Reportase: Teknologi Tanpa Riset

Rel, jembatan, mobil, internet, pembangkit listrik kita sebut teknologi. Kita dikenalkan oleh barat mengenai teknologi-teknologi itu. Ruang berpikir kita yang begitu sempit membuat kita hanya mengenal teknologi hanya sebatas hal-hal di atas. Padahal, apakah konstruksi penanggalan hari, pasaran dan weton itu bukan teknologi? Bentuk alat penanak nasi berbentuk kerucut berbahan dasar anyaman bambu bernama kukusan itu bukan teknologi?

Sudah ruang berpikir kita menyempit, ketambahan kita dijajah oleh stigmatisasi mistik dan klenik terhadap produk teknologi kita sendiri. Sehingga harus memutar otak seribu putaran untuk menjelaskan bahwa hujan dapat direkayasa dengan pointing cabai dan bawang yang frekuensinya ditransmisikan menggunakan sapu lidi dengan perhitungan fisika yang ilmiah. Akibatnya, banyak potensi teknologi milik sendiri yang dianggurkan tidak terpakai, sementara kita kepunthal-punthal mengimpor teknologi dari Barat.

Lebih jauh lagi, kita lupa, bahwa diri kita sendiri adalah produk teknologi. Makhluk dengan vitur demikian canggih yang tidak perlu riset, semua sudah built in diciptakan Tuhan. Kita tinggal aktivasi saja. [] RedJS

 

Mukadimah: Teknologi Tanpa Riset

Definisi “teknologi”, bagi sebagian orang telah menyempit. Sesuatu yang berupa alat, alat itu canggih, dan dihasilkan di laboratorium maka itulah teknologi. Ketika biting dihasilkan melalui proses laku kehidupan yang panjang embok-embok penyedia sajian arem-arem, yang dalam proses perjalanan simbok tersebut membuat arem-arem akhirnya menemukan hidayah untuk menyisik bambu hingga ukuran kecil diameter 2 mm, kemudian dipotong-potong masing-masing panjangnya 3 cm dengan kedua ujungnya runcing kemudian bambu itu bisa dibuat pengunci ujung lemper agar tidak terbuka saat dikukus, maka itu dianggap bukan teknologi. Karena biting tidak canggih dan bukan merupakan hasil laboratorium riset.

Semakin menyempit lagi pemahaman orang tentang kata “teknologi” hingga begitu jauhnya dari terminal makna yang sesungguhnya atau disebut terminologinya, ketika orang yang mandi di bawah air terjun hanya dikenal sebagai klenik dan orang yang menyindik bawang merah dan cabai dengan lidi kemudian dihadapkan ke awan langsung dicap mempersekutukan Tuhan.

Padahal bahkan ilmu pengetahuan barat yang merupakan pangkalan faham materialisme saat ini sudah secara saintifik menyebutkan proses terapi yang disebut “shower therapy”, sebuah aktivitas penyembuhan dengan cara mandi di bawah guyuran air untuk durasi waktu tertentu. Lalu ada apa dengan kita kok masih sulit memiliki pemahaman bahwa apa yang dilakukan nenek moyang kita di bawah grujugan air terjun itu sebagai sebuah teknologi yang sudah mereka capai?

Lalu bagaimana dengan bawang merah, cabai dan lidi? Bagaimana sains dapat menjelaskan itu adalah cara yang ilmiah untuk menangkal hujan? Saya menjawab dengan : apa mampu sains menjelaskan itu? Siapakah itu sains? Kenapa kita jadi begitu mengagung-agungkan sains hampir-hampir se-Agung Tuhan?

Bisa jadi sains terlalu kerdil untuk bisa menjelaskan bawang merah, cabai, lidi dan hujan. Kalau memang daya pikir kita belum sampai, cukuplah itu kita pahami sementara sebagai sebuah password atau rumus. Seperti anak kelas 1 SD yang bertanya tentang materi limit dan integral. Setelah dijelaskan dan sama sekali tidak mudeng, apa yang dilakukan oleh si anak kelas 1 SD tersebut? Apakah spontan menganggap rumus limit dan integral itu adalah klenik? Atau “oh, saya belum nyampe nih otaknya”.

Begitulah sikap yang menunjukkan bahwa kebenaran hanyalah apa yang bisa diterima oleh otaknya, sedangkan yang tidak bisa disebut klenik dan kemusyrikan adalah sebuah sikap kemunduran. Bukannya dari hari ke hari kita mendapatkan temuan teknologi terus menerus, tapi justru kita termarginalisasi dari masyarakat, menjadi asing, bukan karena mereka yang mengasingkan kita, tapi kita sendiri yang mengasingkan diri.

Pola berpikir sempit mengenai terminologi teknologi seperti di atas mengandung pemahaman bahwa teknologi adalah sesuatu yang keluar dari laboratorium. Nyatanya tidak selalu seperti itu, kita mengambil contoh Jepang, mereka memiliki falsafah “KAIZEN” yang sederhananya : “ambil yang baik, buang yang buruk, ciptakan produk baru”. Kaizen tidak berbasis laboratorium semata, tetapi pengelaman di lapangan, sehingga suatu produk terus diinovasi sesuai dengen penerimaan masyarakat atas produk tersebut di lapangan.

Dan Nusantara memiliki falsafah yang tidak kalah unggul : “NGELMU IKU KALAKONE KANTI LAKU”. Perjalanan ilmu, inovasi teknologi, itu terjadi dari tindakan keseharian, bukan tindakan riset laboratorium belaka. Sayang, falsafah tingkat tinggi itu saat ini tidak operatif, hanya menjadi pajangan kata mutiara di dinding belaka, karena kita sudah diteror dengan judgement : “awas hati-hati itu kejawen!!!”

Proses niteni, pengamatan dan Iqra, dilakukan masyarakat nusantara bukan hanya saat proyek riset di laboratorium, tapi di setiap laku kehidupan. Maka itulah kenapa kalau saat ini kita mau melakukan proses identifikasi dengan serius, kita akan menemukan karya teknologi nenek moyang Nusantara yang tidak terhitung, tidak terbandingkan jumlahnya dibanding yang dihasilkan oleh peradaban Barat, apalagi peradaban Arab.

Mulai dari biting, kemudian gogok, arsitektur rangken Jawa, pestisida alami untuk bercocok tanam padi, caping, kenthong early warning system, tari-tarian, teknik-teknik terapi dan penyembuhan, racikan obat, metodhologi unggah-ungguh, dll masih banyak lagi. Kesemuanya itu menjadi perangkat yang mendukung lahirnya sebuah sistem sosial yang mengamankan satu sama lain, memudahkan pekerjaan serta meninggikan martabat semua orang yang terlibat di dalamnya.

Namun saat ini sisa-sisa peninggalan teknologi nenek moyang tersebut, yang bisa kita sebut sebagai teknologi timur, atau teknologi nusantara yang kebanyakan berbasis teknologi internal hanya sedikit saja yang bisa kita kecap. Ahli kelahiran alami sekarang kita cap sebagai dukun : dukun bayi, pengobatan luka dengan daun pegagan disebut tidak higienis, keramas itu ya harus pakai shampo yang banyak busanya, bukan dengan lidah buaya, kodifikasi tanda bahaya kenthongan apa masih ada yang hafal, telepati itu dianggap bagian dari kemusyrikan belaka yang betul adalah belilah gadget termahal, sampai pada keyakinan bahwa kita tidak bisa hidup tanpa impor. Impor barang maupun impor falsafah. Mari kita amati fenomena-fenomena tersebut, untuk diambil yang produktif dan disingkirkan serta diganti yang kontraproduktifnya. [] RedJS

‘Ejakulasi Dini’ Menyimpulkan

Sebuah percakapan di internet mengomentari tentang sebuah artikel tulisan bunyinya begini :

X : Profesor yang menulis artikel di atas saya cari tidak ada. Wah, artikel ngarang ini pasti.
Y : Anda tidak menemukan profesor itu? Wah, berarti pencarian anda masih terbatas. Jangan terburu-buru menyimpulkan ‘ngarang’.

Tanpa sadar kita sering ejakulasi dini dalam menyimpulkan segala sesuatu. Padahal penelusuran kita masih terbatas. Budaya riset memang saat ini seperti kabur dari bagian dari keseharian. Yang berkembang justru budaya vonis : ini pasti benar, itu pasti salah. Padahal kebenaran tidak selalu berbentuk sebuah bundle paket siap saji yang tinggal kita lahap. Seringkali kebenaran adalah racikan bahan-bahan informasi yang harus kita ‘rajang-rajang’, kita ulek, kita adon, kita goreng, kita tiriskan, baru bisa dilahap sebagai sebuah kebenaran.

Misalnya, bagi orang yang anti informasi dari internet. “Informasi dari internet itu tidak bisa dipakai, karena tidak teruji kebenarannya!”, begitu kira-kira. Mari kita cermati ada dua komponen dalam kalimat tersebut.
1. Informasi dari internet tidak bisa dipakai
2. Informasi dari internet tidak teruji kebenarannya.

Karena tidak teruji kebenarannya maka informasi dari internet tidak bisa dipakai. Maka akan berlaku, kalau ada yang menguji kebenarannya, maka informasi dari internet dapat dipakai. Betul begitu bukan?

Maka sikap antipati terhadap informasi yang ada di internet adalah sebuah bentuk ‘amputasi’ yang memangkas potensi sumber-sumber kebenaran yang mungkin akan bisa kita ulek, goreng dan sajikan nantinya. Informasi dari internet dapat difungsikan sebagai pemantik sumber kebenaran, sebagai hipotesis untuk memulai pengujian dalam rangka menelusuri sebuah kebenaran.

Orang yang memiliki budaya riset, jiwa Iqra, semangat niteni, tidak akan mudah menghakimi sesuatu pasti benar dan pasti salah, pasti berguna dan pasti tidak berguna. Tapi akan memiliki keberanian untuk menerima sesuatu yang belum tentu benar, untuk diteliti lebih lanjut begitu pula sesuatu yang belum tentu salah untuk diteliti lebih lanjut.

Kepercayaan diri kita menempatkan diri pada posisi sebagai subyek peniliti kebenaran, membuat kita tidak mudah disuapi oleh dogma-dogma yang terlihat seperti benar, tapi sebetulnya menyimpang. [] Rizky Dwi Rahmawan

:: Rizky Dwi Rahmawan | @Rizky165 ::