Andeng-andeng dan Nyemol Bokong

Setelah sekian lama hutang janji pada diriku sendiri, akhirnya kesampain juga bisa datang ‘pulang’ ke Purwokerto. Seingatku ini ketiga kalinya datang ke Juguran Syafaat dan agar bisa membuat jarak dan sudut pandang yang tepat, kali ini aku memilih untuk menikmati jemputan penggiat Juguran dengan harapan esok paginya bisa ikut Agenda penggiat yang merencakan berkunjung ke Rumah mas Agus Sukoco yang disebut mereka sebagai ‘Dapurnya’ Juguran Syafaat. Seperti uraian mas Agus Sukoco pada Juguran tentang Andeng-Andeng pada wajah gadis cantik. Andeng-andeng tersebut di tempatkan Allah pada posisi yang benar-benar tepat / presisi akan menambah sempurna kecantikan wajah gadis tersebut. Kepada Juguran saya juga tidak ingin terjebak hanya melihat titik hitam Andeng-andeng. Meski saya juga tidak mau hanya terkagum melihat dari jauh kemolekan tubuh indah Juguran Syafaat. Maka saya datang sebagai tamu ‘kurang ajar’ yang ikut blusukan hingga dapur Juguran Syafaat. Saya tidak ingin hanya menjadi tamu yang ndlongop di depan pagar, atau hanya duduk di ruang tamu menyantap sedapnya sajian.

Di awal kedatangan saya ‘sedikit tersinggung’ karena diberlakukan bak tamu besar yang disambut dengan segala ‘kemewahan’. Dijemput di Stasiun Purwokerto dengan mobil kinyis masih ditambah lagi dijamu, makan di Restoran mahal. Ini semua membuat saya merasa ‘agak batal’ datang dengan keinginan ‘sedikit dianggap saudara’. Beruntung perasaan saya agak tertolong karena datang ke Purwokerto nunut bareng kang Harianto (kang har) sebagai Izim Maiyah dan Adib wakil dari Nahdatul Muhamadiyin. Memang itu juga hanya kebetulan setelah malam sebelumnya saya nunut Jamil (jamaah MS) dari Surabaya ke Yogya. Siang berikutnya saya pas diperjumpakan satu kereta dengan Kang Har dan Adib dari Yogyakarta ke Purwokerto. Mereka berdua memang tokoh besar yang harus dihormati bagi Sejarah perkembangan Maiyah kedepan. Meskipun saya tetap kawatir akan hanya menjadi noktah hitam andeng-andeng yang menutupi pendaran cahaya mereka.

Dari Restoran Alas Daun, saya dan Kang Har se-frekwensi untuk memaksa teman-teman penggiat langsung membawa ke lokasi Acara. Meskipun sebenarnya Anggi dan Hilmi selaku Cucuk Lampah tuan rumah berencana membawa kami Transit di ‘Markas Besar Juguran L22’. Bagi saya dan Kang Har Charger paling utama adalah kehangatan silaturahmi dulur-dulur Maiyah.

On Stage

Di bangbangwetan saya jarang sekali atau hampir tidak pernah bisa menemani Komandan Dudung, Ahid, Veri, Kamal maupun Amin yang semenjak H-1 berada di Stage (Balai Pemuda) untuk sekedar mengurus Perijinan ataupun mengawasi para pekerja memasang Tenda, panggung hingga setting sound system. Di Juguran alhamdulillah saya sedikit bisa menyaksikan bagaimana repotnya para penggiat menyiapkan sound system dan dibagian lain hidangan mendoan, gorengan serta tak ketinggalan kopi hitam dan teh manis. Benar-benar Allah Maha Kaya, bagaimana sedulur-sedulur penggiat Juguran bisa memberi Cawisan hidangan kepada setiap jamaah yang datang. Bukan saja keluasan khasanah keilmuwan yang disuguhkan tapi juga kekayaan materi berupa ‘Badogan’ yang melimpah.

Jamaah mulai berdatangan, duduk melingkar diatas alas karpet yang disediakan. Meski tidak sedikit yang memilih nDhelik – ngumpet malu – rendah hati dibelakang. Duduk di atas ubin dingin tanpa alas karpet diambil sebagai konsekuensi topo nDhelik mereka. Kang Har didaulat oleh Rizki dan Kusworo sebagai moderator untuk bersama Mas Agus dan pak Titut Edi sebagai pembicara. Saya merasa tidak cukup ilmu untuk berada di depan maka saya memilih duduk melingkar bersama jamaah yang lain. Sementara Adib dengan rendah hati ikut menemani, duduk disamping saya.

Rapatnya Shof Diskusi

Cak Nun pernah bilang pada sebuah diskusi kecil pasca Acara Maiyahan “Sakjane Maiyahan iku yo ngene iki rek, mubeng cilik ngene trus omong-omongan saur manuk. Gak Gedhe nang panggung trus sing ngomong mek wong sithok”. Di Juguran Syafaat anda akan menemukan peristiwa itu, yang di tempat lain mungkin jarang atau hampir tidak bisa anda temui. Diskusi berjalan dengan Apik, ilmu hampir tersebar dengan merata. Kemampuan bicara dan pemahaman yang hampir setara sehingga Saur Manuk terjadi. Meski Mas Agus, Kang Har, Pak Titut bukan pembicara yang buruk. Mereka pembicara yang sangat bagus, tapi kemampuan jamaah lainnya tidak tertutupi oleh kepandaian pembicara. Ibarat lomba Marathon Stamina peserta Marathon di Juguran ini hampir setara. Walaupun Pak Agus, Pak Titut, Kang Har, Rizki ataupun Kusworo kadang melejit didepan, Jamaah tidak jauh tertinggal dibelakang mereka. Saya yang benar-benar harus ngos-ngosan ngejar mereka semua.

Saya tidak sedang ingin membicarakan materi apa yang dibicarakan di Juguran Syafaat malam itu. Entoh sebodoh saya, mana mungkin bisa menangkap keluasan dan kedalaman diskusi Juguran Syafaat malam itu. Saya hanya sedang ‘tergila-gila’ akan hangatnya Silaturahmi, hati saya meluap-luap cintanya karena menyaksikan peristiwa yang hanya bisa terjadi di Juguran Syafaat itu.

Meski saya juga benar-benar takut salah tempat hubungan seperti yang dialogikan oleh mas Agus “hubungan Tuhan dengan manusia tidak boleh salah tempat. Contoh; Hubungan saya dengan istri saya tidak boleh salah tempat dengan adik ipar perempuan saya. Jangan sampai saya memegang pantat ipar saya. Bisa-bisa saya dituduh mesum, atau minimal ditampar. Tapi itu sah-sah saja ketika saya lakukan kepada istri saya. Bahkan memegang pantat istri adalah bentuk kemesraan. Apabila saya nyemol pantat Istri saya di Dapur atau di dalam kamar, bukankah itu bentuk kemesraan ?. Lain halnya bila itu saya lakukan kepada Ipar saya”.

Kepada Juguran saya juga benar-benar terus berusaha menjaga hubungan. Jangan sampai saya gagal memetakan mana bokong mana kepala, mana dada – mana mata. Ketika bergenit ria harusnya saya nyemol bokong. Yang saya sangka bokong ternyata Kepala. Ketika saya harus beradu pandang antar mata ternyata yang sedang saya pelototi adalah dada. Bisa hancur semua……….

Dari Markas L22 hingga Dapur Sokawera

Acara Juguran Syafaat selesai sekitar pukul 02.00. Pkl. 01.55 menurut catatan Hilmi. Saya sendiri tidak cukup ingatan untuk mengingat-ingatnya, karena waktu hari itu begitu luasnya bagi saya. Setelah cangkruk / jugur sebentar pasca acara dengan beberapa penggiat tiba saatnya untuk kami kembali ke tempat masing-masing. Saya, kang har dan teman penggiat lain kembali ke markas Juguran Syafaat alias kontrakan Rizky Dwi di Griya satria II nomer L22. Teman-teman Juguran sering menyebut markas L22. Ternyata masih belum selesai peloncoan yang harus kami terima sebagai tamu. Sebegitu banyak penggiat Juguran yang harusnya / biasanya tidur di L22. Terusir oleh kami bertiga (Aku, kang Har dan Adib). Mereka memilih ngruntel entah dimana, dugaan saya dirumah Fikri yang pasti tidak muat untuk menampung mereka semua. Mungkin mereka akan tidur dengan mlungker atau malah cuman tidur sambil duduk. Sementara kami bertiga tidur dengan nyenyaknya ditempat yang luas dengan alas karpet empuk. Itupun masih ditawari kenikmatan lain oleh Anggi sebelum meninggalkan kami “Mas silahkan tidur dikamar aja” sambil menunjukkan 2 kamar dengan kasur empuk didalamnya. Dalam hati saya menjawab “Ngenyek kon iku Nggi, kok pikir kenikmatan iku turu nang nduwure kasur empuk, kenikmatan itu ngacor ngalor ngidul sampek pegel terus keturon”.

Lelap kami tertidur hingga waktu setengah siang. Terbangun dengan aroma mendoan dan kupat serta hangat kopi tersaji. Teman-teman penggiat sudah berkumpul disekeliling kami. Tempat yang tadinya luas menjadi terasa sempit. Kembali saya tidak kuat membayangkan bagaimana mereka semalam tidur. Melihat dari kantung mata mereka saya curiga mereka belum pada tidur. Tapi memperhatikan stamina yang begitu segar, mereka punya cukup cadangan istirahat hingga 200 hari kedepan. Setelah perut benar-benar kenyang dan kesadaran benar-benar kembali atas kopi hitam dan beberapa batang rokok. Kamipun siap berangkat ke Sokawera – Dapur Juguran (Rumah mas Agus). Beruntung saya dan Adib sempat mandi, tidak seperti kang Har yang memilih bersahaja dengan tidak mandi pagi itu. Tiga mobil berangkat dari L22 dan entah berapa motor juga yang menyertai. Ramainya seperti rombongan penghantar pengantin. Saya dan Adib pengantinya sementara Kang Har yang belum mandi adalah pendampingnya. Hehehe………..

Singkat cerita kami tiba di rumah mas Agus. Dua rumah berjajar dengan halaman luas. Catnya merah muda (pink), warna mesra seperti penghuninya. Masih di halaman depan sudah membuat terpana. Belum lagi begitu memasuki pendapa belakang rumah yang cukup luas untuk menampung 50 – 100 orang. Disitu mas agus setiap hari beraktifitas menemui tamu serta menemani teman-teman maiyah di pubalingga area. Pagi itu sudah ada 4 orang lebih berada di sana. Suguhan sudah tersuguh ketika pantat kami belum menyelesaikan duduknya. Mas agus dan teman-teman Purbalingga lain begitu segar dan hangat menyambut kami. Kembali ilmu berpendar dengan riang. Tawa terpingkal kembali mewarnai setiap diskusi padat pagi hingga sore hari.

Mas Agus bercerita tentang bagaimana teman-teman Maiyah Purbalingga melakukan dekonstruksi sikap serta mental. Hal yang bagi orang lain membanggakan. Bisa jadi menjadi sesuatu hal yang memalukan bagi teman-teman maiyah Purbalingga. Kenikmatan adalah sesuatu yang memalukan bagi mereka. Mas Agus mencontohkan; pernah suatu hari Mas Agus makan sate di pinggir jalan. Sedang enaknya menikmati sate, salah seorang teman maiyah purbalingga yang kebetulan berprofesi sopir bemo (Angkutan Kota) mengetahui. Padahal sedang mengendarai bemo cari penumpang. Begitu melewati mas Agus, sekilas tahu kalau Agus sedang makan sate. Ia segera menghentikan bemonya untuk mundur kembali sekedar menyapa mas Agus “Lagi nyate apa kang”. “Iya kiye, wong anu ditraktir kancane” mas Aguspun menjawab ‘ngarang’ sekenanya. Makan sate bagi banyak orang adalah sebuah kenikmatan. Tapi itu menjadi bahan olokan di Maiyah Purbalingga. Sesuatu yang nikmat adalah hal yang tabu bila diketahui oleh temannya. “Bayangkan Iseng banget lagi nyupir colt kota nguber setoran, ndadak ngerem trus mundur mung kepengin ngisin-ngisina inyong” ulas mas Agus kemudian. Contoh lainnya mas Agus memaparkan “aja ngasi nek di telpon kancane trus lagi turu. Biasane bocahan nek pas turu trus di telpon ngakune ora turu ora. Kiye lagi bar ngopi” seloroh Mas Agus kemudian

Dekonstruksi itu sepertinya sepenuhnya berhasil. Seperti hari itu, saya sudah beberapa kali ganti posisi dari duduk ke tiduran. Dari sila ke selonjor atau dari besandar ke pura-pura kuat lagi, duduk sempurna ala semedi. Mereka para tuan rumah nampaknya juga pura-pura tidak bosen cerita ngalor-ngidul demi menghormati tamu. (itu hanya prasangka jelek saya yang terlatih dari teman-teman BBW) Kuputuskan untuk njawil kang Har meminta pamit diri. Beruntung kang Har sungguh penurut. Akhirnya kamipun selamat dari ‘kemunafikan’ (pura-pura kuat). Kami diperbolehkan pulang entah dengan iklas atau ngempet ingin ngusir nggak berani.[] Agung Tri Laksono

Karah – Surabaya. 25 September 2014
Catatan perjalanan ke Juguran Syafaat, ditulis oleh Agung Tri L.