MUQADIMAH JUGURAN SYAFAAT OKTOBER 2016
Membayangkan ilmu sangkan-paran, ilmu asal-muasal itu tidak harus pada hal yang jauh. Mulai dari hal yang dekat dengan kita saja dulu. Misalnya, di hadapan kita ada sepiring nasi, bisa tidak kita mengilmui sangkan-paran butiran-butiran nasi itu? Nasi, kalau kita lihat ke belakang, sebelumnya dia adalah satu beras, dua tanaman padi, tiga sawah yang di dalamnya terdapat konstelasi bibit pupuk, empat planet bumi, lima asal-muasal dari semua itu adalah Allah.
Hari ini kita menjadi peradaban rames, yang tahunya nasi ada secara ujug-ujug, ada uang maka nasi pun ada, begitu yang ada di benak. Maka tak heran jika penyakit dis-orientasi menjangkit. Bagaimana mungkin mempunyai orientasi atas kehidupan dan masalah-masalah yang ada, sementara ruang berfikir kita begitu sempit, tak pernah di ajak ke depan atau ke belakang. Apa yang ramai, kita sangkai itu benar. Tak paham apakah ketika di cek ke belakang asal-usulnya dari Allah, atau jangan-jangan justru berasal dari Idzajil.
Maka rahmat Allah seringkali kita olah tanpa perencanaan. Rahmat berupa kayu diolah menjadi meja. Setelah menjadi meja, kemudian malah meja digunakan untuk judi, bahkan untuk mempertaruhkan nasib orang banyak. Begitu seterusnya, semakin ke depan tidak semakin dekat dan sampai ke Allah, tapi belum sampai hitungan lima justru sampainya ke jurang malapetaka tempat Idzajil bersemayam.
Posisi kita di hadapan Allah, posisi kita di tengah-tengah humaniora dan posisi kita di tengah masalah kita sendiri, sudah ditelurusi belum, minimal ke depan lima, ke belakang lima? Agar terkonfirmasi benar dari dan menuju Allah, atau jangan-jangan tidak. [] RedJS