Reportase Juguran Syafaat April 2016
Diam-diam Juguran Syafaat sudah memasuki penyelenggaraan ke 37. Ditengah sunyinya pemberitahuan di media massa akan forum ini, apalagi untuk skup daerah di Banyumas Raya, Juguran Syafaat mengingatkan diri pada sebuah konsistensi akan sebuah konsep kumpul kebaikan. Diselenggarakan rutin setiap bulan pada sabtu pekan kedua. Tak pernah berhenti sejak 3 tahun yang lalu. Tidak ada tujuan apa-apa selain saling berkumpul, gendu-gendu rasa, syukur-syukur ada ilmu yang turun, ada cinta yang terjalin.
Apalagi tema yang diangkat kali ini, tampak disesuaikan dengan suasana yang diperingati kali ini. Sebuah perayaan kecil-kecilan, membagi kebahagiaan bersama, bahwa proses ini sudah kita nikmati selama 3 tahun berjalan. Tema yang diambil adalah “Melancong Ke Masa Lalu”. Sebuah pemantik untuk bisa menggali lebih dalam baik sejarah pribadi, sosial maupun yang lebih sejati.
Romantisme perjuangan awal-awal penyelenggaraan event Juguran Syafaat-pun menjadi terngiang kembali. Dari peserta yang banyak hingga ratusan sampai hanya beberapa orang saja yang hadir. Dari ramai pengisi acara sampai tidak ada siapapun yang maju kedepan sehingga kita sendiri yang berdiskusi.Semua tidak hanya menjadi romantisme, tapi juga menjadi energi untuk melangkah lagi kedepan, mengawal konsistensi dalam berbuat baik.
Dari Cerita Perjuangan Hingga Televisi 90-an
Acara diawali dengan membaca Al Quran surat Al Isra secara tartil terpimpin oleh Aji dan Huda. Usai bersama tadarusan, Aji memimpin tahlil qashar yang dijadikan momentum perayaan dan doa bersama atas 3 tahunnya Juguran Syafaat. Dilanjutkan dengan sedulur yang hadir dipersilakan menikmati hidangan yang tersedia. Memang tidak mewah, hanya nasi jagung, lalap sambal dan peyek kacang. Tapi nilai keikhlasan dan keberkahannya sudah pasti bisa dinikmati bersama.
KAJ (Ki Ageng Juguran) membuka sesi ini dengan satu nomor Allahu Rabbi. Sebuah nomor musik cantik yang biasa dinyanyikan oleh Zainul, vokalis Kiai Kanjeng yang kemudian diadaptasikan ke musik akustik oleh kawan-kawan KAJ. Iringan musik yang sederhana, namun bisa membawa suasana lebih khusyuk.
Kukuh, Karyanto dan Hilmy mengambil peran sebagai moderator diskusi sesi pertama. Pada awalnya, mereka mengambil refleksi seperti apa Juguran Syafaat tiga tahun ke belakang. Dalam hal ini, dimintalah beberapa sharing dari sedulur yang hadir. Diantaranya yang ikut berbicara antara lain, beberapa yang baru pernah hadir dalam forum ini mengungkapkan rasa penasarannya karena sebelumnya mengikuti secara langsung melalui dunia maya. Beberpa penggiat seperti Nael, Anang dan Aji juga ikut urun respon bahwa merasa sangat mendapatkan manfaat dari adanya forum seperti Juguran Syafaat, karena ilmu yang mengalir berguna bagi kehidupan diri dan sosialnya.
KAJ mencoba mengambil satu nomor musik lawas yaitu, Kisah Seorang Pramuria. Menyambung dengan tema yang akan dibahas yaitu “Melancong Ke Masa Lalu”. Nomor ini di vokali oleh Ujang yang biasanya mengambil vokal suluk dan sholawat.
Terkait tema, Kukuh mengambil contoh pengalamannya mengikuti acara tasyakuran Kemerdekaan Indonesia dimana ketika cerita perjuangan hanya sebatas mengingat tanggal dan peristiwa hanya terasa hampa saja. Berbeda ketika tidak sengaja mendengarkan cerita masa lalu kisah perjuangan yang didalamnya terasa betul muatan emosi dan perasaannya, sehingga bisa mudah terasa larut dan seperti hidup dijaman itu.
Karyanto menambahkan bahwa melancong disini, kita bukan hanya saja melihat sesuatu, tapi juga merasakan atmosfer apa saja yang sedang terjadi pada saat itu. Hilmy mengingatkan bahwa kondisi forum seperti ini sungguh sangat enak dalam mengenang masa lalu, contohnya jajanan anak-anak hingga pada musik- musik 90-an. Kenapa semua begitu awet terasa sampai sekarang, karena pengaruh dari minimnya niat komersialisasi pada setiap penciptaaan kreasinya. Juga pengalaman ketika bisa nonton televisi bersama-sama dimana satu desa, yang memiliki televisi hanya beberapa gelintir orang saja. KAJ menyela diskusi dengan atu nomormusik karya Ismail Marzuki, “Juwita Malam” dibawakan asyik dengan genre jazz.
Azis ikut urun rembug dengan bercerita bahwa anak-anak jaman dahulu sangat menunggu sekali momentum lebaran karena didalamnya ada ritual baju baru dan makan opor ayam. Tapi nyatanya anak sekarang sudah tidak mengalami kondisi seperti itu. Anggi juga menceritakan bahwa kondisi desanya yang dipelosok membuat perkembangan teknologi menjadi terhambat. Hal ini justru meneguhkan nilai asli yang ada di desanya, seperti kebersamaan dan kekeluargaan.
Dalam sesi awal, KAJ dipersilakan mengeklorasikan karya musik mereka meski banyak adaptasi dari pemusik lain. Kali ini, KAJ membawakan nomor musik “Neng Ndunyu – Change” yang biasa dianyanyikan oleh Kiai Kanjeng.
Kebersamaan di Masa Lalu
Kusworo sebagai moderator sesi kedua, merespon bahwa mengingat masa kecil seperti obrolan sebelumnya tidak kalah mengasyikkan dari pada berwisata ke tempat yang baru. Kusworo juga menambahkan bahwa kondisi perkembangan teknologi saat ini, membuat orang tidak lagi peka terhadap hal yang ada disekitar. Jaman dahulu anak kecil cukup bermain dimalam hari(dolan wengi) untuk merasakan keasyikkan hidup, sekarang orang membutuhkan banyak sekali perangkat dari luar untuk bisa merasakan kebahagiaan, bisa itu handphone, motor dan lain sebagainya.
Terkait ulang tahun Juguran Syafaat, Hadiwijaya mengungkapkan rasa syukurnya bahwa disinilah forum dimana intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas bisa bersatu padu secara seimbang. Hadiwijaya juga menceritakan sejarah jalan di Sokaraja, sebelum menjadi pusat Getuk Goreng sepanjang jalan di Sokaraja dulu menjadi galeri lukis terpanjang se-Asia. Karya-karya seniman lokal Sokaraja telahdikirm sampai ke luar jawa bahkan hingga ke Malaysia.
Titut Edi turut merespon dengan menceritakan kondisi tahun 70-an dimana orang tua kita dahulu menciptakan sawah untuk anak cucunya. Tetapi perjalanan panjang mereka sekarang digeser oleh transformasi dari sawah menjadi perumahan-perumahan. Titut ikut meramaikan acara malam hari ini dengan turut menyumbangkan suara emasnya, antara lain nomor lagu berjudul “Pacul Gowang”, sebuah kritik sosial tentang kondisi sawah akhir-akhir ini.
Rizky merespon apa yang disampaikan dengan sedulur-sedulur sebelumnya, bahwa dalam perspektif menonton televisi pada jaman dahulu, yang membuat bahagia bukan televisinya, lebar inchi televisinya, warnanya, tapi bahwa antar sesama yang menonton terdapat persambungan merasa keluarga satu kebersamaan. Melihat persembahan seni dari Titut Edi di Juguran Syafaat, layaknya nonton televisi jaman dahulu.
Kusworo menanggapi, bahwa ketika jaman dahulu orang masih bisa berkumpul malam hari, ronda lingkungan rumah, berbagi rokok dan kopi, tapi sekarang aktivitas itu mulai berkurang. Sekarang orang sudah dibuat letih untuk memikirkan keinginan memiliki harta benda sampai tidak punya energi lagi untuk berkumpul seperti ini. Dan Juguran Syafaat, adalah bentuk pelancongan kita ke masa lalu akan kumpul-kumpul, kandah-kandah, berbagi rokok, kopi dan kebahagiaan bersama.
Agus Sukoco menyampaikan rasa syukurnya juga, bahwa kita bisa istiqomah selama 3 tahun dalam setiap sabtu minggu kedua untuk bertemu, berdiskusi dan saling menyapa satu sama lain. Agus melihat ini sebagai bentuk dari keseimbangan kosmologis. Agus berharap bahwa adanya Juguran Syafaat adalah bentuk penyeimbangan alam semesta dimana ada baik dan ada buruk sebagai bentuk keniscayaan. Dan semoga, kita termasuk dalam wadah kebaikan dalam menyeimbangkan kehancuran-kehancuran yang terjadi belakangan ini di sosial masyarakat.
Agus merespon bahwa yang terjadi pada jaman dahulu, menonton televisi dijadikan ruang publik untuk bisa bertemu satu sama lain, itu karena kondisi yang memang terbatasi oleh fasilitas. Tapi sekarang, dimana satu rumah bisa memiliki 1 atau lebih televisi, justru persaudaraan menjadi melemah karena kurangnya momentum pertemuan. Agus melihat bahwa orang dahulu selalu bersemangat dalam melakukan kebaikan. Orang lewat dipersilakan mampir, ketika mampir dijamu sedemikian rupa, hingga ketika mau pulang diberi oleh-oleh/cangkingan untuk yang sedang dirumah. Ini adalah bentuk perwujudan dari sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada orang lain.
“Jadi memberi adalah sesuatu yang alamiah dan merupakan kebutuhan manusia. Kalau orang masih semangat memberi berarti dia sedang memenuhi kebutuhan aslinya. Kalau orang semangatnya mendapatkan maka sesungguhnya dia sedang mengingkari dan menafikan kebutuhannya. Jadi jika semangatnya mendapatkan itu hakekatnya dia telah bergeser dari hakekat penciptaan Tuhan. “, ujar Agus Sukoco.
Agus kemudian menjelaskan sedikit tentang terminologi kesadaran ruang dan waktu, dimana sesungguhnya ruang dan waktu itu berada ditampung oleh kesadaran kita. Jika kita bisa mencapai ini, maka kita bisa tahu akan Majapahit, Sriwijaya, Mataram Kuno, Atlantis, Lemorian dan sebagainya.
“Makin tinggi kesadaran kita, maka makin berderajat tinggi. Makin berderajat tinggi maka kita bisa mengatasi ruang dan waktu. Jadi masa lalu sejauh apapun,bisa kita tampung oleh kesadaran kita, maka gampang kita pindah melancong ke Majapahit, melancong ke Mataram bahkan melancong ke Atlantis, sangat gampang karena itu ada di dalam diri kita.”, tambah Agus Sukoco.
Rizky menanggapi bahwa dalam forum Juguran Syafaat ini, kita berkumpul bukan untuk meraih goal tertentu seperti dakwah-dakwah yang lain. Tapi justru diajak untuk membuat satu keluarga, bersama-sama mencari ridhonya Allah.
Selain KAJ, sedulur dari IAIN yaitu Fafa dan Nisa ikut meramaikan jalannya diskusi dengan satu nomor lagu berjudul “Hasbunallah”. Suaranya yang tinggi dan unik dari Nisa dipadu dengan pijitan keyboard handal seorang Fafa menambah gayengnya malam hari ini.
Cerita dari Tanah Seberang
Salah satu Sedulur yang ikut melingkar malam hari ini sangat istimewa, karena sudah mengikuti Juguran Syafaat sangat lama meskipun dinegeri sebearang. Gugun, adalah salah satu pekerja migran di Korea Selatan yang aslinya dari Cilacap. Gugun mengikuti update-update terkini tentang maiyah melalui internet, kerinduannya akan forum seperti ini menimbulkan ide bersama dengan kawan-kawannya untuk membuat Maiyah Tong il Qoryah, sebuah wadah maiyah para pekerja migran di Korea Selatan.
Gugun menceritakan kondisi pekerja migran yang berada di Korea, dimana mereka bekerja 12-15 jam dalam sehari. Menurut Gugun, pekerja di Korea hanya digunakan seperti sekrup dalam mesin. Dan ini pun terjadi pada orang-orang di Korea. Mereka bekerja siang malam, setelah bekerja pulang ke rumah, mabuk-mabukan lalu tidur. Esok pagi bangun kemudian bekerja kembali, dan begitu seterusnya.
“Dan Alhamdulillah ada Maiyah yang bagi teman-teman di sana kita bisa terus hidup normal. Yang saya takutkan seperti ini ketika saya lama-lama di Korea itu mindset pola pikir seperti mereka yang kesehariannya itu hanya materi, materi dan materi. Nah di situ ada Maiyah yang menjadi oase ditengah kegersangan spiritual kita di sana, terus kita diskusi-diskusi dan disambungkan dengan temen-temen Maiyah di sini.”, ujar Gugun.
Toni salah satu kawan Gugun di Korea pun ikut merapat malam hari ini. Toni mengungkapkan rasa syukurnya bisa ikut merapat di Maiyah Tong il Qoryah sewaktu di Korea sana. Dan sekarang bisa ikut juga melingkar di Juguran Syafaat di Purwokerto.
Arif, sedulur dari Purwokerto ikut merespon pernyataan Agus mengenai ruang dan waktu. Menurut Arif, waktu itu sesungguhnya metode untuk membandingkan satu momen dengan momen yang lain. Arif melanjutkan, bahwa kalau dalam filsafat materialis, mereka percaya bahwa ruang dan waktu mempunyai sebuah karakter absolute. Sementara dalam filsafat non materialis mereka berpendapat bahwa waktu itu tidak absolute tapi relatif, ruang juga demikian. Pada initinya filsafat non materialis mereka menganggap bahwa manusia sesungguhnya berada dalam ketiadaan ruang.
Titut merespon bahwa yang perlu kita lakukan saat ini adalah bisa menciptakan sorga tersendiri ditengah hidup yang seperti ini. Titut Edi kembali menyumbangkan beberapa nomor musik karya sendiri, yaitu Silit Kebo, Balapan Tengu dan Kadal Nunggang Jaran.
Gugun kembali menyampaikan bahwa dia bersyukur berasal dari Indonesia dimana penuh dengan kehidupan yang dinamis dan cair. Sedangkan yang terjadi di Korea, rata-rata orang Korea tidak memahami hakekat hidup yang sebenarnya. Orang Indonesia disana dikenal dalam bekerja tidak banyak omong, tekun, ulet , mempunyai ketangguhan-ketangguhan pribadi.
“Bagi orang Korea, buat apa kumpul-kumpul seperti ini, mereka itu menilai segala sesuatu dengan uang. Kalau tidak menghasilkan buat apa. Jadi saya sangat mensyukuri kehidupan-kehidupan sebagai orang Indonesia asli yang sempat belajar di sana berhadapan dengan mereka, orang-orang yang tidak mampu melihat apapun apalagi ngomong substansi seperti disampaikan oleh Pak Agus tadi.”, sambung Gugun.Bagi Gugun, kebahagiaan ketika kerja di Korea adalah ketika bisa berguna bagi keluarga di rumah. Namun selain itu, yang terpenting adalah proses bertemunya Gugun dengan Maiyah. Ini yang dianggap berkah luar biasa kepergiannya ke Korea.
Hadiwijaya merespon bahwa kita patut bersyukur lahir di Indonesia yang penuh dengan surga kehidupan. Dimana orang bisa berkumpul, gendu-gendu rasa seperti di forum Juguran Syafaat. Dan melalui forum seperti inilah pula kita bisa menjaga konsistensi kehidupan yang tidak tercerabut dari akar budaya kita di negeri Indonesia.
Agus Sukoco juga ikut merespon, bahwa ketika hidup di Korea, orang yang jujur, ulet dan mempunyai ketrampilan pasti medapatkan pekerjaan bagus yang disediakan dari pemerintah. Inilah bedanya dengan Indonesia, dimana orang jujur, tekun bekerja malah hancur oleh sistem yang memang sudah rusak.
“Jadi di sana sudah berlaku hukum fa may ya’mal misqaala dzarratin khairay yarah, wa may ya’mal misqaala dzarratin syarray yarah, kalau kamu bekerja orang jujur berarti akan mendapat buah dari kejujurannya dari etos kerjanya dari skillnya, kalau tidak ya jadi gelandangan. Nah kalau di Indonesia belum berlaku fa may ya’mal misqaala dzarratin khairay yarah, wa may ya’mal misqaala dzarratin syarray yarah, mestinya orang jujur orang bekerja keras sukses di Indonesia tapi di sini belum tentu. Namun orang kita sangat luar biasa dan mampu menyederhanakan kondisi yatim ini dengan istilah Urip kur Mampir Ngombe.’”, sambung Agus.
Gugun juga menambahkan bahwa kondisi mental orang Korea sangat rapuh. Tekanan hidup sedikit saja menyebabkan mereka bunuh diri. Berbeda dengan manusia Indonesia yang sangat kuat mentalnya, yang mampu mengahadapi tekanan hidup seberat apapun. Titut Edi menyambungkan bahwa dalam istilah Jawa dikenal peribahasaGusti Allah ora sare, inilah yang menguatkan mental kita semua ketika mengalami depresi.
Rayung yang seorang pelukis asli Purwokerto, turut menyumbangkan suara emasnya dengan dua buah nomor yaitu Lolong karya Ebiet G Ade dan juga Danau Penantian karya Ari Wibowo.
Nisa dari Purwokerto ikut bercerita pengalamannya kuliah kerja nyata di Patani, Thailand. Di Patani, kondisinya hampir seperti di Indonesia pada tahun 90-an. Jadi sangat jauh tertinggal, namun yang menarik adalah mereka sangat teguh pendirian dan selektif terhadap buadaya luar yang masuk ke daerah mereka.
Fafa dan Nisa dari IAIN kembali mengisi musik dengan nomor “Astaghfirullah”. Disambung dengan Titut Edi, satu nomor berjudul “Karang Panginyongan”.
Ari yang pernah keliling dunia ketika bekerja di pelayaran, ikut menyumbangkan beberapa pengalamannya mendarat di tanah asing seperti Korea, Eropa dan Afrika. Dimana kebudayaan disana begitu beragam dan berbeda dengan di Indonesia. Ari heran melihat Indonesia yang begitu kaya dan subur justru terbelakang dalam hal pertaniannya. Terlebih sumber daya manusianya. Ari menanyakan bagaimana cara agar generasi muda mau bertani karena Indonesia adalah tanah agraris yang sangat subur.
Iyus dari Purwokerto, mengambil perspektif bahwa Indonesia bisa maju kalau mau belajar dari masa lalunya. Bisa belajar ke Mataram Kuno, Sriwijaya, Majapahit, hingga lebih jauh lagi yaitu Baratayudha. Karena sebenarnya permasalahan apapun bisa selesai kalau kita mau menggali apa yang terjadi di masa lalu.
Nurul turut merespon dengan melihat fenomena yang terjadi saat ini, dimana hadir kembali komunitas pecinta sepeda antik, lagu-lagu lama yang di-recycle, gaya fashion vintage, sampai model rambut jaman dahulu, adalah bukti bahwa masa lalu adalah masa depan.
Rizky menampung semua respon dari sedulur yang turut berbicara tadi dengan menyampaikan bahwa kadang kondisi kita yang ‘kurang piknik’, jarang melancong ke luar negeri-lah yang menyebabkan kita inferior dengan kondisi kita saat ini. Dan menanggapi masa lalu, Rizky menyampaikan bahwa jangan-jangan ada masa lalu yang bukan masa lalu dalam buku sejarah tapi masa lalu diri sejati kita.
Hadiwijaya memotret kondisi kebudayaan kita saat ini dimana justru kesenian indonesia sudah mulai dipelajari oleh bangsa asing. SMP di Eropa mempelajari gamelan, reog dipakai di Malaysia, sinden-sinden wayang kulit dari luar negeri dan lain sebagainya. Ini adalah bentuk kengerian yang bisa kita waspadai dengan semangat melesatarikan dan mengembangkan kesenian tersebut.
Rindu Asal Usul, Rindu Masa Lalu
Menjelang pagi, diskusi makin hangat saja. Tidak ada posisi yang berubah dari sedulur yang hadir. Kopi dan teh hangat tetap disedikan oleh para penggiat Juguran Syafaat bisa dinikmati sewaktu-waktu bebas untuk refill berapa kalipun.
Agus Sukoco merespon bahwa setiap diri kita mempunyai kerinduan akan asal usul. Kerinduan ini bisa berupa rindu akan kampung halaman, rindu kebudayaan yang hilang, hingga rindu kepada yang sejati.
“Dalam budaya kita ada budaya mudik. Jadi mudik itu ketika sesukses apapun seenak apapun di perantauan, tetep pengin pulang, karena itu modal tarikan ajaib kepada asal-usul. Maka pertanyaan hidup orang Jawa adalah ‘sangkan paraning dumadi’, dari mana dan akan kemana kita sesungguhnya. Kemudian dijawab di dalam Islam ada innalillahi wa innalilaihi raji’un, dari Allah akan kembali ke Allah.”, ujar Agus.
“Jadi sekali lagi yang paling bahagia adalah tarikan ghaib di dalam diri kita yaitu rasa rindu itu terjawab. Apa rasa rindu yang paling sejati? Yaitu ketemu dengan asal-usul kita, siapa asal-usul kita? Innalillahi wa innailaihi raji’un, itu kalimat bukan hanya untuk kalau ada orang mati, padahal itu ajaran hidup kita hidup di dalam siklus itu setiap saat. Kita lihat karpet harus sampai Tuhan, kita lihat lampu harus sampai ke Tuhan maka kerinduan kita akan terus dijawab sehingga kita tidak akan sempat bunuh diri sebagaimana orang Korea yang hari ini disebut sebagai negara maju, ternyata mengatasi kesulitan itu saja dia tidak mampu. Jadi sesungguhnya yang maju itu Korea atau kita Bangsa Indonesia?”, sambung Agus Sukoco.
Kusworo me-landing-kan sesi diskusi terakhir ini dengan mengatakan bahwa inilah bedanya pendidikan Maiyah dengan pendidikan mainstream, dimana di Maiyah kita dididik uuntuk bisa tajam dalam menemukan hikmah dibalik setiap peristiwa. Dan tentunya membuat hati kita lebih legowo dalam menghadapi hidup yang kian tan menentu ini.
Juguran Syafaat kali ini diakhiri dengan salam-salaman bersama diiringi satu sholawat penutup oleh KAJ. Masing-masing sedulur membawa kembali rasa rindunya untuk pulang ke rumah. Mengpalikasikan setiap pemahaman yang diperoleh malam hari ini. Karena hidup sebenarnya bukan hanya setiap malam Juguran Syafaat, justru ketika forum ini selesai. [] RedJS