Maaf

BETULKAH memberi maaf kepada seseorang yang datang meminta maaf adalah sebuah prestasi? belum tentu. Karena diantara kita ada yang sanggup memberi maaf bahkan sebelum seseorang datang meminta maaf.

Lalu, betulkah tidak mau meminta maaf adalah sikap pengecut? Jawabannya pun, belum tentu. Karena diantara kita ada yang justru meminta maaf sebagai alibi dari kewajiban memperbaiki kesalahan.

Kebenaran itu berlapis-lapis. Apa yang kita lihat dari sikap seseorang sifatnya barulah diagnosa. Pepatah mengatakan, dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.

Pun demikian, ketika kita menilai diri sendiri. Jangan dulu merasa pengecut kalau belum berani meminta maaf. Kalau memang kita masih sedang berupaya memperbaiki kesalahan kita terlebih dahulu. Justru ketika kita sudah mati-matian berusaha memperbaiki kesalahan, sampai menyerah kehabisan cara, lalu jalan terakhir kita kemudian meminta maaf, maka permintaan maaf itu menjadi sebuah sikap ksatria.

Sebaliknya, jangan merasa berprestasi ketika kita sanggup memaafkan. Kita bisa meraba hati kita sendiri dahulu. Maaf diberikan karena cinta dan karena kebutuhan untuk mendidik orang yang telah berbuat salah itu. Atau hanya karena kita enggan dicap sebagai orang yang pelit memberi maaf.

Manusia tempat salah, khilaf dan lalai. Namun, manusia selalu dipeluangi untuk berenang dalam lapisan-lapisan samudera kebenaran yang luasnya tak terhingga. Kita pengecut atau ksatria dalam melakoninya, diri kita sendiri yang sanggup membacanya. Membaca di kedalaman hati kita sendiri. [] Rizky Dwi Rahmawan