MAMPIR MEDANG (61): Pekerja di Negara Maju

Kenapa ada orang yang melakukan pekerjaan yang kelihatannya sama, tetapi perolehannya berbeda? Sebab bisa jadi kedua orang itu meskipun berada di ruang yang sama, tetapi sesungguhnya menempati dimensi yang berbeda.

Allah akan meninggikan orang yang berilmu beberapa derajat. Alat untuk naik dimensi adalah ilmu, ketercerahan.

Orang yang bekerja di negara maju saja beda gajinya dengan orang yang bekerja di negara berkembang. Begitupun, sekalipun melakukan pekerjaan yang sama, dua orang bisa meraih perolehan yang berbeda.

Maka carilah ilmu dan ketercerahan setiap saat. Agar kita senantiasa naik dimensi.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (60): Hobi dan Toriqoh Personal

Orang-orang jaman dahulu menjalani profesinya dengan sepenuh hati. Penghasilan bukanlah satu-satunya orientasinya dalam bekerja. Bagi mereka pekerjaan adalah proses toriqoh pribadinya. Maka masih berlaku konsep dedikasi, pembelajaran sepanjang hayat dan dijunjungnya integritas terhadap nilai-nilai pada saat mereka bekerja.

Zaman bergeser, manusia seolah dituntut oleh kebutuhan untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya. Walhasil orang kemudian mengesampingkan proses toriqoh pribadi di dalam bekerja.

Lambat laun, ternyata bekerja dengan orientasi penghasilan saja membuat jiwanya kering. Maka kemudian orang berlari untuk mengkreatifi waktu sisa bekerjanya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak mengandung transaksi. Misalnya, bermain teater, musik dan berbagai kegiatan hobi.

Tujuan dari dikerjakannya kegiatan kreatif tersebut tidak lain adalah sebagai sarana penempuhan toriqoh personal untuk menyiram keringnya ruang batin manusia.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (59): Utusan

Kaum materialistis memandang percaya diri sesuai dengan kekayaan yang dia miliki atau jabatan yang dia duduki. Padahal, apakan demikian pandangan percaya diri dan tidak percaya diri yang substantif?

Ketika seseorang harus datang atau tampil di sebuah tempat, maka maqam orang itu tergantung siapa yang mengutusnya. Kalau dia datang diutus presiden untuk menghadap bupati, sekalipun ia rakyat jelata maka ia akan tetap menjumpai bupati dengan percaya diri.

Begitulah maqam atau kedudukan seseorang bergantung pada siapa yang mengutusnya.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (58) : Menikmati Sepeda Motor

Manusia diturunkan ke bumi oleh Tuhan untuk sebuah misi, untuk sebuah fungsi. Kita adalah pengelola bumi alias khalifah. Tugasnya mengolah dan mengelola bumi.

Kalau hidup kita kemudian menjadi tidak nikmat, jangan-jangan kita memperlakukan hidup tidak sebagaimana maksud Tuhan menyelenggarakan kita di muka bumi.

Analoginya seperti sepeda motor yang diciptakan pabrik untuk menjalankan fungsi sebagai alat transportasi bagi masyarakat. Memilikinya tidak menjadi nikmat, kalau hanya di lap dan dijilati setiap hari. Yang nikmat dari memiliki sepeda motor adalah ketika bisa menggunakannya sebagai alat transportasi.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (57) : Kandang Berkualitas

Relasi burung dan kandang itu relasi antara subyek dan pelengkapnya. Burung yang berkualitas tidak akan ditaruh dikandang yang ecek-ecek. Sebagai pelengkap, kandang haruslah memiliki batas minimal kelayakan untuk bisa menjadi tempat tinggal bagi si Burung.

Sebagai subyek kehidupan, maka kandang atau fasilitas pelengkap hidup kita akan tergantung pada kualitas diri kita. Semakin berkualitas apa yang kita kerjakan, maka potensi permintaan kandang yang bagus akan lebih besar untuk dikabulkan oleh Tuhan.

Kalau kandang yang menjadi fasilitas pelengkap hidup kita hari ini tidak memadai. Coba di cek jangan-jangan sumbangsih kita bagi kehidupan yang memang kurang berkualitas.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

 

MAMPIR MEDANG (56) : Ora Ilok

Ketika seseorang berpuasa, dia akan memiliki kekuatan ekstra dibanding pada saat tidak berpuasa. Keputusannya untuk menahan lapar, haus dan hal-hal yang sebetulnya dibolehkan demi sebuah keutamaan seolah menjadi tawanan yang membuat ia lebih mampu menahan diri dari sesuatu yang buruk atau mengerjakan sesuatu yang baik dengan berlipat ganda.

Lalu, bagaimana jika disebuah wilayah dilakukan puasa sosial. Apa itu puasa sosial? Yakni kesepakatan kultural yang disepakati dan ditaati berlakunya di sebuah wilayah. Kesepakatan kultural itu diantaranya berupa paugeran “ora ilok” yang dijaga bersama-sama oleh seluruh penghuni wilayah untuk tidak melanggarnya. Dengan kata lain, secara bersama-sama orang-orang mempuasai untuk mengerjakannya.

Maka di wilayah yang masih nguri-uri kesepakatan kultural berupa ora ilok-ora ilok itu, biasanya desa atau dusun tersebut masih terjaga kharisma, terpelihara kramatnya. Wilayah itu kemudian menjadi relatif terjaga dari pageblug, bencana dan keburukan-keburukan.

Begitulah puasa memberikan dampak, baik puasa mahgdoh, maupun puasa sosial.

(Diolah dari: Agus Sukoco)