap faham bahwa 2 + 2 = 4. Apakah anak yang tidak sholeh juga tetap berhak mendapat hidayah? Jangan lupa, Allah dalam Asmaul Husna memiliki sifat Al Hadi (Maha Memberi Petunjuk) juga memiliki sifat Al Mudzil (Maha Menyesatkan). Mungkin bentuknya sama-sama faham 2 + 2 = 4, tapi ketika kefahaman itu kelak ketika dewasa menjadikan sebab si anak memberi manfaat pada masyarakat, berarti hidayah kefahaman yang ia peroleh adalah dari sifat Allah Al Hadi. Sementara ketika kefahaman itu kelak ketikda dewasa menjadi sebab si anak melakukan korupsi, barulah kita tahu bahwa kefahaman itu dari sifat Allah Al Mudzil.

Kalau kita faham ini, maka kita akan bersepakat untuk menjaga kehati-hatian mengelola ‘kesucian’ lingkungan pendidikan anak-anak kita. Kesucian inilah yang menjadi syarat Allah Al Hadi memberikan hidayah. Maka sangat mengherankan kalau terdengar ada sekolah yang ribut-ribut soal uang. Kalau warung atau toko wajar disana ribut soal uang, karena memang disana adalah tempat orang bertransaksi.

Kerap kali terjadi ketidaksesuaian nilai, orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah untuk menjemput hidayah, tapi belum-belum sudah ditodhong dengan angka-angka biaya. Ini seperti orang mau datang ke masjid untuk sholat, tapi diminta untuk membeli sajadah, sarung dan mukena terlebih dulu.

Ketika memang masjid memiliki kebutuhan yang menyangkut biaya, maka yang dilakukan adalah berembug antara takmir masjid dan masyarakat. Pun demikian ketika sekolah memiliki kebutuhan yang menyangkut biaya, maka yang dilakukan adalah berembug antara takmir sekolah dengan para wali murid.

Dalam forum rembug itu nantinya dibahas skala prioritas, mana yang harus diadakan dan seberapa kemampuan bersama untuk bergotong royong. Seringkali yang merusak kesucian adalah karena para wali murid sudah dianggap sebagaimana para konsumen warung, sehingga angket diskusi biaya yang disodorkan tidak transaparan dan tidak berangkat dari proses riset skala prioritas terlebih dahulu.

Padahal, jika forum rembug antara pihak sekolah dan wali murid ini dijaga kesuciannya, seharusnya biaya bisa disepakati secara ridho bi ridho. Karena orang tua pasti akan memberikan yang paling maksimal bagi pendidikan anak-anaknya. Hanya orang tua-orang tua yang kikir yang lebih mengutamakan piknik dan shoping di atas prioritas anggaran untuk pendidikan anak-anaknya.

Maka biaya pendidikan dapat ditanggung bersama secara gotong royong dengan kerelaan semua pihak. Jangan lupa dioptimalkan dan ditransparankan dana-dana alokasi pendidikan yang besarnya seperlima APBN. Dan yang tidak kalah penting adalah kita bersama membangun sekolah yang bersahaja, jauh dari pembangunan kemewahan demi menghindari mengajarkan kepada siswa-siswa cara hidup hedonistik.[] Agus Sukoco