Mukadimah : Berpikir, Berunding dan Mencari

Konsep open kitchen saat ini banyak dianut oleh restoran penjaja makanan modern. Kondisi dapur ditata terbuka sehingga para pengunjung dapat melihat langsung bagaimana makanan-makanan diproses. Selain melihat proses memasak, orang-orang juga dapat menyaksikan bagaimana atraktifnya chef dan para juru masak beraksi di dapur.

Di jaman ini, ternyata yang menganut konsep open kitchen bukan hanya restoran. Keniscayaan bahwa kita hari ini berada di dunia dengan shareability tinggi bernama medsos, membuat sebagian kita cenderung menjadi orang yang tergopoh-gopoh dalam berbagi informasi. Bukannya bahan-bahan informasi diolah di dapur terlebih dahulu, setelah matang lalu disuguhkan ke ruang tamu, tetapi yang terjadi adalah aksi pamer dapur dengan mengajak tamu ke dapur untuk melihat bahan-bahan mentah informasi yang kita miliki.

Itu kan yang terjadi sekarang. Banyak orang begitu sudah bangga memamerkan pisang mentah, padahal mereka mempunyai kesempatan menyajikan kue bolen. Serba tergopoh-gopoh akibat gupsos (gugup sosial) hingga tak sempat untuk terlebih dahulu mengolah apa-apa saja pengetahuan dan informasi yang datang kepada kita.

Betapa mahal dan istimewanya hari ini keberadaan tradisi berfikir, berunding dan mencari. Namun, janganlah ikut-ikutan terjebak memamerkan tradisi-tradisi tersebut sembari lupa untuk menyuguhkan hasilnya. Sebab yang lebih penting dari proses berfikir, berunding dan mencari adalah bagaimana kita benar-benar menyuguhkan hasil dari melakukan semua itu. Yakni hasil berupa produk-produk kemanfaatan. [] RedJS

Mencari Mata Air Ilmu

Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat di daerah tempat tinggal saya, ketika sebuah keluarga hendak menyiapkan sumber air bersih untuk kebutuhan rumah mereka, mereka mencari betul-betul sumber air yang tidak diragukan kualitasnya. Baik itu kualitas kesehatannya, maupun kualitas kesuciannya. Baik itu pengamatan berdasarkan kasat mata maupun berdasarkan keyakinan yang positif.

Hal tersebut di tempuh karena air yang bersumber dari tempat tersebut akan menjadi pemenuh keperluan pokok sehari-hari di rumah mereka. Baik itu untuk kebutuhan makan dan minum, mandi, berwudhu serta berbagai keperluan lainnya. Untuk memperoleh sumber air yang baik tersebut, mereka bahkan rela untuk mengeluarkan biaya untuk mendatangkan orang yang berkeahlian mensurvey. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang rela mempuasai terlebih dahulu, agar penggalian sumur benar-benar dapat menemukan sumber mata air yang baik.

Namun saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi, bermunculanlah berbagai produk air minum kemasan dan air minum isi ulang. Baik itu yang merupakan produk dari perusahaan besar, bahkan produk serupa kini sudah dapat diproduksi pada skala home industry. Pangsa pasar air minum kemasan ini nampaknya begitu menggiurkan, kian hari kian menjanjikan, ditandai dengan makin menjamurnya penyedia produk yang serupa. Dulu peminat produk air minum kemasan hanya berada di kota-kota besar, maklum karena disana air bersih semakin sulit didapat, tetapi sekarang sampai pelosok-pelosok desa yang notabenenya tidak kekurangan air bersih juga mulai tergiur menjadi konsumennya.

Tidak sedikit dari mereka yang terpengaruh dikarenakan tergiur oleh bahasa promosi. Tawaran air yang lebih praktis dan lebih higienis menjadi daya tarik tersendiri. Walhasil, kini banyak yang meninggalkan proses pencarian mata air yang diikhitiari sedemikian rupa sebagaimana yang dilakukan oleh generasi pendahulu mereka. Lebih menggiurkan lagi adalah, membajirnya produk minuman siap teguk, yang praktis karena sudah berpewarna dan berperasa sekaligus. Promosi yang gencar didukung dengan kemasan yang apik dan menarik membuat banyak orang rela menjadi konsumen setianya.

Bagi saya ini adalah sebuah ironi. Kita sepertinya begitu menikmati hal itu sebagai produk teknologi modern, tetapi alpha untuk mengkhawitiri akan kemungkinan adanya dampak dari gaya hidup konsumsi air minum dan aneka jenis minuman yang disebutkan di atas. Bahkan sepertinya kita melupakan hakekat dari minum adalah tidak hanya melepas dahaga, karena air yang menjadi asupan kita sesungguhnya memiliki peran penting  untuk menjaga metabolisme jasmani kita.

Refleksi yang lebih mendalam mengenai gaya hidup kita semacam itu adalah mengenai asupan ruhani kita. Yakni asupan berupa informasi, pengetahuan dan ilmu. Ilmu yang kita teguk selama ini apakah sudah diikhtiari sedemikian rupa sebagaimana proses orang generasi terdahulu dalam mencari sumur untuk sumber mata air? Atau kita merasa tidak perlu untuk memiliki kewaspadaan terhadap sumber asupan ilmu kita?

Bisa jadi, asupan ilmu kita berasal dari produk – produk kemasan siap saji. Yang sulit untuk dilakukan penelusuran sumbernya. Yang tidak mustahil para produsennya memiliki muatan terselubung dibaliknya. Seringkali diantara kita mencari materi kajian tertentu, hanya seenak tinggal browsing sana-sini saja. Praktis memang, tapi belum tentu higienis, bukan? Lebih fatal lagi ketika hasil browsing tersebut kita imani sedemikian rupa sebagai ilmu berkualitas, seolah-olah kita tahu persis dari sumur mana ilmu itu ditimba, dari sumur kualitas apa ilmu itu berasal. Lalu dengan tidak hati-hati, kemudian kita jadikan dasar dalam laku hidup baik secara sosial ataupun dalam menempuh proses ketaatan pribadi kita kepada Sang Kholiq.

Pelajaran yang harus dipetik adalah, kita dituntut untuk bijak dalam menyikapi kemajuan teknologi. Semakin majunya media masa dan media sosial adalah tantangan bagi kita untuk semakin hati-hati dalam berproses mendapatkan ilmu. Yakni ilmu yang berasal pada sumur yang berintegritas. Dalam rangka mengidentifikasi sumur atau sumber ilmu kita harus hati – hati terhadap propaganda media. Kajian – kajian yang kita lakukan tidak boleh hanya terfokus pada kajian strategis dan praktikal saja, akan tetapi harus kita telusuri ‘mata air’ dan sajaroh-nya.[] RedJS

MENCARI MAIYAH

Orang disodori sekolah sebagai representasi pendidikan, tapi nalar sebagian orang kok merasa janggal : kayaknya bukan begini deh pendidikan. Orang dikondisikan untuk dikala sakit ya kerumah sakit, tapi kok pengobatan herbal non-rumah sakit tumbuh menjamur tak terbendung. Orang dipaksa untuk taat kepada negara, pada peraturannya, pada pajaknya dan pada program-programnya, tapi kok yang terpikir : kayaknya seharusnya negara itu tidak begini deh. Maka orangpun mencari antitesa untuk menjadi alternatif jawaban yang bisa menjawab kejanggalan-kejanggalan itu.

Maiyah menjawab pendidikan, yang esensi dari pendidikan itu ijazahnya, atau bertumbuhnya? Maiyah menjawab tentang kesehatan, yang lebih mempeluangi seseorang untuk sembuh itu obat atau kejiwaan? Maiyah menjawab tentang pemerintahan negara, pemerintah itu pelayan kita, atau kita yang pelayan pemerintah? Dan maiyah menjawab serentetan pertanyaan-pertanyaan kehidupan lainnya.

Melihat dengan kacamata maiyah berarti mengklasifikasi, mana esensi dan mana ornamen. Nilai murni itu esensi, belief system itu ornamen. Nilai murni dari pendidikan adalah tumbuhnya jiwa, sedangkan ijazah adalah belief system yang disepakati secara kolektif sebagai simbol strata pelaku pendidikan. Persoalan menimpa kita ketika nilai murni dan belief system terbalik-balik. [] Rizky Dwi Rahmawan

 

Reportase: MENCARI MAIYAH

JUGURAN SYAFAAT EDISI Juli 2013 di awali dengan pembacaan Puisi “Taman Panca Pesona” karya Hadiwijaya dimana dibacakan oleh beliau sendiri diiringi lantunan Lir Ilir. Hadiwijaya kemudian menyampaikan bahwa Lir ilir adalah pesan moral dari Sang Wali kepada para pemimpin yang sudah mulai korup.

Titut Edy kemudian menyambung “Ketika saatnya kita dipakai oleh Gusti Allah, kita tidak bisa menolak. Yang harus diperhatikan adalah seringnya kita bukannya dipakai Gusti, tapi dipakai belis. Beliau kemudian melanjutkan bahwa ketika kita berbicara budaya, bukan budaya dalam arti sempit. “Budaya juguran mpun onten awit kula cilik.”, ujar Pak Titut.

Hilmy menyampaikan kesan dan pemaknaannya atas pesan Cak Nun : “Carilah kekhusyukanmu sendiri.” Satu nomor akustik dari mas Riswanto, jamaah Maiyah Purbalingga menghangatkan Pendopo usai gerimis mereda

Agus Sukoco mengulas tentang perkataan Iblis :”Akan aku gelincirkan kalian, kecuali orang yang ikhlas”. Kita harus bisa menangkap pesan didalam kalimat ini: “Mulane kowe kabeh pada dadi wong sing ikhlas.” Agus melanjutkan “Maiyah adalah gua Ashabul Kahfi kontemporer. Dimana ketika ada keadaan darurat sosial, mereka ditidurkan Allah di dalam gua.”

Hadir pula malam hari ini seorang pengacara kawakan dari Purbalingga, Bachtiar Prihono. Ia menyampaikan “Bunga mawar mau dikasih nama apapun tetap harum baunya. Forum ini mau dinamai maiyah atau apapun tidak masalah.”

Seorang Jamaah bernama Doni merespon : “Maiyah itu menurut saya akronim dari : Moni,ngaweruhi, perkara sing iya tur genah.” Jamaah lainnya, Arno merespon bahwa sekarang ini  zaman ‘Bawor kudine kebintal’, adanya Juguran Syafaat ini mudah-mudahan merupakan tanda sebentar lagi kudi  akan ketemu.

Pak Titut kemudian menyampaikan kesan mendalamnya mengikuti Maiyahan Mocopat Syafaat di Bantul, Yogya “Terus terang kula mboten wonten angan-angan dugi teng Bantul (Mocopat Syafaat). Pengalaman kula mlebet mocopat syafaat niku kados mlebet negeri dongeng.”

Agus Sukoco menyampaikan “Budaya adl ‘igueh’ manusia dari sesuatu yg alami kemudian dicerdasi”. Kemudian Agus mengajak Jamaah bersimulasi “Bayangkan berapa lama waktu yg diperlukan oleh manusia dulu mencerdasi cabai sampai mereka menemukan manfaat cabai?”

Agus Sukoco kemudian merespon atas sinisme orang diluar dengan menyampaikan “Forum ini dinamai ‘Maiyah’ itu sebagai tenger (penanda) saja. Bukan untuk.mengkultuskan siapapun.”[] Rizky