Reportase: BAKAT KAYA RAYA

Ramadhan yang tinggal sekian hari, menambah semangat penggiat dalam menyelenggarakan forum Maiyah rutinan Juguran Syafaat. Meski diluar Pendopo Ex Kotatip Purwokerto ramai masyarakat berbondong-bondong menyambut lebaran dengan berbelanja di beberapa pusat perbelanjaan, masyarakat Juguran Syafaat menikmati akhir ramadhan dengan saling bersilaturahim dan gendu-gendu rasa di forum ini. Dan ini adalah penyelenggaraan ke 28 kalinya Juguran Syafaat sejak awal digelar.

Sebelum masuk ke acara, beberapa musik dan sholawat disuguhkan oleh Ki Ageng Juguran sebagai pengantar. Kukuh mengawali diskusi dengan memandu sedulur yang hadir membaca Al Quran surat Muhammad dengan tartil terpimpin. Usai tadarus, Ujang dan Ki Ageng Juguran mempersembahkan Suluk Simtuduror dilanjutkan dengan Wirid Padhang Bulan bersama-sama.-

Cermin Monopoli

Kusworo mengurai sedikit tentang poster Juguran Syafaat edisi Juli kali ini yang bertema monopoli. Kusworo bercerita tentang sejarah monopoli dan bagaimana monopoli direkomendasikan untuk orang yang ingin belajar aset kekayaan oleh ilmu barat. Dalam monopoli sendiri yang menarik bahwa kita tidak bisa menentukan berapa langkah bidak kita maju kedepan karena itu tergantung mutlak oleh dadu yang bergulir. Dan inilah yang disebut takdir Tuhan. Yang bisa kita lakukan adalah berstrategi menghadapi permainan. Jadi dalam monopoli kita bisa tarik refleksinya dalam kehidupan kita sehari-hari.

“Jangan-jangan hidup ini hanya mainan monopoli. Kita sendiri larut sampai bertengkar, berebutan ini itu. Padahal semuanya hanya permainan belaka. Uangnya mainan, kepemilikannya mainan.”, tambah Kusworo.

Kukuh menambahkan bahwa ketika kita larut pada permainan monopoli, maka nasib kita dalam permainan menjadi melekat kedalam hati. Tetapi jika kita bisa naik dimensi, berfikir bahwa ini hanyalah permainan, maka kita bisa lebih bertahan dalam menghadapi kesulitan hidup.

“Tanpa menyinggung SARA, dalam kesadaran kita, terbangun bahwa etnis China itu harus kaya, dan kalaupun orang Jawa miskin itu biasa. Ketika kita melihat orang China hidup miskin, kita merasa kasihan luar biasa. Tetapi melihat orang Jawa miskin, kita biasa saja. Ada yang salah dengan paradigma kita.”, tambah Kukuh.

Sebuah persembahan menarik dari Ki Ageng Juguran dengan nomor “Neng Ndunyo Piro Suwene – Change”.

Titut Edi menceritakan kisah hidupnya yang penuh dengan lika-liku pengalaman, diantaranya tentang kebangkrutan usahanya sampai bisa bangkit sekarang ini. Sebagai penghangat suasana, seperti biasa Titut Edi menyumbangkan beberapa nomor lagu karyanya sendiri. Ki Ageng Juguran menyambung dengan nomor “Untuk Simbah Guru” dan “Senandung Desa”.

Relevansi Doa

Agus Sukoco mengurai tentang relevansi dalam kita berdoa. Disatu sisi Tuhan menyarankan kita untuk berdoa, namun disisi lain Tuhan juga berkali-kali mengatakan “nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. Ini antara diperintah meminta tapi juga harus pekewuh kepada Tuhan.

“Ketika kita diturunkan ke bumi, itu adalah sebuah penugasan dalam membangun peradaban alam semesta ini. Titik tengahnya adalah ketepatan dalam meminta sesuatu kepada Tuhan yang relevan dengan tugas kita di bumi, bukan semata-mata keluhan kita kepada Tuhan.”, sambung Agus.

Analoginya seperti ketika kita ditugasi membuat kandang ayam oleh majikan kita, kemudian kita mengerjakannya dan kurang bahan paku. Maka kita minta ke majikan boleh, karena terkait dengan pekerjaan yang dia suruh. Kalau memohon salah, seperti meminta jus jeruk. Tidak hubungannya antara kandang ayam dengan jus jeruk. Kalau jus jeruk tidak usah kita minta, sebagai majikan yang baik nantinya pasti akan memberikan jus itu sebagai tanda kasih sayangnya.

“Dalam hidup kita, kita perlebar skalanya. Peristiwa kita minta paku, bambu dalam konteks kandang ayam, atau minta jus yang tidak ada hubungannya dengan kandang ayam. Kita sering berdoa hanya subyektivitas kepentingan kita.”, tambah Agus.

“Ketika Tuhan tidak mengabulkan doa kita, disitulah kita musti membuka lipatan-lipatan dimensi rahasia Tuhan. Athoilah pernah mengatakan, Tuhan memberi dengan cara mengambil dan Tuhan mengambil dengan cara memberi. Disinilah diperlukan ketajaman makrifat untuk mengetahui yang substansi.”, sambung Agus.

Agung Totman, sedulur asal Purwokerto, menyumbang lagu kreatifnya berbasa Jawa Banyumasan berjudul “Waru Abang”.

Fikry menambah khasanah tentang konsep pahala yang sebenarnya hanyalah seperti iming-iming kepada anak-anak. Orang-orang mau beribadah itu seperti anak kecil yang diiming-imingi mainan ketika mau mandi. Padahal mandi itu baik untuk anak tersebut, tapi karena kebelumdewasaannya anak itu tidak mengerti maksuddari orang tuanya. Sama seperti kita dalam beragama sekarang ini.

“Agama adalah tool yang diberikan oleh Tuhan, yang digunakan manusia untuk bisa kembali lagi kepadaNya. Tool ini sudah sangat user friendly, bisa digunakan oleh orang yang professional hingga yang pemula.”, tambah Fikry.

Sesi Tanya Jawab

Tita dan Ki Ageng Juguran menambah gayeng suasana dengan nomor lagu “Apa Ada Angin Di Jakarta”. Feri dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, sharing bahwa forum seperti Maiyah ini adalah oase atas kehausannya dari pertanyaan-pertanyaan hidupnya. Dalam forum ini, semua jawaban nampak realistis, tidak seperti pengajian pada umumnya. Feri yang sempat agnostik, banyak memperrtanyakan tentang takdir, Tuhan dan agama memancing banyak respon dari sedulur yang hadir.

“Industri menyeret orang untuk melampiaskan segala sesuatu, sedangkan agama adalah thoriqoh untuk kendali mengerti batas. Sedangkan agama sekarang diperkenalkan melalui media industri. Sangat wajar kalau kita merasa gelisah, dan forum-forum seperti ini menjadi oase bersama dimana sudah tidak ada lagi sumber informasi yang sehat. Tidak ada lagi jawaban-jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar dalam hidup kita.”, ungkap Kusworo.

Titut Edi menambahkan cerita pengalaman hidupnya dalam pencarian Tuhan yang hampir mirip seperti Feri tadi. Endro dari Ki Ageng Juguran menyanyikan satu nomor berjudul “” yang bercerita tentang pencarian ketuhanan sebagai respon atas pertanyaan Feri tadi.

Rahmad Saleh dari Purwokerto, merespon bahwa kaya itu adalah kaya batin alias kecukupan. Siapapunbisa menjadi kaya, jika semua kebutuhannya tercukupi, dan pasti akan tercukupi karena Tuhan Maha Mencukupi. Kita boleh kaya secara materi tapi yang terpenting adalah pendistribusian kekayaan. Menurut Yasin dari Majenang, ukuran kekayaan adalah ketika bisa membahagiakan orang lain.

Anggit dari Cilacap, ikut menanyakan tentang intervensi Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari. Agus Sukoco menyambung dengan analogi permainan petak umpet. Dimana Tuhan itu seperti orang yang sedang bermain petak umpet. Dia berusaha bersembunyi, namun tidak mungkin jauh-jauh persembunyiannya. Karena kalau terlalu jauh, permainan menjadi tidak asyik lagi. Sedangkan tugas manusia adalah seperti yang sedang jaga, yaitu mencari Tuhan dalam setiap persembunyiaannya. Ini adalah romantisme hubungan kita dengan Tuhan.

Ki Ageng Juguran menutup kebersamaan dengan satu nomor “Hasbunallah”. Jam 02.00 menjelang sahur Juguran Syafaat ditutup bersamaan dengan salam-salaman seluruh sedulur yang hadir. [] RedJS