Animo masyarakat untuk berwisata kian tahun kian meningkat. Di tengah penatnya berbagai kesibukan, kebutuhan untuk refresh sejenak menjadi tidak terelakkan. Berbagai jenis aktivitas refresh sejenak pun ditawarkan. Sehingga pariwisata kemudian menjadi sektor yang menjanjikan secara ekonomi.
Bagaimana wisata bisa mendulang uang. Yang paling konvensional adalah bagaimana memagnet orang datang. Ketika datang mereka disodori tiket masuk. Dari tiket, pendapatan bagi pengelola tempat wisata pun diperoleh.
Yang lebih advance adalah pengunjung dipersilahkan datang. Tiket tidak dihiraukan adanya. Yang dimaksimalkan adalah bagaimana pengunjung membeli ke resto dan menginapi hotelnya.
Semakin tinggi pendapatan hotel dan resto. Semakin besar pajak yang diterima oleh pemerintah.
Hampir semua negara-negara di dunia berlomba-lomba mendongkrak pertumbuhan pariwisatanya. Ada negara yang mengandalkan sumber daya alam sebagai obyek utamanya, ada negara yang mengandalkan sejarah dan arkeologis serta ada pula negara yang mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ‘jualan’ utamanya.
Contoh negara yang ironi adalah Brunei Darussalam. Mereka seolah tak memiliki geliat memagnet wisatawan sebagaimana negara-negara tetangganya di ASEAN. Seolah-olah mau datang yang monggo, tidak pun tidak apa-apa.
Dikala negara-negara tetangganya berlomba-lomba membangun sistem transportasi masal yang tourist friendly, Brunei biasa saja. Google street yang menjadi suguhan teknologi terbaru berupa fitur untuk melihat foto 360 derajat jalan-jalan di suatu wilayah, tidak mendapat otoritas untuk memotret Brunei.
Kalaupun ada promosi, alakadarnya brosur dan website saja. Selebihnya informasi mengenai negara mungil di sisi utara Pulau Borneo itu hanya bisa diakses melalui blog dan vlog backpacker.
Ironi Brunei memberikan pelajaran kepada kita setidaknya bahwa pertama, pariwisata tidak mutlak harus dijadikan komoditas. Bagi negara yang sudah berkelimpahan kekayaannya oleh komoditas primer, pariwisata bisa saja dibiarkan tumbuh secara alamiah.
Lalu pelajaran kedua adalah, keberhasilan mendatangkan wisatawan bukanlah segala-galanya. Bahkan bisa dibilang, memagnet wisatawan tanpa memiliki konsep pariwisata yang smart justru hanya mengundang potensi ekonomi recehan dengan resiko sosiologis yang belum tentu sebanding. Asimilasi budaya, migrasi penduduk ilegal, keterbukaan informasi negara yang kebablasan alih-alih mendulang untung, justru membuat kita ‘kecolongan’.
Sementara itu kita bisa sejenak mengoreksi diri. Betapa pembangunan pariwisata masih didominasi oleh konsep wisata latah. Misalnya ketika kita melihat Eye Trick Museum di Singapura demikian memagnet, berlomba-lomba kita menjiplaknya.
Setelah wisata berkonsep museum selfie tersebut merebak diduplikasi, hilanglah nilai niche-nya. Cukup beranjak beberapa langkah dari rumah, sudah didapati museum selfie serupa yang ada di Singapura. Lambat laun tidak keren lagi selfie di situ. Lambat laun orang kehilangan alasan mengapa harus membuat foto yang mereka rasa tidak keren-keren amat yah?
Eksploitasi terhadap ekopstisme alam juga menjadi tema wisata yang sedang ngetren akhir-akhir ini. Sama seperti museum selfie yang menjadi konsep utama Eye Trick Museum, alam pun didaulat mempunyai nilaiselfiable yang tinggi.
Dermaga di tepi laut, atau rumah pohon di atas bukit menjadi obyek lahap untuk diduplikasi. Kecepatan duplikasi yang memukau membuat keistimewaan panorama alam anugerah alami dari Tuhan menjadi begitu cepat membiasa kualitasnya. Terlebih banyak pengelola wisata lupa untuk meletakkan unsur orisinalitas sebagai penjaga keistimewaan tema wisata yang ingin mereka suguhkan.
Wisata selfie merebak merajalela, menjadi mainstream dari tren wisata masa kini. Berbeda dengan era dahulu dimana berwisata dengan membawa kamera isi roll film 24 adalah sebuah kemewahan. Fotografer kamera polaroid pun menjadi buruan. Yang mainstream kala itu adalah orang berwisata berombongan membawa rantang nasi dan lauk-pauk. Di atas helaian tikar mereka makan bersama di bawah pohon rindang.
Bagaimana nasib fotograger polaroid alias kamera langsung jadi tak ada yang meneliti nasibnya hari ini. Sama halnya juga tak ada yang meneliti bagaimana nasib hobi selfie 2, 3 atau 5 tahun mendatang.
Sebagai tren, sebenaenya seberapa lama wisata selfiable ini akan berlangsung. Pada titik mana orang-orang akan bosan selfie?
Lalu seperti apa konsep pariwisata setelah itu, ketika orang justru sudah jenuh dengan suguhan konsep pariwisata seperti yang hari ini marak?
Kita perlu kembali pada hakikat awal orang berwisata. Yakni sebelum pariwisata menjadi komoditas. Tidak kodrati pengertian wisata adalah membuang uang setelah orang-orang penat bekerja mengumpulkan uang.
Yang lebih manusiawi atas pengertian wisata adalah kebutuhan alamiah orang akan menemukan selang-seling dalam aktivitasnya. Bagi anak sekolah pagi berhadapan dengan buku, sore bercengkerama dengan alam adalah wisatanya.
Penderes dan petani di desa setelah siang bergulat di ladang, malam hari bermain gamelan adalah wisatanya. Pun demikian dengan jenis-jenis pekerjaan yang lainnya.
Lelah memacu otak, diselingi dengan pekerjaan yang memfungsikan otot. Jeda beraktivitas di indoor, wisatanya adalah meluangkan waktu outdoor.
Jika orang menemukan format orisinal berwisatanya. Tidak termakan tren, maka pada aslinya tidak mutlak harus ada Rupiah dalam berwisata. Yang harus ada adalah kegembiraan. [] Rizky Dwi Rahmawan