MAMPIR MEDANG (49) : BUKAN TRANSAKSI, HANYA MELAYANI

Saat berjualan siomay sekalipun, seseorang harus mempunyai kewaspadaan batin.

Bahwa yang ia kerjakan dengan memasak siomay, mendorong gerobaknya bukanlah sedang menjuali orang-orang siomay. Melainkan yang dilakukan adalah memberi makan ‘ingon-ingone Gusti’ yang membutuhkan untuk menyantap siomay.

Bahwa setelah makan, mereka menelusupkan uang ke saku kita, itu bonus.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (48) : MANAJEMEN BRAYAN

Kalau hubungan manusia dengan Tuhan adalah manusia menerima, Tuhan memberi. Namun, kalau hubungan antara sesama manusia adalah ‘sapa sing lagi ana’, yakni siapa yang sedang berpunya memberi kepada yang sedang tidak berpunya.

Aplikasi berikutnya adalah manajemen brayan, apa yang dipunyai diberikan, dikontribusikan bersama-sama dengan kepunyaan orang lain. Ibarat di dapur, yang mempunyai gula memberi gula, yang mempunyai garam memberikan garam. Sehingga jadilah sebuah masakan yang bisa dinikmati bersama.

Sebab manajemen brayan, maka gula atau garam yang diberikan pastilah kualitas yang terbaik. Sebab apa yang ia berikan adalah sesuatu yang juga ia sendiri akan menyantapnya. Sebab manajemen brayan, maka ia tidak mengambil dari orang lain, melebihi dari yang menjadi kebutuhan bersama.

Semua saling menguntungkan, bukan saling merampok atau membahayakan satu sama lain.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (47) : MELAS

Ada banyak disyariatkan ajaran-ajaran untuk melepaskan. Diantaranya zakat, infak dan sodaqoh.

Yang mendasar dari syariat-syariat tersebut adalah kita dibuat menyadari bahwa benda-benda itu bukan milik kita.

Yang terjadi hari ini, syariat melepaskan justru diiringi motivasi untuk mendapat imbalan berlebih.

Padahal Tuhan sudah membekali alat bantu untuk memudahkan kita melepaskan segala sesuatu, yakni kita dibekali naluri berupa ‘melas’.

Sebab ada dorongan berupa naluri tersebut, maka memudahkan kita untuk memberi.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (46) : TUHAN MAHA CEREWET

Hakikatnya Tuhan tidak tega menurunkan kita ke bumi. Analoginya adalah orang tua yang mengirim anaknya untuk melanjutkan sekolah di pesantren yang jauh.

Apa dikira orang tua tega? Orang tua tidak tega, tetapi harus tetap dilakukan. Demi sebuah misi bagi kebaikan anaknya.

Rasa tidak tega itu kemudian membuat orang tua berpesan banyak hal sebelum kita berangkat. Bahkan ketika sudah di bumi Tuhan masih saja dengan ‘cerewet’-nya memberikan pesan-pesan wejangan.

Semua itu berasal dari rasa tidak tega-Nya. Sepertihalnya orang tua yang tidak tega anaknya berangkat mondok, lalu cerewet berpesan ini itu banyak sekali.

Bahkan Dia menurunkan utusan untuk ‘menjenguk’ kita. Muhammad sebagai utusan-Nya untuk menjumpai kita di bumi, yang nomor satu adalah merepresentasikan ketidaktegaan.

Para ustadz yang menyimpang, bukan menyampaikan pesan-pesan dengan penuh rasa ketidaktegaan, tetapi malah sebaliknya, misalnya: “Kerjakan ini, kalau tidak Tuhan marah”.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (45) : HAKIKAT PENDOPO DAN BELAKANG RUMAH

Di depan rumah itu buminya Allah, di belakang rumah juga buminya Allah. Sama saja. Bahkan di belakang rumah dengan di pendopo pun sama saja, sama-sama buminya Allah.

Orang yang sedang berada di tampuk kekuasaan bisa saja tidak mendapat hidayah pemahaman sebagaimana apa yang dipahami oleh orang-orang yang berada di belakang rumah.

Orang-orang yang berada di belakang rumah memang terlihat tidak memiliki kekuasaan, tetapi apabila Allah membekali mereka dengan hidayah, bisa jadi apa yang didiskusikan di belakang rumah bisa lebih punya pengaruh daripada apa yang didiskusikan di pendopo, pusat kekuasaan.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (44) : LELUHUR SUDAH DI DEPAN

Sama-sama sedang berjalan dari Purbalingga menuju Purwokerto, satu orang berada di depan sudah hampir sampai Purwokerto, sementara Anda masih di Purbalingga, masih ada di belakang.

Begitulah perumpamaan posisi kita dan leluhur. Leluhur sudah berada di masa depan, masa di mana kita juga akan menempuh jalan yang sudah ia tempuh hari ini.

Perlunya menjaga akhlak dengan leluhur adalah, agar kita terbimbing. Bagaimana pun mereka sudah berada di depan kita. Misalnya ada informasi bahwa “Nanti di pasar Sumbang beli ayam goreng!”, begitu kata leluhur. Leluhur bisa menginformasikan seperti itu karena dia sudah melewati pasar Sumbang. Sedangkan kita masih di sini.

(Diolah dari: Agus Sukoco)