Mbah-mbah kita , gairah membacanya sangat kuat, semangat untuk menangkap petunjuk Tuhan begitu tinggi. Bukti semangat itu terlihat dari begitu kayanya jenis bahasa alam yang sudah diwariskan dan di-baku-kan dalam kebudayaan kita. Kebudayaan kita memiliki kamus bahasa alam yang unik dan menarik. Sekedar suara burung, bunyi tokek atau kupu-kupu yang kebetulan masuk ke dalam rumah saja, dibaca sebagai pesan atau kabar alam kepada manusia. Ilmu pengetahuan modern masih memiliki ‘hutang’ untuk membuktikan bahwa fenomena semacam itu bukan klenik. Bukankah agama juga telah menginformasikan secara gamblang tentang jenis ayat di luar teks yang disediakan Tuhan untuk dibaca, yaitu ayat kauniyah.
Orang -orang tua kita mungkin buta huruf terhadap teks, tetapi sensitifitas batin mereka untuk meraba pesan alam adalah juga sebuah potensi yang tidak bisa kita remehkan. Begitu detail leluhur kita dalam membaca pertanda-pertanda alam. Sayang sekali kita lebih memilih untuk takabur dengan menganggap warisan ilmu semacam itu hanya sebagai ‘sampah’ keimanan dan tinja bagi akal sehat.
Tradisi pencari kebenaran adalah berjuang untuk selalu berbaik sangka dan memperlakukan apa saja sebagai bahan riset. Saya masih optimis bahwa seluruh nilai dan sejarah keilmuan leluhur kita adalah jawaban atas segala kebingungan yang sedang menggelapi peradaban kita hari ini.
Sikap buru-buru menyangka fenomena keilmuan leluhur sebagai faktor destruksi iman adalah sumbatan yang mengancam perjalanan pengenalan diri sebuah bangsa. Dan jika sebuah bangsa gagal mengenali diri sejarahnya, maka seluruh keputusan budayanya hanyalah angan-angan dan spekulasi yang kehilangan ketepatan orientasi. [] Agus Sukoco