Menengahkan Para Sesepuh

Sarasehan Budaya “Menelusuri Ibu Kandung Sejarah Purbalingga” bersama K.H. Sholahudin Wahid, 24 Februari 2016

Upaya Kepengasuhan

Juguran Syafaat mencoba untuk mulai mempraktekan apa yang menjadi kesepakatan bersama dalam Silaturahmi Nasional kedua kemarin di Magelang yaitu tema besar Maiyah bertajuk “kepengasuhan”. Dalam kesempatan kali ini, menggandeng ormas Islam bernama Lakpesdam NU Purbalingga yang merupakan lembaga kajian dan peningkatan sumber daya manusia untuk Nahdlatul Ulama. Bahasa sekarangnya yaitu LSM-nya NU. Beberapa penggiat Juguran Syafaat sedang diperankan aktif untuk berkiprah didalamnya. Dan yang menarik, Juguran Syafaat dan Lakpesdam NU Purbalingga sedang mengupayakan ijtihad bersama dalam perumusan gagasan kontrol sosial dan kepemerintahan dalam bentuk intitusi budaya yang berakar dari sejarah otentik Purbalingga.

Siang tadi, mereka menggelar sebuah event berbentuk Sarasehan Budaya bertajuk “Menelusuri Ibu Kandung Sejarah Purbalingga”. Event ini merupakan acara perdana yang diselenggarakan Lakpesdam NU Purbalingga sejak kepengurusan terbaru pada tahun 2016 ini. Acara ini diselenggarakan di Bale Apung Purbalingga, sebuah tempat yang sangat nyaman dan representatif. Tampak hadir dan menempati kursi yang disediakan Wakil Bupati Purbalingga, Jajaran SKPD terkait, Kajari, Kapolres, beberapa anggota Dewan, Pimpinan Pondok Pesantren, internal NU dan juga tokoh ormas dan lintas agama Purbalingga. Sekitar 150 orang tampak memadati kursi hadirin.

Tepat pukul 13.00 WIB, acara diawali dengan persembahan musik-musik sholawat dari Ki Ageng Juguran. Ki Ageng Juguran yang mencoba konsisten dalam format akustik, mengajak bersholawat bersama mempersembahkan cinta dan rindu kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Beberapa nomor lagu Jawa dibawakan secara apik oleh mereka, sembari menunggu acara resmi dimulai.

Sebagai narasumber utama kali ini adalah KH Sholahudin Wahid dari Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Ahmad Khotib dari PCNU Purbalingga dan juga Agus Sukoco yang kali ini mewakili Lakpesdam NU Purbalingga. Sarasehan dipandu dan dimoderatori dengan luwes oleh Rizky yang aktif sebagai penggiat Juguran Syafaat. Pukul 14.00 WIB, acara dimulai dengan pembacaan Al Quran oleh Sholeh dari Anshor Purbalingga, dilanjutkan satu nomor musik Syiir Tanpo Waton oleh Ki Ageng Juguran. Beberapa tokoh memberikan sambutan seperti dari PCNU, Rais Syuriah NU dan Wakil Bupati Purbalingga.

***

Sebuah Ijtihad Bersama

Rizky mengawali membuka diskusi dengan bersyukur bahwa acara kali ini bisa mempertemukan 2 generasi yang sangat jauh rentang waktunya, seperti kasepuhan dan kanoman. Selain itu juga kehadiran lima elemen NKRI versi Emha Ainun Nadjib juga terwakili dari hadirin yang datang, yaitu rakyat, cendekiawan, militer, agama dan budaya.

Agus Sukoco memberikan paparan pertamanya tentang gagasannya ini bahwa kita perlu menggunakan perpektif anastomistik, sebagai contoh meletakkan kepala sebagai kepala, dada sebagai dada, kaki sebagai kaki. Dalam kepemerintahan, terdapat analogi rumah tangga, seperti orang tua, anak dan pembantu. Siapakah dalam daerah kita yang berfungsi sebagai orang tua, anak atau pembantu rumah tangga? Sesungguhnya pemerintah itu adalah pembantu rumah tangga dari anak-anak rakyat yang dianalogikan sebagai anak dari bangunan besar “rumah tangga” masyarakat. Saat ini terjadi kerancuan dalam hukum ketatanegaraan yang menyebutkan pemerintah seolah menjadi orang tua atas rakyatnya, padahal mereka hanyalah pembantu yang digaji secara profesional yang bertugas mengurus kesejahteraan rumah tangga kemasyarakatan. Selanjutnya yang perlu dicari adalah, siapakah orang tua kita sebenarnya.

“Maka dalam hal ini, kami mencoba berijtihad, menelusuri siapakah kira-kira ibu kandung sejarah Purbalingga. Bisakah forum sesepuh nantinya berfungsi sebagai orang tua Purbalingga? Sebuah intitusi yang mampu mengontrol tugas pembantu rumah tangga kita.”, ujar Agus.

Ahmad Khotib membenarkan paparan singkat dari Agus tadi.  Khotib yang aktif di PCNU Purbalingga, dengan singkat menjelaskan bahwa yang terbaik berbicara sejarah adalah alam itu sendiri. Karena alam adalah guru dari semua guru. Khotib menekankan bahwa semua gagasan Agus tadi perlu dikaji empiris lebih dalam lagi agar terbukti benar menurut sejarah bukan hanya menurut keputusan hukum saja.

KH Sholahudin Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Sholah, diberikan waktu paparan terakhir nampak sangat tertarik dengan tema diskusi kali ini. Memang ada kaitan khusus antara Gus Sholah dengan Purbalingga karena kebetulan beliau memiliki teman dekat di Purbalingga yang masih dihormati sebagai sesepuh di Purbalingga, yaitu Raden Subagyo. Gus Sholah dalam rangkaian kunjungan kemarin ke Cilacap, menyempatkan bersilaturahmi dengan kawan lamanya itu. Selain itu juga bersedia mengisi sebagai narasumber pada Sarasehan Budaya kali ini.

Gus Sholah melihat kondisi saat ini bahwa apapun bentuk pemerintahannya, yang terpenting adalah perhatian pemerintah kepada masyarakat. Gus Sholah tidak pernah mempermasalahkan dasar negara sebuah negara, sebagai contoh Pancasila. Menurutnya, yang diubah bukanlah Pancasilanya, tapi bagaimana kita mengaplikasikan Pancasila dengan baik dan benar. Gus Sholah juga menuturkan bahwa sosialisasi empat pilar seharusnya bukan ditujukan kepada rakyat Indonesia, tapi justru kepada orang-orang yang duduk sebagai pemerintah Indonesia. Berbagai macam bentuk negara, maka itu hanyalah berfungsi sebagai bungkus saja. Isinya adalah produktifitas, kemakmuran rakyat dan tegaknya hukum. Disini, Gus Sholah mengambil banyak tema global dalam paparan panjangnya.

Rizky menjembatani sesi antar diskusi dengan sentilan bahwa siapapun orang tua masyarakat kita, maka fungsinya adalah sebagai pengawas rumah sosial kita. Agus menambahkan bahwa diskusi kali ini adalah upaya nyicil merangkai sebuah forum sesepuh yang nantinya bisa digunakan untuk fungsi kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah daerah. Agus menjelaskan filosofi hukum, bahwa hukum itu bersifat pagar sedangkan moral kultural bersifat garis.    “Hewan membutuhkan pagar agar tidak lompat ke kebun orang lain, sedangkan manusia cukup dengan garis, ia tahu mana yang boleh dilewati mana yang tidak. Kita sebenarnya tidak perlu peraturan hukum agar tidak mencuri dan membunuh. Cukup akal dan hati nurarani kita saja.”, tambah Agus.

***

Sesi pertanyaan dibuka. Nampak banyak sekali yang mengacungkan tangan tanda ingin ikut urun rembug bersama. Bagus Arifin dari LSM Purbalingga, ikut menyatakan bahwa sejarah seharusnya bukan hanya menjadi nostalgia atas kejayaan-kejayaan jaman dahulu. Krisnanto dari Purbalingga dengan kritis ikut urun pikiran bahwa kitapun jangan lupa untuk menelusuri sejarah kita masing-masing. Pendeta Manurung ikut menyetujui gagasan besar ini. Manurung mendukung bahwa ini adalah bentuk kegelisahan anak muda Purbalingga atas apa terjadi sekarang. Manurung menambahkan bahwa kita perlu menghidupkan kembali falsafah para pendahulu kita yang menjadi nilai kehidupan yang mempengaruhi dari rakyat hingga pejabat. Umar dari Purbalingga ikut merespon dengan pernyataan bahwa gerakan forum sesepuh baiknya kita lakukan secara mandiri, mengambil ruang kosong yang ada di masyarakat dan tidak menunggu ruang dari pemerintah.

Agus Sukoco merespon pernyataan tadi dengan menuturkan bahwa segala ijtihad ini adalah bentuk NU ikut membantu pemerintah. Forum sesepuh ini nantinya dibentuk dari segala lapisan masyarakat yang mempunyai potensi kasepuhan dari wilayah dan bidangnya masing-masing. Khotib juga menambahkan bahwa gagasan besar ini perlu ditindak lanjuti tidak hanya sebagai wacana. Semua yang didiskusikan siang hari ini tentunya belum mengkristal betul, tapi cukup menjadi oase atas kegersangan pikiran kita selama ini. Gus Sholah turut merespon bahwa sikap kritis kita terhadap pemerintah adalah bentuk kita turut membantu kinerja mereka. Gus Sholah juga memaparkan sedikit tentang sejarah UUD 45, proses amandemen dan ketidaksetujuannya dengan beberapa undang-undang baru yang berjalan.

Menarik sekali perbincangan siang hingga sore hari ini. Tidak terasa 3 jam berlalu. Diskusi dari masalah sejarah lokal hingga konstitusi global dibungkus secara apik dalam event besar ini. Gerimis yang masih awet sedari tadi turut menyambut proses kenikmatan sharing pemahaman bersama. Tepat pukul 16.35 WIB, acara diakhiri dengan ditutup nomor musik “Hasbunallah” dipandu apik oleh Ki Ageng Juguran. [] Himly / RedJS

Jenderal Soedirman Tidak Mati

Pengajian Haul Jenderal Soedirman di Pondok Pesantren An Nahl Purbalingga, 20 Februari 2016

Langit mendung menaungi Purbalingga sedari sore. Tarub dan panggung sudah disiapkan panitia bahkan sejak siang. Sound system dicoba kualitasnya. Karpet-karpet digelar. Panganan jajanan pasar tersedia di meja disudut tarub.

Beberapa pemuda memang yang manggawangi teknis acara ini. Mereka adalah Garda Community. Kelompok pemuda pemudi yang berasal dari Purbalingga ini sudah berkumpul melingkar sejak 2011. Sejak awal persentuhan dengan Maiyah sudah mempengaruhi cara berfikir dan bertindak mereka. Komunitas ini beranggotakan 200 an pemuda pemudi yang hampir sebagian besar bekerja menjadi buruh pabrik rambut di kisaran Purbalingga. Militansi mereka sudah tidak diragukan lagi. Hampir setiap bulan mereka menyisihkan penghasilannya barang 5000-10000 rupiah untuk kas komunitas ini. Dan ini diperuntukkan untuk kegiatan sosial seperti santunan anak yatim, pengajian rutin hingga tanggap bencana.

Acara ini selain rutinan dari Pondok Pesantren An Nahl, yaitu pengajian selapanan malam ahad manis juga diikuti dengan Haul Jenderal Soedirman. Tepat pukul 19.30 WIB, acara dimulai dengan sholawat dan pembacaan maulid Simtudurror. Acara dilanjutkan dengan pentas seni oleh santriwan santriwati dari Pondok Pesantren An Nahl.

Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Seolah menyambut kegiatan malam hari ini, gerimispun ikut merespon. Acara ini dihadiri oleh 300an orang dari sekitar kawasan Pondok Pesantren. Memasuki acara utama, Ki Ageng Juguran membuka dengan dua nomor Bangbang Wetan dan Senandung Desa. Para tamu undangan dari pengasuh Pondok Pesantren, unsur Muspika Kecamatan Kutasari, Camat, Danramil dan Kepala Desa turut hadir dan berada di panggung. Hadir juga Agus Sukoco yang kali ini mewakili Lakpesdam NU Purbalingga.

Kiai Fitron, pengasuh Pesantren menyambut dengan kebanggan bersama bahwa para panitia kali ini berasal dari kalangan pemuda Purbalingga. Camat Kutasari ikut menyampaikan bahwa kegiatan seperti ini adalah hal positif untuk anak muda dibandingkan hanya nongkrong tidak jelas di pinggir jalan hingga narkoba. Agus Sukoco, ikut menambahkan bahwa kebanggaan rakyat Purbalingga adalah menjadi tanah kelahiran pahlawan besar Indonesia Jenderal Soedirman. Agus berpendapat bahwa leluhur kita yang sudah meninggal itu tidak benar-benar tiada. Ini sesuai dengan janji Allah. Maka dengan penyelenggaraan Haul Jenderal Soedirman seperti ini diharapkan Jenderal Soedirman tetap hidup dan mendampingi anak cucunya di Purbalingga dalam bentuk spirit juang dan semangat positif. Membahas hukum saat ini, Agus ikut menerangkan bahwa hukum itu seperti pagar bagi orang yang tidak memiliki batasan diri secara internal.

“Seharusnya orang sudah memiliki akal sehat dan hati nurani sudah tidak memerlukan hukum dalam praktek kehidupan sosial dan budaya. Orang tidak perlu hukum untuk tidak mencuri. Karena akal sehatnya menolak itu semua.”, tambah Agus.

Danramil Kutasari ikut memberikan perspektif tentang perjalanan hidup Jenderal Soedirman. Menurutnya, Jenderal Soedirman adalah bapak dari TNI yang merupakan pencipta dari taktik perang gerilya. Jika dikaitkan dengan sejarah Islam, maka Jenderal Soedirman sebenarnya mengadopsi teknik perang dari Rasulullah.

“Allahu Rabi”, sebuah tembang sholawat ikut menghiasi jeda antar sesi diskusi. Ustadz Jendro dari Purbalingga ikut menyajikan sebuah tembang mocopat Pangkur yang berisi tentang syair perjuangan. Selain itu, dijelaskan pula arti kata An Nahl, yang artinya lebah. Dimana lebah tidak menyukai bunga yang terbuat dari plastik. Sama seperti santri An Nahl ini, tidak menyukai kepalsuan-kepalsuan dunia karena mencari kesejatian hidup. Ki Ageng Juguran mempersembahkan nomor syahdu Hasbunallah.

Tepat pukul 24.00 WIB, acara diakhiri dengan sholawat Tarhim oleh Ujang KAJ. Doa bersama dipandu oleh Kiai Fitron. Cahaya ilmu dan pemahaman memasuki ubun-ubun yang hadir selaras dengan niat ikhlasnya bersilaturahmi dan mencari ilmu. Hadirin pulang satu persatu membawa semangat juang nasionalisme Jenderal Soedirman ke dalam aktifitas mereka esok hari. [] Hilmy Febrian Nugraha

Mesra Bersama Penggiat JS

 

BERTEMPAT KEDIAMAN Agus Sukoco, pertemuan yang cukup intim  digelar. Pertemuan ini digelar  untuk menyambut kedatangan tamu  dari Padhang mBulan, Jombang  yaitu Lek Hammad, Cak Lutfi dan  Cak Atim. Tamu-tamu mulia  tersebut semalam sudah menghadiri  Juguran Syafaat. Selain tamu  tadi, telah hadir juga para  penggiat Juguran Syafaat dari  Purwokerto dan Purbalingga. Ada  juga tamu dari Suluk Pesisiran  turut serta mengikuti acara.

Acara dibuka dengan bersholawat  bersama dipandu oleh Toto dan  Ujang diiringi gitar sederhana.  Selanjutnya Rizky menyampaikan  bahwa pertemuan sederhana ini adalah bentuk sambutan dari Juguran Syafaat atas niat baik Padhang mBulan dalam mempererat tali silaturahmi.

Tempat acara yang cukup representif. Meski dibelakang rumah, tapi rasanya tetap nyaman. Beratap langit berbintang dan beralaskan karpet sederhana. Hidangan seadanya tersedia didepan para penggiat.

Agus Sukoco menyambut dengan mengingatkan semuanya akan ibu kandung simpul Maiyah yaitu Padhang mBulan. Bagaimana perjuangannya dari tahun 90an, itulah yang menginspirasi gerakan kita hingga saat ini.

Lek Hammad merespon dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya saat ini adalah upaya menjaga istiqomah silaturahmi. Lek Ham juga bercerita bahwa Padhang mBulan dari awal dibuat bukan berdasarkan cita-cita besar, hanya karena bagaimana cara agar Cak Nun bisa pulang ke Menturo sebulan sekali. Lek Ham juga berpesan bahwa dalam kita bermaiyah hendaknya ikut membantu perjuangan Cak Nun. Seperti yang sudah dilakukan simpul sebelumnya, pun penataan internal simpul seperti membuat instrumen media dan lain sebagainya.

Rizky ikut menjelaskan bahwa konsep simpul sekarang adalah bentuk padatan dalam Maiyah yang didalamnya terdapat beberapa instrumen pendukung seperti media, event, dll. Cak Lutfi sendiri menambahkan bahwa kemesraan antar jamaah itu yang utama. Cak Lutfi juga meminta agar dalam setiap forum bisa saling menyapa jamaah dikota lain secara jarak jauh.

Mendekati akhir acara resmi, sholawat dipandu oleh Cak Lutfi dibawakan bersama-sama. Hawa hangat dan syahdu mengalir diantara sesama penggiat. Khusyuk terasa nikmat. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah santai. Ngobrol sana-sini, berbagi kemesraan. [] Hilmy Febrian Nugraha

14 Februari 2016