Orang menunggu bedhug maghrib itu adanya saat bulan puasa. Saat menunggu bedhug tanda halalnya berbuka itu, diantara kita ada yg bersabar, ada yg menikmati, tapi ada pula yang menderita menanti.
Untuk meredam rasa menderita menantikan bedhug, dibuatlah berbagai kreasi dan inovasi, ngabuburit namanya. Menarik ide acara ngabuburit, mulai dari jalan-jalan ke alun2, menonton acara lawak di TV sampai mendengarkan radio sambil nylruput secangkir kopi.
Saya rasa ngabuburit adalah hal yang baik, asalkan tidak dilakukan dengan hal-hal yang melanggar syar’i. Karena walaupun ngabuburit sejatinya adalah bentuk “rekayasa” atas penderitaan melewati waktu menuju bedhug maghrib buka puasa, tapi tidak masalah, sepanjang rekayasa itu positif.
Kalau memutar jarum jam biar jadi angka 6, itu lah bentuk rekayasa yang negatif. Tapi si saya yakin itu jarang dilakukan orang. Kecuali dia sedang frustasi dgn puasanya hari itu.
Memutar jarum jam ke angka 6 atau bentuk2 rekayasa negatif lainnya mungkin tidak dilakukan di puasa Ramadhan. Tapi betulkah dalam keseharian kita tidak melakukan substansi dari perilaku itu? Belum tahu.
Maka taruhlah kesadaran puasa & buka puasa kita bawa di setiap keseharian kita. Penerapannya bagaimana? Esensi puasa adalah saat kita harus menaruh batasan-batasan : ini jangan diambil, itu jangan dilakukan, itu belum saatnya dikerjakan, ini belum saatnya dimiliki, dst. Sedangkan esensi berbuka adalah ketika kita memiliki ketepatan kalkulasi, timing, pilihan tindakan dsb ketika sesuatu hal tepat untuk dimiliki, dilakukan atau diambil.
Dalam cara berpikir kapitalistik, tidak ada konsep puasa dan buka puasa seperti di atas. Yang ada adalah peluang harus diambil, kesempatan tidak datang dua kali. Kalimat-kalimat yang mudah sekali dijadikan pembenaran, untuk menjadi alat kita memenuhi keserakahan diri sendiri.
Kalau keserakahan sudah dituruti, rekayasa negatif sudah dimainkan, maka kata mutiara tentang peluang dan kesempatan itu akhirnya dipakai untuk memutar jarum jam, demi seolah-olah sudah boleh berbuka. Padahal masih ada batasan-batasan situasi dan kondisi yang seyogyanya tidak dilanggar apalagi di-justifikasi.
Begitulah, pilihan ditangan kita, apakah senang membiarkan diri kita berbuka puasa diwaktu sesuka-suka kita dan melakukan rekayasa-rekayasa atau memilih untuk berlatih meningkatkan kepekaan indera-indera dalam diri kita, agar kita tidak berbuka di waktu yang bukan saatnya.
Selamat menyambut bulan puasa dan selamat berlatih untuk tepat menentukan buka puasa tanpa rekayasa. [] RedJS