MAMPIR MEDANG (79): Hidup, Carilah Rambatan

Orang modern tidak mengenal dikotomisasi manusia berdasarkan trahnya. Oleh karena itu wajar apabila saat ini kita tidak risau ketika kita tidak punya pengetahuan mengenai trah leluhur yang menjadi asal-usul kita.

Sebab tidak bisa menelusuri trah, sehingga ibarat jenis-jenis pohon kita tidak tahu apakah diri kita ini termasuk jenis pohon yang menjulang tinggi seperti pohon jati, ataukah jenis pohon merambat.

Terlepas dari semua itu, dari jenis trah apapun kita. Taruhlah kita dari trah biasa-biasa saja, pastikan kita menempel pada orang yang memiliki trah yang tinggi. Sehingga andaipun kita adalah jenis tanaman pendek, tetapi kita memilih tempat tumbuh yang tepat, yakni tempat dimana bisa tumbuh merambat pada pohon yang tinggi.

Dengan merambati pohon yang tinggi, sehingga kita akan terbantu untuk mendekat menuju cahaya.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (78): Pluralisme Gethuk

Gethuk itu produk dari singkong, Rahmatan lil ‘alamin itu produk dari ajaran bernama Islam. Produk keagamaan kita haruslah menjadi sesuatu yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Dengan pemahaman semacam itu, maka pluralisme menjadi bukan barang tabu yang mesti kita hindari.

Jadi, pluralisme yang benar itu adalah ibarat gethuk siapa saja boleh menyantapnya. Sedangkan perjuangan pluralisme menjadi keliru bila pemahamannya melampaui menjadi : yang memasak gethuk boleh siapa saja.

Begitulah proporsi perjuangan pluralisme. Di sana kita tetap menjaga dapur tempat kita memasak hanya bagi kita sendiri.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (77): Dewasa Jangan Dilarang

Menghadapi seorang anak kecil yang begitu susah disuruh mandi bolehlah caranya dengan memberi dia iming-iming. Tawarkan semangkok bakso kepada si anak, tapi syaratnya berangkat ke warung baksonya harus dalam kondisi si anak sudah mandi.

Sebab iming-iming kemudian si anak bergegas untuk berangkat mandi. Demikianlah iming-iming bisa menjadi pancingan untuk seseorang mengerjakan kebaikan.

Akan tetapi, tentu saja tidak selamanya untuk memancing si anak untuk mau bergegas mandi lantas harus diiming-imingi bakso setiap saat. Sebab si anak juga perlu dididik untuk mengetahui bahwa mandi adalah perbuatan baik yang ia butuhkan, yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.

Begitulah seharusnya seiring berjalannya waktu seseorang semakin tumbuh menjadi dewasa untuk berproses memahami manfaat perbuatan baik yang ia kerjakan. Jangan justru membiarkan dirinya terfokus memikirkan ganjaran dan pahala.

Jangan justru sebab termanjakan oleh iming-iming, sehingga seorang anak menjadi maniak menggemari bakso sambil melupakan mandi.

(Diolah dari : Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (76): Pejabat Lintas Dimensi

Di dimensi dunia ada tingkatan-tingkatannya. Ada pejabat, ada orang biasa. Ada orang yang dihormati, ada orang yang direndahkan.

Begitu juga di dimensi setelah dunia, ada tingkatan-tingkatannya juga. Bedanya, kalau di dimensi ini banyak manipulasi-manipulasi, sehingga orang yang tidak pantas dihormati justru mendapat kedudukan tinggi, sedangkan kebalikannya orang yang baik malah kedudukannya rendah. Dan seterusnya.

Sedangkan di dimensi setelah dunia, para wali dan aulia mendapat kedudukan yang tinggi, orang yang banyak bersalah kedudukannya rendah. Di sana tingkatan-tingkatan yang terbentuk lebih mendekati pada aturan tingkatan yang sesungguhnya, yakni : yang paling tinggi diantaramu adalah yang paling bertaqwa.

Kalau di dimensi ini orang yang berkedudukan tinggi bisa bolak-balik lintas negara begitu mudah, karena hartanya, karena jabatannya. Maka jangan tercengang ketika di dimensi setelah dunia orang yang berkedudukan tinggi bisa ulang-alik lintas dimensi.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (75): Mengimani Gravitasi

Ayat-ayat di dalam kitab suci yang kita imani adalah sesuatu yang bukan merupakan produk budaya. Ayat-ayat suci adalah hukum-hukum alam yang berbentuk bahasa.

Barang siapa berbuat kebaikan sebesar biji, maka akan mendapat balasan yang setara. Kepastian ayat itu sama pastinya seperti hukum gravitasi atau hukum-hukum lainnya.

Maka bentuk mengimani ayat tidak cukup kita sekedar menghafalkannya, tetapi bagaimana kita berusaha masuk pada kebenaran ayat-ayat. Bagaimana kita percaya kepada sebuah ayat, sepercaya kita kepada gravitasi.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (74): Potensi Njimprak

Kalau tiba-tiba lengan Anda ‘keslomod’ bara api, Anda mungkin akan reflek njimprak. Bergerak seketika dengan kecepatan secepat kilat menjauhi datangnya arah bara api.

Gerakan ‘njimprak’ itu begitu seketika. Kecepatannya tentu lebih cepat dari misalnya ketika tangan kita bergerak ke depan mengambil sebatang rokok sebab pikiran kita memerintahkan diri untuk melakukan pekerjaan merokok.

Refleksi di latihan beladiri, kita bergerak menghadapi lawan akan kalah bila yang memerintahkan gerak adalah pikiran sadar. Potensi untuk menang menghadapi lawan akan lebih besar jika gerakan kita sebab reflek sudah terbentuk. Sebab gerakan akan lebih cepat, sebagaimana kecepatan orang njimprak sebab ‘keslomod’ dibanding dengan gerakan orang mengambil rokok sebab pikiran sadar menginginkan merokok.

Maka refleksi di kehidupan sehari-hari adalah jangan menjadikan perintah pikiran sadar sebagai satu-satunya andalan. Latihlah potensi reflek, yakni gerakan-gerakan yang diinstruksii oleh entitas lain di dalam diri kita selain pikiran sadar kita.

(Diolah dari: Agus Sukoco)