Kepemimpinan disegala level dan skala adalah persoalan yang ‘wingit’ dan sakral. Kepemimpinan bukan sekedar urusan teknis administratif dari sebuah tatanan dan struktur sosial. Lebih dari itu, kepemimpinan adalah hal yang berkaitan dengan ‘mandat suci’. Maka ‘derajat’ seorang pemimpin di dalam sebuah wilayah kepemimpinannya adalah sebagai wakil Tuhan. Artinya eksistensi dan urgensi kehadirannya adalah dalam rangka mendistribusikan Rahmat Tuhan. Pemandatan Tuhan dalam berbagai formula dan konteks kepemimpinan oleh masyarakat jawa disebut ‘wahyu keprabon’. Dalam perspektif Jawa, pemimpin bukan hanya seorang koordinator yang bertugas menjalankan tugas teknis managerial kelembagaan , tetapi seseorang yang mampu hadir secara total sebagai representasi ‘kehadiran’ Tuhan di wilayah kepemimpinanya. Maka ia harus seseorang yang memiliki kualitas ‘satria pinandito sinisihan wahyu’, yaitu orang yang disamping memiliki kecakapan profesional, ia juga sudah tidak dikuasai oleh kecenderungan possesif terhadap dunia, sehingga ia memiliki sensitifitas ruhani untuk membaca pesan-pesan langit dan mentransformasikannya menjadi barokah bumi. Disinilah letak komprehensi sakralitas kepemimpinan menurut masyarakat Jawa.
Leluhur kita dulu memiliki kepekakan dan kecerdasan ‘makrifat’ untuk mengetahui tanda–tanda yang melekat pada diri calon pemimpinnya, bahkan hingga ketika sang calon pemimpin masih dalam kandungan. Dunia modern sudah tidak memberi ruang bagi eksistensi pengetahuan dan wacana seperti itu. Demokrasi hanya mengenal bahwa pemimpin adalah orang yang mendapat sebanyak mungkin dukungan. Prinsip dukungan seperti ini tentu tidak keliru, tetapi dukungan suara orang banyak tidak selalu korelatif dengan pilihan rasional dalam pengertian kualitatif. Kesadaran pemaknaan ruhaniah tentang “kepemimpinan” sudah tidak lagi menjadi isi kandungan kebudayaan masyarakat modern.
Kita telah menjadi bangsa yang dikaburkan mata pandang sejarahnya. Penilaian negatif kepada sejarah peradapan leluhur menjadi semacam trauma yang melahirkan sikap membabi buta dalam mengadopsi nilai-nilai modernitas, sehingga paradigma mengenai kepemimpinan menjadi berubah. Seolah-olah masa lalu gerbong sejarah kebangsaan kita hanyalah periode kelam yang primitif. Kita menjadi lupa bahwa keragaman masyarakat dan wilayah geografis yang sangat luas berhasil dikemas dalam sentimen kebersatuan Nusantara oleh leluhur kita adalah prestasi sejarah paling gemilang yang hari ini kita warisi. Jaman Majapahit adalah sejarah dimana bangsa kita pernah menjadi ‘harimau’ yang wibawa aumannya mengetarkan seluruh belantara jagat raya. Dalam konteks kepemimpinan tentu karena waktu itu leluhur kita mendapatkan pemimpin yang indikatif dengan wahyu keprabon.
Hari ini kita seperti dikepung oleh gumpalan kabut materiaisme yang akut sehingga radius pandangan berfikir kita mengalami penyempitan –penyempitan secara dramatic. Sejarah peradaban “kerajaan” jawa pada masa lalu telah dipersepsikan sebagai masa kelam feodalisme dan diktatorisme yang penuh pertumpahan darah. Kita benar- benar telah termakan total oleh propaganda modernitas sehingga menjadi paranoid kepada asal-usul sejarah sendiri.
Sikap alergi kepada masa lalu kesejarahan sendiri serta takdzim total kepada nilai yang diprasangkai sebagai modernitas telah membuat kita tidak bisa mengakses berbagai keunggulan otentik leluhur kita. Sehingga wacana tentang wahyu keprabon menjadi sekedar benda klenik yang harus ditinggalkan. Akhirnya kita terperosok menjadi bangsa yang untuk mendapatkan pemimpin harus melalui drama persaingan yang menggelikan. Gegap-gempita setiap pemilu dan pilkada hanya mengekspresikan perebutan jabatan. Padahal pemimpin dalam perspektif ruhaniah bukan sekedar jabatan, tetapi sebuah tahta suci pemandatan langit yang sakral.
Sementara lebah saja dalam setiap koloni memiliki ratu, sehingga tatanan dan kehidupan masyarakat lebah berlangsung dalam metabolisme sistematika sunah alam. Ratu lebah bukan hasil dari idjtihad politik dan mekanisme budaya. Lebah langsung dianugerahi pemimpin tanpa melalui proses pemilu. Maka kedudukan ratu lebah sudah dijamin legalitas alamiahnya. Lain halnya dengan manusia yang diberi ‘pekerjaan rumah’ oleh Tuhan untuk mendapatkan ratunya sendiri. Dengan bekal akal dan nurani, manusia diberi otoritas untuk menemukan dan mengidentifikasi pemimpinnya yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan. Ketepatan dan kesesuaian upaya manusia dengan kehendak Tuhan inilah yang oleh masyarakat jawa dalam konteks kepemimpinan disebut ‘wahyu keprabon’. Pertanyaanya adalah bagaimana manusia atau sebuah satuan masyarakat membaca indikator ke-ratu-an yang memiliki kesesuaian dengan yang dikehendaki Tuhan? Tentu ini bukan persoalan sederhana, terlebih ketika akal dan nurani manusia modern kini berada di kubangan terdalam materialisme. Yang perlu disadari adalah, derajat manusia yang oleh Tuhan ditinggikan sedemikian rupa sehingga manusia berbeda dengan lebah dalam mendapatkan pemimpinnya justru membuat manusia berpeluang salah dalam memilih pemimpin.
Kita tentu masih ingat sejarah wali sanga yang melegitimasi tahta Raden Patah di kerajaan Demak Bintoro. Kaum rohaniawan memiliki akses yang sangat kuat untuk terlibat di dalam keputusan-keputusan politik pada saat itu. Kondisi seperti ini sebenarnya sama secara substantif dengan masa Hindu-Budha Majapahit bahkan jauh sebelum itu. Bahwa secara formal terjadi perubahan Agama, tetapi tatanan sosial dan kebudayaan masyarakat sama-sama terbangun berpedoman pada nilai-nilai ruhani. Hanya setelah Islam datang keputusan politik dalam membangun tata sosial mengambil inspirasi dari religiusitas Islam. Masyarakat hidup di dalam sosio-kultur dengan struktur kasta yang memposisikan Kaum Brahmana/orang suci, atau kalau dalam islam para wali, sebagai kasta tertinggi. Inilah yang membuat para wali bisa mengambil peran signifikan dalam mengatur kehidupan sosial termasuk di dalam setiap keputusan-keputusan politik kenegaraan.
Inspirasi nilai-nilai hidup manusia modern bukan lagi bersumber dari kesadaran “iman” dan komprehensi tata nilai batiniah, sehingga ada semacam arah balik orientasi dan cita-cita hidup. Konsekuensinya adalah terciptanya tatanan sosial atau struktur masyarakat yang tidak lagi memposisikan derajat kaum brahmana/rohaniawan pada level yang paling tinggi. Artinya manusia modern menjadi kehilangan daya apresiasi terhadap soal-soal yang bersifat ruhani. Kebudayaan modern dengan seluruh tata nilainya telah memproduksi sistem politik yang menegasikan aspirasi wacana spiritualisme wahyu keprabon. Siapapun bisa mendapat tahta, asalkan mendapat dukungan suara terbanyak. Maka calon pemimpin dijajakan keliling kampung seperti kecap atau batagor. Inilah gegap gempita pemilu/pilkada sebuah bangsa yang tidak sadar telah kehilangan martabatnya.
Dengan bangga kita telah menjalani tahap-tahap mekanisme untuk mendapatkan kepemimpinan imitatif karena sistem politik yang ada masih mempeluangi celah-celah transaksional. “PR” besar untuk menemukan pemimpin Nusantara yang mendapatkan mandat sultoniah dari Tuhan tdak bisa disimplifikasi dengan sistem politik yang hari ini sedang kita peragakan. Harus ada upaya identifikasi ulang tentang diri kebangsaan kita agar langkah-langkah kebudayaan kita tidak semakin jauh meninggalkan diri sejati kesejarahan sendiri. Sebagai bangsa besar pasti sudah disiapkan oleh Tuhan pemimpin besar yang mengerti martabat. Pemimpin besar itu pasti tidak akan memperhinakan diri dengan menjajakan wajahnya di spanduk dan baliho pinggir-pinggir jalan sambil menghiba-hiba untuk dipilih. Sistem politik kita memang tidak akan membukakan pintu bagi pemimpin sejati menemukan tahtanya, tetapi Tuhan memiliki otoritas mutlak untuk menciptakan anomali sejarah melalui momentum dan mekanisme yang tidak terduga untuk menyediakan singgasana bagi pemimpin sejati bangsa Indonesia. [] Agus Sukoco