Daun kelapa yang masih muda atau janur dianyam sedemikian rupa hingga jadilah ia selongsong ketupat. Selongsong kemudian diisi beras dengan takaran tertentu, lalu selongsong berisi beras itu dimasak hingga jadilah ia ketupat yang siap saji. Ketupat siap disajikan bersama opor ayam, lengkap dengan sambalnya. Maka jadilah ia sepaket hidangan yang menambah kenikmatan merayakan hari raya bersama keluarga.
Ketupat hanya satu dari begitu banyak kekayaan cara untuk menghadirkan kenikmatan kultural yang direkayasa oleh masyarakat bangsa kita. Ada sensasi mudik, ada nuansa ‘nyekar’ atau menyapa leluhur di makam mereka, dan ada banyak tradisi-tradisi lokal yang unik-unik di banyak daerah di negeri ini dalam membuat rayanya hari raya Idul Fitri.
Sayangnya, zaman sudah bergeser. Entah bergeser atau digeser dengan sengaja, sehingga jarang sekarang dijumpai orang menyiapkan hari raya beramai-ramai dalam keluarga, menguliti kacang rame-rame untuk membuat kacang bawang, menguleg adonan bersama-sama untuk membuat wajik bandung, atau bercanda ria didapur beramai-ramai memasak rempeyek. Semua yang home made itu, kini sudah diganti biskuit kalengan. Yang berhari raya kita, tapi yang tersaji kok makanan khas Eropa. Ini bagaimana?
Dari sebelah kiri, kenikmatan kultural kepunyaan kita diserang oleh kepentingan-kepentingan konsumerisme. Sementara dari sebelah kanan, kita diserang oleh kepentingan fundamentalis-literalistik yang sesumbar “Nabi tidak mengajarkan halal bi halal, mudik apalagi nyekar!”.
Atas situasi itu, kita dituntut untuk mengilmui kembali makna hari raya. Bahwa hari raya haruslah tetap raya, ke-raya-an hari raya tidak boleh dibuat senyap dengan alasan-alasan syariat yang dangkal dan tidak berdasar. Dan disisi lain kenikmatan kultural yang kita punga tidak boleh lenyap diganti dengan syahwat konsumerisme atau alasan apapun. Karena kenikmatan kultural itulah yang membuat hari raya tetap raya.
Selamat jalan Ramadhan, selamat datang Hari Raya. [] Rizky Dwi Rahmawan