Nasionalisme Sabdo Palon Noyogenggong Part 2 (Habis)

Kehancuran Majapahit telah membuat Bangsa Nusantara terguncang jiwanya, ambruk mentalnya dan kacau kesadaran akal sehatnya. Prestasi sejarah yang membanggakan itu luluh lantak oleh ‘takdir sejarah’ yang tragis. Bangsa Nusantara tenggelam dalam lautan kekecewaan yang amat dalam. Dalam kondisi ‘kronis’ mental, Bangsa Nusantara tidak sanggup menerima Islam dengan kecerdasan optimal sebagaimana ketika dahulu mereka  kedatangan Hindu-Budha. Bangsa Nusantara melayang-layang di angkasa kebingungan atas dirinya sendiri. Terputus tali ikatan kebangsaannya. Tidak sanggup lagi menjadi subyek yang tegak karena kehilangan identifikasi diri dan parameter budayanya. Segala yang datang akan dilahab mentah-mentah atau ditolak secara membabi buta. Bangsa yang tidak lagi memiliki gigi intelektual dan ketajaman spiritual sehingga gagal mengunyah setiap yang datang dalam hidupnya.

Hari ini kita terpenggal sejarah kebangsaannya. Seolah-olah Bangsa kita adalah bangsa yang lahir tahun 1945. Padahal sebagai bangsa, kita telah berabad-abad usianya. Bangsa Nusantara pernah melahirkan anak bernama Mataram Kuno, pernah melahirkan Sriwijaya, pernah melahirkan Singasari, pernah melahirkan Majapahit, Demak,Pajang ,Mataram Islam, dan terakhir melahirkan anak bernama NKRI tahun 1945 M. Keterpenggalan sejarah kebangsaan itu bahkan telah membuat kita tidak pernah mempertanyakan siapa sesungguhnya bangsa yang pernah berulang-ulang melahirkan peradaban besar itu. Karena kita merasa sudah mendapat jawaban, yaitu bahwa kita adalah bangsa yang lahir tahun 1945. Padahal 1945 hanyalah anak terakhir yang  dilahirkan ketika kita sebagai sebuah bangsa masih belum sembuh benar dari frustasi sejak lima abad silam.

Lebih parah lagi, semangat keislaman kita dalam berbangsa justru menganggap era pra Islam adalah peradaban kafir. Seluruh prestasi besar Bangsa Nusantara dimasa lampau seperti ‘haram’ untuk diakui sebagai kebanggaan. Akhirnya kita enggan belajar kepada leluhur tentang bagaimana membangun keutuhan sebagai sebuah bangsa. Dengan semangat ‘jihad’, secara sadis kita menterdakwakan leluhur sendiri dengan  pasal-pasal tuduhan musyrik, dan atas nama modernitas kita melempari wajah leluhur dengan sampah tuduhan primitif.

Dari mana sumber inspirasi yang diperoleh oleh Bangsa Nusantara  pada masa pra Islam jika bukan dari Tuhan. Adakah asal-usul gagasan nilai-nilai kebenaran dan  ilmu ketercerahan bagi manusia dan sebuah bangsa yang telah membuktikan karya–karya besar selain dari Tuhan. Apakah seluruh prestasi kesejahteraan yang dicapai oleh Mataram kuno, Sriwijaya, Singasari, Majapait bukan merupakan implementasi ilmu Tuhan yang dititipkan kepada manusia nusantara. Kecuali kita sepakat untuk berpikir atheis, yaitu menuduh Tuhan tidak terlibat di dalam proses sejarah manusia.  Atau kita diam-diam masih polytheis, menganggap ada banyak Tuhan, sehingga sebelum Islam datang  secara formal di era Hindu-Budha yang berperan adalah bukan Tuhan yang hari ini kita yakini sebagai Tuhan.

Bangsa Nusantara telah dipandu oleh Tuhan dalam menjalani kerja keras kebudayaannya  sejak jauh sebelum berkenalan dengan Islam secara formal. Islam kala itu masih hadir dalam bentuk nilai-nilai yang diwadahi oleh formalisme Hindu-Budha. Tetapi justru ternyata Bangsa Nusantara lebih bisa menjalani prinsip-prinsip ke-islaman ketika masih menggunakan syariat dan formalisme Hindu-Budha, faktanya mereka mampu mewujudkan prestasi sejarah yang hari ini kita belum sanggup mencapainya.

Islam mencoba didatangkan lengkap dengan seluruh baju formalnya  pada momentum ‘sirna ilang kertaning bumi’ untuk mengawal dan melanjutkan seluruh proses sebelumnya.  Tetapi karena kondisi psikologi Bangsa Nusantara yang sedang frustasi akibat dampak kehancuran Majapahit  membuat lapangan sejarah menjadi sedemikian rawan. Orang saling curiga satu sama lain. Bangsa besar yang sebelumnya begitu adaptif dan akomodatif  serta memiliki kecerdasan dalam menyikapi segala sesuatu, menjadi inferior dan mengalami degradasi mental sehingga gagal bersikap obyektif, termasuk dalam memandang dan memperlakukan  Islam.

Situasi ini tergambar melalui pernyataan spiritual yang diyakini sebagai pamomong atau pendamping Raja Bawijaya V yaitu Sapdo Palon Nayagenggong, bahwa Jawa –Islam akan menyatu 500 tahun yang akan datang, dihitung sejak keruntuhan Majapahit. Yang kemudian pernyataan itu dipolitisir dan dimanipulir  menjadi semacam sikap ketidak- relaan orang jawa atas kedatangan Islam. Padahal pernyataan itu jika kita cermati secara seksama merupakan semacam pesan kepada anak cucu untuk terus menerus berjuang mendidik bangsa agar bangkit dari keterpurukan setelah kehancuran Majapahit. Dan setidaknya butuh waktu 500 tahun.

Kondisi ini diperparah dengan datangnya penjajah yang memanfaatkan kondisi frustasi bangsa kita. Keminderan mental dan inferioritas kultural Bangsa Nusantara dipelihara, disatu sisi Islam direduksi menjadi benda padat yang gampang dibenturkan dengan berbagai padatan lain, sementara disisi yang lain dibangun ukuran-ukuran baru bernama modernisasi dan globalisasi. Bangsa Nusantara makin tidak sanggup menggunakan Islam karena kehilangan presisi pandangannya terhadap Islam, padahal selama berabad-abad sukses mendayagunakan Hindu-Budha sebagai modal untuk mengolah hidup dan membangun peradaban.

Berbagai upaya dilakukan untuk men-setubuhkan  Bangsa Nusantara dengan Islam, sebagaimana dahulu mereka pernah se-nyawa ketika nilai –nilai langit itu masih berbaju Hindu-Budha. Salah satu langkah strategis penyatuan itu adalah berupa dekrit raja yang dikeluarkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di tahun 1633 m, 1555 saka, 1048 H, hari jumat manis, tanggal 8 juli, tahun baru Hijriah dan Saka disamakan. Sebuah keputusan Raja yang mencerminkan tekad yang kuat untuk mengikis sentimen dan membuang jarak antara Jawa dan Islam.

Tetapi dalam perjalanan sejarah, substansi pesan keputusan radikal Sultan Agung menyamakan kalender Jawa-Islam tersebut tidak dipahami oleh bangsa yang hari ini makin mengalami frustasi. Penyatuan kalender itu seperti sekedar persoalan tekhnis sistem perhitungan waktu. Terbukti belum ada kesanggupan untuk mencari formula penghikmahan atas perayaan-perayaan tahun baru yang telah berlangsung beratus-ratus kali ini. Bahkan masing-masing makin menegaskan sikap primitif primordialstiknya dengan menonjolkan identitas-identitas budaya dan ekspresi ritual yang dipertentangkan. Orang Jawa merasa sedang merayakan tahun baru jawanya melalui acara ‘suran’, sementara orang Islam mengekspresikan perayaan tahun baru hijriah sambil menolak dianggap merayakan ‘suran’ karena takut dianggap bid’ah dan musyrik.

Sekian kali upaya para leluhur untuk mempertemukan Jawa-Islam melalui strategi budaya belum berhasil berfungsi sebagai metode pendidikan yang  efektif untuk mengantar masyarakat menuju kedewasaan. Seandainya Majapahit waktu itu tidak runtuh, mungkin anak-cucu bangsa nusantara tidak sekerdil sekarang, Islam datang disambut dengan kecerdasan, sebagaimana kala itu mereka menyambut Hindu-Budha. Hanya bangsa yang frustasi yang cara menerima anugrah Tuhan bernama Islam ini sedemikian lucu, sebagian  terkurung oleh rasa sentimenilitas yang over romantik  sehingga memandang Islam sebagai sesuatu yang asing dan dianggap  potensi ancaman atas eksistensi Jawa, sebagian lagi menerima Islam dengan cara dangkal, eksklusif, dan penuh fanatisme ke-araban.

Sejak Jaman Nabi Adam, nilai Islam sudah dikenalkan sebagai panduan hidup dan pegangan sikap moral. Semua nabi mengajarkan nilai Islam, meskipun baru disebut Islam di era Nabi Muhammad SAW. Jika di era Nabi Muhammad SAW seluruh nilai kebenaran yang pernah diperjuangkan nabi-nabi sebelumnya kemudian dinamakan agama Islam, itu artinya periode Muhammad adalah periode penyusunan kesimpulan dan penghikmahan atas seluruh tahapan sejarah kehidupan yang berlangsung  sebelumnya, yang kemudian menghasilkan metode praktis yang sempurna bernama Islam.  Ajaran-ajaran nabi-nabi pra Muhammad belum disebut Islam karena masing-masing bersifat dan berlaku lokal regional, sementara Islam berlaku dan bersifat Rahmatan lil’alamin atau global universal. Islam disebut sempurna juga jangan disimpulkan bahwa ajaran nabi-nabi sebelumnya penuh cacat. Ajaran Nabi sebelum Muhammad  juga sempurna bagi panduan umat di waktu dan skala ruangnya.

Di setiap jengkal waktu, periode sejarah, dan rentang jaman, Tuhan tidak akan membiarkan manusia terkurung kegelapan, tersesat di keremangan, dan gulita ruang sejarahnya. Setiap kaum di segala ruang waktu sejarah selalu saja dihadirkan pemantul nilai Tuhan dari bangsa mereka sendiri. Pemantul nilai Tuhan itu bisa disebut Nabi, Begawan, Sesepuh, Wali, kyai atau terserah apapun sebutan dan predikat perannya sesuai dengan bahasa budaya masing-masing  kaum. Di era pra Islam, substansi nilai Tuhan diwadahi Baskom bernama Hindu-Budha, kemudian pasca Majapahit nilai Tuhan itu langsung diberi nama Islam.

‘Baskom’ baru bermerek Islam itu berisi ramuan hikmah dari seluruh ajaran-ajaran kebaikan dan kebenaran nilai Tuhan yang waktu sebelumnya hanya diperuntukan untuk berlaku lokal. Maka sejaya apapun Majapahit, tetap diberi batas waktu dan tepian ruang keberlangsungannya. Pasca Majapahit sesungguhnya merupakan kesempatan bagi Bangsa Nusantara untuk memulai membangun peradaban yang lebih besar karena diberi anugrah modal yang lebih mungkin untuk berlaku global universal yaitu Islam. Hanya satu syarat untuk bisa bangkit membangun kembali peradaban baru, yaitu sembuh dari frustasi yang sudah berlangsung lima abad ini, sehingga mampu menggunakan dan memperlakukan modal besar bernama Islam. Bangsa Nusantara adalah bangsa yang memiliki bakat untuk besar, terbukti ketika belum dianugrahi Islam saja sudah mampu membangun peradaban besar waktu itu.

Kalau dalam pernyataan spiritual Sabdo Palon terdapat kalimat, ‘Aku akan datang lima ratus tahun lagi, dan mengusir ajaran arab dari tanah jawa dan menggantikan dengan agama Budhi’. Statemen  Itu bukan dendam sejarah, ekspresi arogansi sikap primordial, eksklusivisme dan fanatisme rasis, tetapi semacam kalimat pembuka pintu pembelajaran, bahwa Islam sesungguhnya tidak datang dari Arab atau negeri manapun, Islam ada di dalam kalbu dan kandungan ruhani setiap manusia, yang orang Jawa menyebutnya sebagai Bhudi, dorongan keluhuran yang bersifat fitrah. Muhammad hanya mengelolanya menjadi metode sejarah, tharekat sosial yang berlaku universal sehingga bisa ditempuh oleh seluruh manusia di jagad raya. Islam era Muhammad termanifestasi menjadi sistem hidup yang sempurna. Bukan lagi sekedar berupa dorongan-dorongan spiritualitas, naluri kebaikan, insting keluhuran,dan  cahaya batin yang masih abstrak.

Islam sebagai metode yang menyediakan jalan pencarian diri yang efektif, sebuah cara praktis dan strategis untuk menata kehidupan, asalkan ia dipergunakan secara tepat untuk menggali  potensi otentik yang telah ada di setiap manusia dan juga bangsa. Bukan malah mengaburkan otentisitas kebudayaan sebuah bangsa dan memaksa untuk menjadi orang lain. Islam memuat Budhi, bukan kendaraan yang dipakai untuk mengangkut kebudayaan Arab.[] Agus Sukoco

Nasionalisme Sabdo Palon Noyogenggong

Bangsa kita pernah menjalani periode sejarah dengan konsep Hindu-Budha selama berabad-abad. Kedua agama itu menjadi sumur inspirasi, panduan nilai dan ruh kebudayaan bangsa kita hingga mencapai puncak prestasinya di era Majapahit. Bangsa Nusantara terbukti sukses  memperlakukan kedua agama tersebut sebagai ‘penuntun’ langkah kesejarahannya dalam mengelola tanah subur dan berbagai pontensialitas rahmat Tuhan di hamparan negeri khatulistiwa ini. Lahirnya kerajaan-kerajaan besar yang makmur dan sejahtera (gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta raharja) di Nusantara di era pra Islam adalah bukti bahwa bangsa kita memiliki kecerdasan dalam mendayagunakan modal nilai yang ditawarkan oleh konsep Hindu-Budha. Sebab modal sebesar dan sehebat apapun akan sia-sia jika subyek yang menggunakannya tidak memiliki potensialitas pribadi yang prima.

Bangsa Nusantara adalah bangsa yang adaptif dan akomodatif. Setiap agama yang datang diterima dengan sikap arif sebagai tambahan modal, ilmu dan inspirasi baru untuk mengerjakan sejarah. Di masa Brawijaya V,  diakhir kekuasaan Majapahit , Islam mendapat momentum untuk hadir sebagai jawaban baru atas berbagai persoalan yang dihadapi Bangsa Nusantara. Meskipun jauh sebelum itu, Islam sebagai agama sudah datang di tanah Nusantara di wilayah-wilayah moral dan arena sosial yang sepi dari kekuasan politik. Pada momentum tersebut negosiasi penyatuan Islam dan Jawa dimulai secara lebih komprehensif oleh Wali Sanga.

Bangunan peradaban dan struktur sosial budaya yang telah berabad-abad dikonstruksi  berdasarkan konsep wahyu Hindu-Budha mencoba disentuh dengan asupan nilai baru yaitu wahyu Islam. Perombakan itu berlangsung secara substantif, negosiatif dan  kultural melalui penyadaran spiritual, bukan gerakan kudeta yang konfrontatif. Berbagai ide-ide baru mencoba ditelorkan oleh Wali Sanga untuk megantar perubahan mendasar. Diantaranya adalah mendirikan kerajaan Demak.

Demak adalah manifestasi gagasan awal Wali Sanga dalam mengkonstruksi pondasi peradaban nusantara pasca Majapahit.  Jika melihat dari pengalaman masa silam, Bangsa Nusantara sempurna menggunakan Hindu-Budha sebagai sumber inspirasi gagasan-gagasan sejarahnya hingga berhasil melahirkan kebudayaan tinggi dan prestasi peradaban besar adalah  karena kedua agama tersebut sudah benar-benar menyatu dengan aliran darah dan urat syaraf kebudayaan Nusantara. Artinya sudah tidak ada konflik dan pertentangan antara Hindu-Budha dengan tradisi dan prinsip-prinsp teologis yang sedang ditempuh melalui laku spiritual lokal. Karena Bangsa Nusantara bukan Bangsa yang belum sama sekali menjalani pencarian spiritual sebelum kedatangan Hindu –Budha.

Bangsa Nusantara sudah menjalani proses panjang perjalanan sejarah spiritualitasnya  dengan metode dan formula ‘tharekat’ yang bertahap-tahap, sejak masih secara mandiri menggunakan daya intuisi pribadi dalam menempuh  pencarian hakekat sangkan-parannya sampai kemudian  kedatangan agama-agama samawi Hindu-Budha, dan Islam. Dengan Hindu-Budha, Bangsa Nusantara terkesan begitu mulus proses penerimaannya di awal-awal kedatangannya, sampai tidak menyisakan sedikitpun informasi sejarah pertentangan apa-apa. Tetapi terhadap Islam, seperti ada faktor yang menciptakan  jarak persaudaraan yang sangat lebar. Islam dibuat sedemikian asing dan mengancam. Islam seolah-olah hadir bukan sebagai kontiunisasi proses sebelumnya, tetapi digambarkan sebagai ‘hakim’ untuk menyalahkan realitas masa-lalu bangsa kita dalam menempuh tahab-tahab sejarah dan proes mengerjakan kebudayaannya.

Jaman pra Islam, sejarah Bangsa Nusantara tidak pernah diwarnai konflik agama, gesekan antar aliran spiritual, dis-harmoni sekte –sekte keyakinan, dan perbenturan mahdzab teologis. Seandainya ada pertengkaran sosial, itu bersumber dari persoalan-persoalan sehari-hari sebagai orang hidup yang berada pada lapisan-lapisan kepentingan sosial politik dan ekonomi. Konflik sosial tidak pernah berangkat dari masalah rebutan Tuhan dan Surga. Leluhur kita sangat mengerti hakekat agama sebagai jalan pribadi yang suci, sunyi dan lembut. Tuhan bukan benda padat yang berada di luar diri manusia sehingga bisa diklaim oleh kelompok aliran agama tertentu dalam menentukan bentuk dan warnanya. Tuhan berada di luar area pengetahuan dan identifikasi indrawi. Konflik agama dan perang antar keyakinan agama itu sesungguhnya tidak lebih cerdas dari pertengkaran anak balita yang berebut kelereng.

Bangsa Nusantara berada pada ‘maqom’ kecerdasan intelektual dan spiritual yang paripurna, sehingga agama yang ada pada saat itu berfungsi optimal dan kontributif terhadap kehidupan sosial, perkembangan budaya, dan peningkatan martabat kemanusiaan. Tidak seperti saat ini, agama menjadi penyokong besar pertengkaran sosial dan sumber konflik yang tidak berkesudahan. Hindu-Budha berdampingan mesra pada era  pra Islam karena masing-masing pemeluknya mengkontribusikan aspirasi nilai keagamaannya bagi prinsip kesejahteraan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Bangsa Nusantara memiliki kecerdasan untuk memposisikan agama tetap berada di tempat  yang sakral dan fungsi yang presisi, yaitu menjadikannya sebagai jembatan ruhani dan  medan dialog batin manusia dengan Tuhan, bukan menginstitusionalisasikan agama menjadi lencana budaya dan identitas  sosial.  Agama adalah metode untuk ‘memetik’ inspirasi langit sebagai bahan untuk mengolah bumi.  Bahan dari langit tersebut berupa gagasan-gagasan cerdas yang kemudian menjadi produk budaya ketika diterapkan di bumi. Inspirasi agama inilah yang berfungsi mengawal dinamika kebudayaan bumi dan menuntun kreatifitas kedaulatan akal manusia agar tetap selaras dengan sunah alam atau kehendak Tuhan.

Prinsip kebangsaan pada saat itu mengikat begitu kuat karena Bangsa Nusantara telah mengenal diri sejati atau jati diri kebangsaannya. Bangsa yang percaya diri, sehingga tegak dalam posisi sebagai subyek di lapangan sejarah. Kedatangan Hindu-Budha  tidak lantas membuat Bangsa Nusantara  berbondong-bondong menjadi orang India. Bangsa Nusantara tetap sebagai subyek yang mengelola Hindu-Budha untuk memperkaya ilmu dan menambah referensi pengetahuan sebagai sebuah bangsa. Hindu-Budha sebagai agama justru dipakai oleh Bangsa Nusantara untuk makin mempertegas pengenalan diri kebangsaannya. [] Agus Sukoco

…Bersambung.