PREPEGAN

Manusia membutuhkan jeda dalam rutinitas-nya. Ia yang bekerja dalam rutinitas tanpa menyelakan jeda, ibarat gadget yang dinyalakan non-stop. Bayangkan kalau manusia tidak pernah mengambil “moment of reset”, dirinya dibuat tenggelam dalam rutinitas. Tanpa sadar, tahu-tahu sudah menua.

Momentum mudik bisa kita jadikan sebagai “moment of reset”. Untuk mengingat seberapa panjang sudah waktu kita di rantau, tinggal dihitung saja sudah berapa kali kita pergi balik untuk mudik.

Satu hal bahwa mudik itu bid’ah. Karena jangankan mudik, bersalam-salaman usai shalat Ied saja orang masih terus-menerus memperdebatkannya dari tahun ke tahun. Mudik jelas tidak ada tuntunan-nya di era Nabi SAW.

Hanya saja mudik tidaklah benar-benar bid’ah, karena mudik itu merupakan perkara duniawi. Perkara duniawi tidak ada yang tergolong bid’ah, sama seperti mobil, motor, mikrofon dan juga bedhug.

Akan tetapi, betulkah pada peristiwa mudik di dalamnya hanya terkandung peristiwa duniawi? Memang, tayangan televisi seputar mudik lekat dengan informasi-informasi dalam ruang lingkup materialistik belaka.

Info seputar mudik itu memuat daftar titik rawan macet, lalu jalur-jalur alternatif. Juga informasi seputar tempat belanja dan tempat rekreasi di kampung.

Mudik adalah peristiwa yang fantastis. Ratusan titik rawan macet diaspal ulang atau setidaknya ditambal sejak jauh-jauh hari. Tahun 2017 ini pemerintah menyiapkan layanan mudik setidaknya untuk 19 juta pergerakan orang. Jalan-jalan baru yang sedang dibangun dikebut, demi mengakomodir tiga juta kendaraan yang akan melintas. Tempat perbelanjaan menyetok berkali-kali lipat barang dagangan. Mudik menjadi ciri khas ber-Idul Fitri ala Indonesia.

Kalau kita renungkan, darimana peristiwa sangat fantastis bernama mudik itu bersabab-musabab? Ternyata mudik digerakkan pada awalnya bukan oleh peristiwa duniawi, melainkan oleh peristiwa yang sangat ukhrowi.

Yakni keinginan kembali ke kampung halaman sebab dorongan untuk sungkem kepada orang tua. Juga keinginan untuk melenakan padatnya jadwal-jadwal dan target-target pekerjaan demi sebuah nilai kebersamaan.

Kalau demikian, maka betapa sangat ukhrowi mudik digerakkan. Sungkeman dan berkumpul bersama keluarga bukan hanya berpahala ukhrowi, tetapi juga sungguh sesuatu yang melembutkan hati.

Selama tradisi mudik masih terpelihara dan orang-orang masih mau membayar mahal nilai-nilai dibaliknya maka kita patut bersyukur atas keadaan tersebut.

Sementara di belahan bumi yang berbeda, di negeri yang sudah terjangkit individualistik akut, mereka tidak tergerak untuk memiliki tradisi semacam mudik. sebab tak ada nilai-nilai yang menjadi pendorongnya.

Bahwa pada musim mudik toko-toko semua “prepregan”, perputaran uang diseantero negeri tak ada yang lebih besar dari semasa musim mudik, semua itu hanya efek belaka. Karena justru sesungguhnya pada musim mudik adalah musim dimana orang membebaskan diri dari naluri transaksional-nya.

Waktu yang biasanya begitu mahal, kini menjadi murah sehingga tersempatkan bertemu sanak saudara. Target capaian pekerjaan dilupakan, diganti angpao-angpao THR wujud perhatian kepada sanak saudara.

Maka kita saksikan betapa materi hanya merupakan kendaraan untuk mengekspresikan nilai-nilai ruhani. Di musim mudik orang-orang habis-habisan membelanjakan materi, demi mengejawantahkan nilai sungkem dan kebersamaan dengan keluarga.

Kalau sudah larut menikmati mudik. Menjadi tidak penting lagi memperdebatkan mudik itu peristiwa duniawi atau ukhrowi. Menjadi abai sudah kita terhadap pertanyaan mudik itu bid’ah atau bukan. [] Rizky Dwi Rahmawan