Mudik dan Rindu

Tradisi tahunan ketika bulan Ramadhan telah hampir selesai dan hampir sampailah pada Idul Fitri adalah mudik. Banyak diantara kita yang berada jauh dari keluarga disebabkan berbagai keperluan, ada yang karena bekerja, karena belajar di luar kota, sebagai takdir hidup yang harud dijalani. Betapa menggebu-gebunya mereka ketika momentum libur Idul Fitri hampir tiba. Saatnya bersiap-siap untuk melakukan perjalanan mudik.

Jauh-jauh hari, pemesanan tiket kereta api atau mungkin bus juga pesawat telah dibeli. Kadang perlu perjuangan keras untuk mendapatkan tiket yang diinginkan, hanya untuk bisa pulang ke kampung halaman.

Hingga akhirnya, waktu mudik pun tiba.  Mereka bersuka cita hendak meninggalkan perantauan sementara waktu, tak lupa membawa oleh-oleh untuk keluarga di kampung. Mereka menaruh harapan mudah-mudahan yang di rumah senang dibawakan oleh-oleh tersebut. Oleh-oleh itu dipegang dan ditaruh dengan sangat hati-hati. Khawatir tertukar dengan barang bawaan orang lain.

Bayangan suasana kampung halaman selalu terbayang karena begitu rindunya. Terbayang ayah, ibu, adik, kakak, embah, kawan dan tetangga dekat. Sudah sangat rindu rasanya masakan buatan ibu. Heum.. nyamm… nikmatnya membuat tak tahan menelan air liur.

Perjalanan yang begitu jauh kita nikmati seraya selalu melihat waktu sudah jam berapa dan sampai dimana? Macet di jalan membuat waktu serasa menyiksa. Jika perjalanan harus tersendat, rasanya kita tak rela waktu terbuang. Karena rasa rindu ini sudah sangat ingin terobati.

Mari teman-teman, dari peristiwa mudik yang digambarkan di atas, kita bisa memetik pelajaran. Karena momentum mudik ini boleh kita pelajari juga untuk perjalanan ‘mudik’ kita ke kampung halaman yang sejati. Seberapa kita memendam rindu kita kepada dimana kita berasal-usul.

Ternyata sesungguhnya, di dunia ini kita hanya merantau. Dan kebahagiaan yang kita rindukan adalah kebagaiaan kembali ke kampung halaman, mudik ke tempat udik kita. Maka saat kita mudik, niat kita adalah mengobati rindu, bukan untuk membangga-banggakan apalagi pamer pencapaian kita diperantauan. Karena kebahagiaan yang lebih sejati itu adanya di kampung halaman kita, bukan tempat perantauan kita yang sementara. [] Vermianto Hedi