Perang di med-sos itu masih tanggung, segera cari gelanggang dan arena yang representatif untuk menunjukan keberanian yang sesungguhnya. Sudah lama sebenarnya bangsa yang sedang frustasi ini butuh ‘ritual’ untuk segera menyempurnakan diri sebagai binatang. Kalau soal bunuh membunuh itu naluri dan bakat kita bersama sebagai sesama orang yang tertindas dari rezim ke rezim. Ruang kebudayaan kita telah dipersempit oleh arus keserakahan modal sehingga tidak kondusif untuk tumbuhnya naluri sejati kemanusiaan, kasih sayang dan cinta.
Negara dengan tata kelola dan orientasi yang mengingkari fitrah nilai otentik seperti ini tidak akan bisa menghindar dari momentum perang saudara. Alam diperkosa, desa di-kota-kan, sawah di-pabrika-kan, rumah sakit di-industrikan, sekolah-sekolah di-Perusahaan-kan.
Maka, gelombang orang marah sedang siap siaga menunggu ‘momentum’ untuk meledakan frustasinya sebagai warga Negara yang sudah lama dijarah kedaulatan politik dan ekonominya. SARA akan dipilih sebagai formula paling ‘sopan’ untuk menyalakan dan membuka pintu menuju ‘medan laga’ pelampiasan itu. Kalau suatu saat perang benar-benar terjadi, sesama saudara saling bunuh, penjarahan merajalela, itu adalah ‘alamat sejarah’ yang sadar atau tidak sadar sedang kita tuju melalui tahap-tahap pembangunan tanpa kejelasan ‘sangkan paran’ pijakan nilai, yang kita yakini dengan sangat mantap sebagai langkah-langkah menuju kemajuan dan kesejahteraan.
Mudah-mudahan kelak, anak cucu tidak menganggap ini perang agama, tetapi protes terhadap keserakahan dan ketidak adilan, sehingga agama tidak dikenang sebagai faktor pertumpahan darah. Ketololan generasi hari ini juga tidak dikenang sebagai sentimen antar etnis, sehingga anak cucu masih percaya bahwa kita memiliki akar sejarah sebagai sebuah bangsa. Semoga masih ada sisa nilai yang bisa kita estafetkan kepada anak-cucu, agar mereka bisa merintis kembali kehidpan yang lebih baik, setelah hari ini kita gagal mempertahankan martabat kemanusiaan dan kebangsaan.[] Agus Sukoco