Yang Pasti Berhasil Adalah Rencana Allah

Assalamu’alaikum warrahmatullahiwabarakatuh

Ma’asyirol Mu’minin Jamaah Jum’ah Rokhimakumullah…..

Di awal sekali, mengawali khutbah siang hari ini khotib mengajak diri khotib beserta jamaah sekalian untuk terus berpegang teguh pada keimanan kita kepada Allah SWT, sehingga dengan itu kita jadikan modal paling utama dalam menjalani keseharian hari ini dan hari-hari kita ke depan yang mungkin masih akan tidak mudah.

Di tengah keadaan yang tidak menentu dari deraan pandemi penyakit yang mendunia, himpitan ekonomi,  tontonan dari perilaku wakil kita di pemerintahan, perilaku wakil kita di legislatif DPR, praktik-praktik para penegak hukum di negara kita yang kesemuanya itu menuntun bathin mengucapkan kalimah istighfar yang sangat dalam, ngelus dada, dan banyak hal lagi, hampir di semua bidang.

Maka, tidak ada jalan lain kecuali kita menyandarkan kepasrahan kepada Yang Maha memiliki kekuatan Mutlak, yang Maha berkuasa, yang Maha menggenggam, yang Maha mengampuni sekaligus yang Maha menghukum, yang pasti adil seadil-adilnya yaitu Allah SWT. Tidak ada jalan lain lagi kecuali hanya berpegang pada kekuatan dari Allah SWT.

Jamaah jumah yang dirahmati Allah,

Melihat kondisi terkini di negara yang kita cintai ini melalui media televisi, radio, elektronik dan media sosial lainnya bahwa di tengah deraan pandemi, masalah ekonomi, regulasi atau aturan-aturan yang berlaku yang tidak jarang membuat kita yang berada di kalangan bawah ini dibikin pusing, susah untuk mengikutinya sebab terkesan mancla mencle aturannya.

Akan tetapi ya sudahlah, kita hanyalah orang awam, yang tidak tahu akan hal-hal tentang konstitusi negara, ilmu-ilmu yang njlimet, konspirasi global apa lagi itu namanya. Konon memang, ada segelintir orang, ada beberapa orang yang secara jumlah bisa dihitung dengan jari namun sesungguhnya ia memiliki kuasa hingga mampu mengendalikan orang satu negara yang sedemian besarnya ini.

Ilmu kita sebagai orang awam tidak akan sanggup menjangkaunya. Kita hanya tahu, sehabis shalat shubuh pagi-pagi kita sudah punya agenda menuju ke sawah, kebun, ke pasar. Kegiatan sehari-hari yang mungkin tidaklah “wah”, akan kita istiqomah menjalaninya dengan penuh keikhlasan dan penuh rasa syukur.

Syukur terhadap nikmat sehat, nikmat akan kesuburan tanah yang diberikan Allah ta’ala. Yakni nikmat tenaga, nikmat berupaya, berusaha, dan hanya itu yang kita tahu. Kita tidak tahu diluaran sana ada yang sedang merencanakan kerusakan-kerusakan, merencanakan kesengsaraan dan memonopoli kekayaan untuk perutnya sendiri, terserah itu bukan wilayah kita orang awam.

Kalaupun itu benar yang terjadi maka kita serahkan kepada wakil-wakil kita di pemerintahan, para cerdik cendekia yang menguasai dibidangnya. Dan kalaupun justru mereka para wakil kita yang tega melakukan kejahatan kepada kita para rakyatnya, biarlah mereka berhadapan langsung dengan Allah SWT. Kita sebagai manusia boleh berencana, tetapi Allah maha membuat perencanaan-perencanaan, dan yang pasti berhasil adalah rencana Allah ta’ala.

Artinya : “ Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” QS. Ali Imron : 54.

Maka Jamaah sekalian, dengan posisi kita yang bukan siapa-siapa, bukan apa-apa dalam arti kewenangan-kewenangan, semoga justru yang menjadikan kita terselamatkan. Selamat dari kesalahan-kesalahan, dan terpenting serta yang utama adalah selamat ketika suatu saat nanti menghadap Allah SWT di yaumul hisab kelak.

Dengan selalu berpedoman pada apa yang telah diajarkan oleh junjungan kita Rasulillah Muhammad SAW, semoga syafaat kita dapatkan bersama-sama. Amiiin….amiiin Ya Rabbal alamin. 

Yel Pancasila

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”
QS. At Taghabun: 12

Ma’asyirol Jum’ah Rohimakumullah,

Dalam kesempatan Sholat Jumat siang hari ini, Khotib mengajak Jamaah sekalian untuk tidak ada bosan-bosannya mengingat dan mensyukuri Rahmat Allah, yang tentu tidak ada habisnya kalo kita hitung dan rasakan.

Setidaknya selama kita hidup,  baik di keluarga, di dalam masyarakat maupun di dalam bernegara, di mana kita hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Dan dari rasa syukur itulah semoga menjadi pintu untuk kita semakin beriman dan semakin bertaqwa kepada Allah SWT. Shalawat salam kita sanjungkan kepada junjungan Baginda Nabi Agung Muhammad SAW.

Jamaah Jum’ah yang berbahagia,

Mohon ijin kepada Jamaah sekalian, kali ini Khotib akan membahas permasalahan yg agak ndakik, ngayawara agak tinggi yaitu tentang negara, tetapi semoga pembahasan Khotib masih dalam sudut pandang yang mungkin bisa dijangkau oleh setiap pribadi kita, yaitu ruang kesadaran dalam beragama yaitu Islam.

Karena saya Islam maka saya cinta negara ini, tidak bisa dibenturkan antara memilih beragama atau bernegara, memilih Islam atau pancasila. Darimana ide butir-butir Pancasila kalau tidak berasal dari Rukun Islam?

Jamaah Jum’ah,

Salah satu pedoman atau rukun negara kita baru-baru ini sedang dibuat ramai baik di media cetak, televisi maupun internet adalah mengenai Pancasila.

Dengan bermodalkan memahami makna rukun maka semoga bisa kita terapkan dalam memahami Pancasila sebagai rukunnya negara kita.

Kita ketahui rukun itu bersifat saling berkait, saling mendukung, saling menguatkan diantara satu dengan yang lainnya. Tidak bisa hanya berpedoman pada sholat saja, kemudian kita mengabaikan rukun Islam yg lainnya, karena akan berakibat pada rusaknya atau batalnya keislaman kita.

Pun dalam memahami Pancasila, tujuan negara ini berdiri sudah disepakati oleh para pendahulu kita terletak pada sila yang terakhir, yaitu sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Namun kita lihat di kanan-kiri, apakah prinsip keadilan sudah terwujud? Melimpahnya kekayaan negara seyogyanya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat diseluruh negeri dengan berprinsip pengelolaan yang berkeadilan.

Sila kelima bisa terwujud harus ditopang oleh sila sebelumnya yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hendaknya sila ini dijalankan dengan benar oleh wakil rakyat, dengan pedoman hikmah kebijaksanaan untuk terwujudnya keadilan sosial.

Kalau keadilan sosial belum terwujud, berarti ada yang tidak benar pada sila keempat yang di emban oleh para wakil rakyat. Drama korupsi menjadi pemandangan rakyat setiap hari. Pemandangan yang tidak jarang membikin kita geleng-geleng kepala sendiri.

Dan kalau sila yang keempat bermasalah maka sumber masalah ada pada sila sebelumnya yaitu sila yang ketiga: Persatuan Indonesia. Ini tugasnya partai politik atau parpol yang seharusnya mendidik kadernya agar mampu menciptakan kebersatuan nasional, bukannya malah memperjelas terbentuknya gerombolan-gerombolan, geng-geng, kubu-kubu.

Bukannya bersatu demi memperjuangkan kesejahteraan rakyat, yang ada aksi tipu, jual beli layaknya perdagangan, jegal menjegal, saling bunuh, dan pagelaran perang sesama saudara.

Dan tidak tercapainya sila ketiga berarti jelas ada yang salah dengan sila Kemanusiaan Yang Adil dan beradab. Sila yang kedua dan ini tugas dari Dinas Pendidikan Nasional. Dunia pendidikan dimandati tugas untuk menghasilkan manusia-manusia dengan kepribadian yang adil dan beradab.

Dan gagalnya dunia pendidikan dalam menghasilkan manusia yang beradab disebabkan oleh sila yang pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa. Jangan-jangan masih ada yang gagal dalam kita beragama.

Mengapa misalnya, semakin kita beragama makin keras akhlak kita. Mayoritas kita adalah pemeluk agama tapi kenapa kerusakan lingkungan di mana-mana? Dimanakah rahmatan lil ‘alamin-nya Islam?

Jamaah Jum’ah,

Islam pasti benar. Tetapi yang harus kita cari adalah apa yang belum tepat, apa yang tidak seharusnya di dalam kita berislam.

Dimanakah letak adanya hal yang tidak tepat dan tidak seharusnya? Mari kita cari bersama-sama dengan penuh kerendahan hati, hilangkan sombong-sombong dengan merasa paling benar, paling suci, paling masuk surga sehingga berakibat menyalah-nyalahkan orang lain, mengkafirkan satu dengan yang lainnya.

Jamaah Jum’ah,

Dengan pedoman memahami rukun semoga menjadi modal untuk bisa memahami butir-butir Pancasila sehingga dapat diambil beberapa kesimpulan, meskipun kesimpulan ini berlaku hanya pada kedalaman diri kita masing-masing.

Dalam berwudhu, ada syarat sah dan rukun yang harus kita tunaikan, apabila ada salah satu saja rukun yang kita abaikan, tidak kita lakukan maka batallah wudhu kita, tidak sah wudhu kita.

Pun demikian dengan sholat, tentu ada syarat sah dan rukun untuk bisa disebut kita telah mendirikan shalat. Dari takbir, berdiri, ruku’ hingga salam kanan kiri merupakan syarat rukun sah-nya sholat. Apabila ada yang tidak kita tunaikan maka hakikatnya sholat kita telah batal.

Jamaah Jum’ah,

Maka rukun negara kita adalah pancasila. Manakah rukun pancasila yang telah batal ditunaikan? Manakah yang gagal untuk diwujudkan? Apakah kegagalannya disebabkan ketidakmampuan ataukah disebabkan oleh kecurangan dan keserakahan?

Apabila dikarenakan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan semoga Allah memberikan pemakluman dan pengampunan. Namun, apabila dikarenakan kesengajaan berupa kecurangan dan keserakahan, kita serahkan kapada Allah SWT dan kita berlindung terhadap murka-Nya yang telah melenyapkan umat Nabi Nuh AS, Nabi Luth AS, Nabi Sholeh AS, Firaun beserta bala tentaranya dan kaum-kaum  terdahulu yang telah melampaui batas.

Jamaah Jum’ah,

Dengan memahami sesuatu yang mendasar dari ajaran Islam ini, semoga menjadi pedoman dalam memahami permasalahan-permasalahan, baik yang sifatnya kecil maupun yang lebih besar, mengenai negara, mengenai Pancasila atau apapun saja secara benar.

Terkecuali status negara hanya kita jadikan sekedar papan nama, Pancasila hanya kita berlakukan sebatas untuk slogan dan yel-yel saja. Kita bangga memperlakukan Pancasila justru untuk gagah-gagahan tanpa berusaha memahami apalagi menjalankannya. []

 

Menggapai Sebenar-Benar Taqwa, Sesuai Batas Kesanggupan

Materi Khutbah Edisi Jumat Pon, 28 April 2017

Jamaah Jum’ah rohimakumullah,

Di awal khutbah kali ini, masih dalam suasana dan barokah bulan Rajab, Khatib mengajak diri Khatib dan Jamaah sekalian untuk sejenak khusyuk, yakni dengan cara diantaranya sejenak mengambil jeda dari rutinitas pekerjaan keseharian, dengan menjalankan kegiatan sholat jumat sebagaimana yang sedang kita kerjakan saat ini.

Shalawat dan salam tetap kita sanjungkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW. Beliau yang tiada lain adalah andalan kita ketika kelak kita harus menghadapkan wajah kepada Allah SAW, yang dari beliau syafaatnya senantiasa kita nanti-nantikan.

Jamaah Jum’ah,

Pada kesempatan siang hari ini Khotib akan mencoba mentadaburi firman Allah yang termaktub di dalam Al Qur’an yakni pada surat Al Baqarah ayat 208 :  “Yaa ayyuhaalladzina aamanuud khuluu fis silmi kaaffatan walaa tattabi’uu khuthuwaatisy syaithon, innahu lakum ‘aduwwum mubiin”, yang artinya “Wahai orang-orang yg beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan, sungguh ia musuh yg nyata.”

Jamaah Jum’ah,

Khatib mengajak jamaah sekalian untuk mencermati mengapa pada ayat tersebut yang digunakan adalah kata “Silmi”, bukan kata “Islam”? Meskipun antara Islam dan Silmi memiliki akar kata yg sama, tetapi bukankah pada setiap kata yang terpilih pada susunan ayat Al Quran mengandung maksud tertentu yang patut untuk ditadabburi?

Pada susunan kata di dalam ayat tersebut terdapat kata “Silmi”, juga kita jumpai kata “Kaffah”. Silmi mengandung pengertian rasa aman, damai, tenang, muthmainah, yaitu inti nilai dari kesadaran yang dikandung oleh Islam. Sedangkan Kaffah mengandung arti total atau menyeluruh. Tetapi Kaffah juga dapat dimaknai sebagai masuklah secara bersama-sama.

Jamaah Jum’ah,

Perbedaan Islam dan Silmi, Islam itu struktur formalnya sedangkan Silmi adalah kandungan nilai-nilainya. Keseimbangan seseorang dalam beragama adalah membangun struktur formalnya tanpa meninggalkan mengerjakan nilai-nilainya.

Mengerjakan ibadah mahdhah dan muamalah adalah Islam, menebarkan kemanfaatan dari mengerjakan hal tersebut adalah Silmi. Menampilkan Identitas Islam, menebarkan kebermanfaatan Silmi.

Peningkatan kualitas Islam dan Silmi kita kemudian diukur dengan derajat taqwa. Allah SWT sendiri memberi pilihan-pilihan jalan taqwa yang memungkinkan untuk ditempuh, yang antara pilihan-pilihan tersebut harus dijalankan secara seimbang pula.

Pertama, taqwa diupayakan melalui pendekatan ilmu, sebagaimana termaktub dalam Al Quran surat Ali Imron 102,  Ittaqullah haqqa tuqatihi”,   yakni “Bertakwalah kpd Allah dg sebenar-benar taqwa.”

Kedua, Taqwa diupayakan melalui pendekatan amal, sebagai manusia yang merasa penuh  dengan keterbatasan, berhadapan dengan berbagai kelemahan diri, panduannya adalah “Ittaqullah Mustatho’tum” sebagaimana termaktub dalam Al Quran surat At Taghabun:16, yakni “Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah sesuai kemampuanmu”.

Jamaah Jum’ah,

Secara ilmu,  kita dihadapkan pada samudera kebaikan yang diajarkan Islam yang nampaknya tidak mungkin ada yang sanggup diantara kita menjalankannya secara total, secara menyeluruh. Maka marilah kita temukan amal kebaikan yang sesuai batas kemampuan diri kita masing-masing, yang terpenting dalam kita beragama berbuah kemanfaatan bagi sekeliling.

Bahwa yang harus total itu Silmi-nya. Bahwa Silmi harus dimasuki secara bersama-sama. Totalitas dan kebersamaan itu adanya pada ruang nilai, bukan pada dimensi formalistis Islam yang lebih cenderung pada identitas-identias. Maka, hendaknya kita jangan sampai terjebak dalam upaya menuntut diri termasuk juga menuntut orang lain dalam kaitannya beragama secara melampaui batas.[]

Asyura Sepanjang Bulan

Materi Khutbah Edisi Jumat Pon, 20 Oktober 2017

Jamaah Jum’ah rohimakumullah,

Syukur alhamdulillah senantiasa kita haturkan kpd Allah swt. Di mana hingga detik ini kita sekalian masih diberi kenikmatan sehingga dpt memenuhi panggilan sholat jumat pada siang hari ini dlm keadaan sehat, ditengah keadaan dimana pada penghujung bulan Muharram atau orang Jawa menyebutnya dg bulan Sura ini banyak saudara, kerabat, tetangga di kanan kiri kita banyak yg diberi cobaan, baik cobaan berupa sakit dan lain sebagainya.

Dan kita berdoa semoga saudara, kerabat, tetangga kita diberi kekuatan dan kesabaran dlm melewati cobaan demi cobaan. Shalawat salam kepada junjungan kita, panutan dan Imam kita, Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang senantiasa kita harapkan syafaatnya baik selama di dunia hingga akhirat nanti.

Jamaah Jum’ah,

Bulan Muharram atau bulan Sura kata orang Jawa adalah penanda awal tahun baru Hijriah. Tahun kalendernya orang Islam. Kata Sura sesungguhnya berasal dr kata Asyura yaitu nama sebuah hari yaitu tanggal 10 Muharram. Di mana pada hari itu terjadi peristiwa besar dalam tragedi keluarga Kanjeng Nabi, yaitu salah satu cucu kembar atau putra dari Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra yakni Imam Husain dipenggal dan kepalanya di arak ramai-ramai dan menjadi tontonan sejauh 21 km oleh khalifah Yazid bin Muaiwiyah.

Dan peristiwa itu juga sekaligus sebagai penanda akhir dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sesuai Hadist Kanjeng Nabi bahwa Khulafaur Rasyidin tidak lebih berumur 30 tahun.

Peristiwa itu tentu menjadi sebuah peristiwa paling menyedihkan dalam perjalanan kita sebagai umat Islam. Imam Husain, cucu kesayangan dari Rasulullah SAW, panutan dan Imamnya umat manusia rela mengorbankan diri demi menghindari dan meredam peperangan perebutan kekuasaan pada saat itu tetapi tidak terhindar dari peristiwa aniaya.

Dan atas peristiwa kepahlawanan dari Imam Husain itu, setiap umat Islam di segenap penjuru dunia memperingati terhadap hari yang sangat menyedihkan ini. Tentu berbeda-beda ungkapan sedih dan berkabungnya, ada yg memperingati sebagai hari berkabungnya umat Islam seperti di Iran, di Karbala, mereka melakukan drama menyakiti diri sendiri sebagai ungkapan sedih dan dalam rangka ikut merasakan sakit sebagaimana sakitnya Imam Husain. Imam Husain sungguh telah mengorbankan dirinya atas kebengisan dari Khalifah Muawiyah, akhlaknya umat terhadap cucu dari panutannya yaitu Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Jamaah Jum’ah,

Tidak berbeda dengan kita sebagai orang Jawa, ungkapan kesedihan dalam memperingati hari paling berkabung atas cucu Kanjeng Nabi ini bukan hanya tanggal 10 Muharram saja yang kita sebut sebagai Asyura, melainkan sepanjang bulan Muharram kita bertaffakur sehingga kita sebut bulan ini dg bulan sura atau bulan Asyura. Kita tidak rela hati, tidak tega di bulan ini membuat pesta, hajatan atau acara apapun yang nuansanya kebahagiaan.

Keluarga Nabi sedang berkabung kok kita sebagai umatnya malah berpesta pora, sedang kalau tetangga sebelah kita sedang ditimpa musibah saja masa kita tega membuat pesta, nanggap dangdutan keras-keras dan berhura-hura ria.

Ini tentu akhlak. Ini tentang moral sebagai seorang umat. Tidak ada dalil atau hadistnya. Maka kita kenal orang Jawa menghindari menyelenggarakan hajat pada bulan sura. Ora ilok alias tidak elok katanya.

Jamaah Jum’ah,

Khasanah Jawa terkenal dengan pesan-pesan moral yg mampu di ramu dg baik dan penuh piwulang, maka Khotib dan kita sekalian patut bangga dilahirkan dengan darah orang Jawa.

Orang Jawa menyematkan nama penyangga pintu dengan sebutan kusen, kusenan. Kata kusen adalah simbol dari nama Imam Husain dengan dialek Bahasa Jawa di mana sebagai penyangga pintu. Kalau tidak ada kusenan maka pintu tidak bisa tegak berdiri, sedang nama pintu sebagai jalan untuk kita bisa masuk ke dalam ruangan atau rumah. Pintu adalah simbol dari Ali bin Abi Thalib sesuai hadist Nabi :

“Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya dan siapa yang hendak memasuki kota itu hendaklah melalui pintunya”
[HR Al-Hakim dan Ibnu Ma’in]

Melalui kecerdasan Imam Ali lah banyak ilmu Rasulullah terjelaskan melalui hadist-hadist periwayatan. Dan melalui Imam Ali bersama putri kesayangan Fatimah Az-Zahra lah keturunan Rasulullah bisa diturunkan hingga sekarang yang kita kenal sebagai para Habaib.

Jamaah Jum’ah,

Sedemikian apiknya, orang jawa membuat sanepan penuh piwulang. Maka apabila ada yg njawal dengan mengatakan bahwa bulan Sura itu sama saja, sebab semua hari atau bulan itu baik, maka orang itu berarti tidak memahami piwulang tentang apa itu ora ilok.

Khotib setuju bahwa semua hari itu baik, seperti halnya Allah menciptakan semua jenis kayu, tentu semua jenis kayu itu baik. Namun, ketika kita akan membangun rumah misalnya, tentu jenis-jenis kayu yang semuanya baik itu pasti terlebih dahulu dipilah-pilah, mana yang pas untuk tiang, mana kayu yang kokoh untuk penglari, mana kayu yg cocok untuk usuk, reng dan lain sebagainya. Kalau salah perhitungan, tiang menggunakan kayu alba sementara usuk menggunakan kayu yg keras, maka siap-siaplah rumah ambruk dalam waktu yang tidak begitu lama.

Begitupun dengan hari, tentu semua hari itu baik, tetapi mana yang paling tepat untuk keperluan menyelenggarakan hajat dan mana yg kurang tepat tentu ada perhitungan.

Jamaah Jum’ah,

Dalam memaknai segala hal tdk bisa kita hanya mengandalkan dalil, fiqih, atau hukum saja. Tetapi ada tingkatan lain di atasnya yaitu akhlak atau moral. Meskipun tidak ada dalil, selama tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip fikih maka akhlak bisa menjadi acuan sikap. Fiqh itu mengajarkan benar dan salah, sedangkan akhlak itu mengajarkan tentang baik dan buruk, termasuk ilok dan ora ilok.

Dan atas semua itu semoga kita mampu meramu fiqh dan akhlak dengan baik. Hingga pada akhirnya semoga kita mampu memahami tingkatan paling puncak dalam setiap sikap kita yaitu tingkatan taqwa. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bertaqwa. Sikap dan pertimbangan tingkah lakunya dengan pertimbangan taqwa. Sikap dan pertimbangan tingkah lakunya sejalan dengan apa yang Allah kehendaki.

Dan semoga tahap demi tahap kita diberi kemampuan dan dituntun lewat hidayahnya Allah SWT.

Amiiin Amiin.. Ya Robbal ‘Alamiin.[]