MAMPIR MEDANG (67): Jimat mendatangkan Untung

Kalau dalam hidup kita memilih untuk memegang jimat, maka buatlah Sang Jimat itu senang. Misalnya kita menggenggam sebuah keris, lalu dijalan terantuk batu. Bentuk menyenangkan Jimat adalah, kita tidak mengutuk keadaan ‘Aduh, gara-gara membawa keris ini, saya jadi terantuk batu’. Melainkan ekspresi kita seharusnya sebaliknya ‘Untunglah, gara-gara membawa keris ini, saya hanya terantuk batu, padahal sangat mungkin yang terjadi adalah saya masuk jurang’.

Begitulah, Maiyah sebagai ‘jimat’. Yang terjadi bukanlah ‘Gara-gara Maiyah sehingga saya berantem dengan pasangan’. Melainkan hakikat yang terjadi sebaliknya, ‘Untunglah, gara-gara saya membawa Maiyah, saya hanya berantem dengan pasangan, tidak menimpa musibah di keluarga saya’.

Kalau belum meyakini ‘jimat’ itu mendatangkan untung, melainkan mendatangkan rugi saja, maka lebih baik tidak usah memegang jimat.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (66): Hendak Kehausan

Kita berjalan menapaki hidup dengan membawa seteguk air Maiyah. Hari ini mungkin tidak ada yang melirik ‘air’ yang kita bawa, tidak apa-apa.

Tapi kita tahu dan yakin persis bahwa beberapa saat nanti hari akan menjadi sangat terik. Semua orang kemudian akan merasa kehausan. Dan orang-orang akan memburu ‘air’ yang kita bawa dengan setia.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (65): Menjadi ‘TKI’

Di Maiyah ini Kabupaten rasa Dusun, ada selamatan, jamaah berjauh-jauhan dari beda kecamatan bahkan kabupaten diundang dan mau datang. Begitu juga ketika ada sesama jamaah yang aqiqah, minta doa atau hajat-hajat lainnya.

Tradisi semacam diatas menjadi biasa kalau dilakukan di lingkup wilayah seluas Dusun, tetapi kalau jamaah yang diundang dan mau berkumpul lingkupnya kecamatan bahkan kabupaten, itu menandakan bahwa di Maiyah ini ada ikatan sosial-kultural yang sangat kuat.

Maka jangan tanyakan lagi soal kekuatan ikatan sosial-kultural. Yang perlu dibangun sekarang adalah bagaimana agar kebersamaan yang sifatnya kebudayaan itu sekarang disempurnakan dengan kebersamaan yang sifatnya ekonomi. Sehingga kita tidak lagi hidup di Dusun Maiyah, tetapi masih mencari nafkahnya di luar negeri, menjadi ‘TKI’.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (64): Sepakat Membuat Tenda

Beberapa orang berangkat naik gunung bersama, lalu semua tahu akan ada hujan angin yang bisa mengancam keselamatan sehingga dibutuhkan tenda untuk berlindung. Sebab satu sama lain sudah tahu tujuan dari membuat tenda itu, maka semua bahu-membahu membuat tenda bersama-sama.

Berbeda ceritanya ketika dalam satu rombongan itu, masing-masing tidak tahu akan ada ancaman apa nanti sehingga merasa perlu-tidak perlu membuat tenda. Yang ada dalam membuat tenda dilakukan secara ogah-ogahan, bahkan satu sama lain saling cekcok, sebab bambu untuk tiang dipotong-potong untuk patok, patok malah dibuat kayu bakar.

Maka dalam hal ini, kita perlu bersepakat bersama-sama dahulu sebelum kita memulai suatu hal.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (63): Rute Ruang, Rute Waktu

Di dalam ruang ada rute, semua orang mengerti ini. Tetapi apabila di dalam waktu juga ada rute, tidak semua orang meyakininya. Sebab rute di dalam ruang itu jelas adanya.

Kalau kita berjalan dari satu kota ke kota yang lain, rutenya terlihat jelas, bahkan bisa hafal, nanti di depan sana ada jalan berlubang, ada jalan becek yang licin, ada jalan buntu.

Sebetulnya hal tersebut berlaku pula dalam kita menempuh perjalanan waktu. Itu kenapa orang dulu mempunyai banyak pesan-pesan tentang waktu, misalnya ‘nanti tahun depan jangan membuka warung, sebab itu tahun yang licin untukmu’, atau pesan lain ‘jangan hajatan di bulan sura’.

Sebenarnya semua itu hanya hal biasa. Itu ibaratnya, nanti sekian kilometer lagi kurangi kecepatan karena jalan licin. Atau, jangan melewati rute ini atau itu, sebab berbahaya.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (62): Mengambil ‘Sate’ Kebahagiaan

Cara berfikir kita berubah satu inchi saja, sikap hidup kita bisa berubah drastis. Cara berfikir kita berubah satu inchi saja, itu bisa bernilai sebuah hidayah dan ketercerahan.

Dalam berfikir tentang kebahagiaan misalnya. Apakah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita cari, atau kebahagian adalah hak yang tinggal kita ambil?

Selama ini pada umumnya kita berfikir bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita cari. Tak heran banyak sekali orang yang susah sekali bahagia.

Padahal sudah mengabarkan bahwa Allah hanya memberikan kekayaan dan kecukupan. Tidak memberikan kesengsaraan.

Analoginya adalah Allah hanya memberi sate, tidak memberi pusing. Kalau pusing, kita sendiri yang membikin sebab mencari satenya dengan muter-muter segala.

(Diolah dari: Agus Sukoco)