Simpul Maiyah dan Kepengasuhan

Berita Silatnas Penggiat Maiyah II

Silaturahmi Nasional Penggiat Maiyah tahun ini telah digelar pada 4-6 Desember 2015 lalu. Sebagai tuan rumah adalah Simpul Maiyah Maneges Qudrah, Magelang. Dengan mengambil tempat di Brambang Salam Resto, Kabupaten Magelang kegiatan ini dihadiri oleh 19 simpul Maiyah dari seluruh Indonesia dengan jumlah delegasi lebih dari 150 orang.
Kegiatan diawali di hari Jumat petang dengan penampilan Waro’ Bocah dari Komunitas Lima Gunung, Magelang yang merupakan asuhan Tanto Mendut sebagai pagelaran penyambutan selamat datang. Agenda malam harinya adalah pembukaan Silatnas dilanjutkan dengan sarasehan. Sarasehan diisi dengan sharing dan sambung rasa dimana masing-masing simpul mengemukakan progres dan usulannya kepada koordinator Isim Maiyah Nusantara. Acara sarasehan ini diiringi dengan grup musik Jodho Kemil, Magelang.

Agenda hari berikutnya, para penggiat melakukan tatap muka dengan Dzat Maiyah, yakni beliau Muhammad Ainun Nadjib, Ahmad Fuad Efendy dan Nurshomad Kamba. Topik yang disampaikan penggiat menyeluruh dan runut meliputi progress dan karakteristik simpul Maiyah, dilanjutkan dengan wacana keorganisasian Maiyah ke depan, wacana pengembangan perekonomian serta wacana interaksi sosial.

Selanjutnya secara interaktif, Dzat Maiyah memberikan tanggapan dan arahan. Butir-butir tanggapan dan arahan yang bersifat umum, diantaranya adalah sebagai berikut :

Tanggapan dan arahan dari Nurshomad Kamba diantaranya adalah :

  1. Mengingatkan kembali bahwa Maiyah adalah jalan sunyi. Jalan sunyi bukan jalan pengasingan yang sepi. Jalan sunyi berarti adalah sekalipun di kerumunan ramai, Maiyah memiliki cara pandang yang otentik yang seringkali berbeda sendiri.
  2. Dalam Maiyah yang dijaga adalah kesungguhan dalam bersholawat. Karena sholawat adalah keberkahan bagi Indonesia. Sholawat yang dimaksud bukan sekedar lafadz dan nyanyian. Tetapi penghormatan dan pengagungan kepada Nabi Muhammad secara sungguh-sungguh.
  3. Dalam Maiyah kita hendaknya terus sibuk menndalami akhlak Nabi. Akhlak Nabi Muhammad adalah Akhlak Al-Quran, dengan mengenali dan menemukan persepsi yang tepat tentang Nabi Muhammad adalah bagian dari mempelajari Al-Qur’an.

Tanggapan dan arahan dari Ahmad Fuad Effendy diantaranya adalah :

  1. Maiyah dihimbau memiliki metode penyelesaian konflik yang sesuai dengan paradigma Al-Quran. Penyelesaian konflik tidak dilakukan dengan debat terbuka, tetapi dengan menghadap Allah berdua-dua (dengar pendapat yang baik) atau kalau tidak bisa, dengan menghadap Allah sendiri (melakukan perenungan masing-masing).
  2. Maiyah adalah wujud menjalankan agama dengan benar. Dimana agama itu memudahkan bukan mempersulit, bukan pula mencari-cari kemudahan.

Tanggapan dan arahan dari Muhammad Ainun Nadjib diantaranya adalah :

  1. Dunia adalah permainan belaka. Akan tetapi harus diingat, tidak ada permainan yang tidak serius. Bukan berarti serius adalah tidak fun. Oleh karenanya, sekalipun Maiyah menyadari bahwa dunia hanyalah permainan, tetapi kita hendaknya memainkannya dengan seserius mungkin.
  2. Apa yang sudah Dzat Maiyah berikan kepada para penggiat, silahkan dikelola dengan leluasa. Tidak ada instruksi dan batasan khusus. Penggiat Maiyah dipercaya bisa menemukan sendiri batasan-batasannya.
  3. Maiyah tidak perlu memusingkan kondisi dimana produk Maiyah diterima, tetapi identitas Maiyah tidak diterima. Sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad, identitas tidak primer, yang primer adalah pelayanan.

Sesi pertemuan Dzat Maiyah dengan penggiat dari masing-masing simpul berlangsung dari pagi hingga petang. Pada malam harinya dilanjutkan dengan sesi diskusi masing-masing bidang bersama Toto Raharjo, Sabrang Mowo Damar Panuluh dan beberapa fasilitator lain. Delegasi Silatnas dibagi dalam empat bidang bahasan yakni : Politik, Ekonomi, Pendidikan dan Literasi. Pembahasan pada sesi ini berlangsung hingga dinihari.

Pada hari terakhir, sesi dilanjutkan dengan pembacaan Rekomendasi Silatnas II yang merupakan hasil penggodogan bidang per bidang yang telah dibahas sebelumnya. Kemudian menjelang tengah hari, tibalah saatnya melaksanakan penutupan kegiatan.

Pasca Silatnas II di Magelang ini, diharapkan masing-masing simpul diharapkan menemukan formula kepengasuhan yang substantif. Sebagai tindak lanjut teknisnya, dalam waktu dekat akan digelar Workshop Kepengasuhan di Rumah Maiyah, Yogyakarta.[] Rizky/RedJS

Membangun Kepengasuhan Perkauman Maiyah

Menyambut Silatnas Penggiat Maiyah 2015

Majelis Ilmu Maiyah digagas dan dibangun dengan terkandung cita-cita di dalamnya selain sebagai media tukar pikiran, tempat untuk menggodog gagasan, sarana untuk menggembleng cara berpikir, wahana untuk mengolah rasa, serta bisa saja perkembangannya untuk merancang strategi, juga diharapkan akan melahirkan manusia-manusia maiyah yang memiliki greget atau ghirah (compassion) yang berjiwa kepengasuhan baik bagi dirinya, keluarga, maupun komunitas di sekelilingnya.

Kita sangat sadar bahwa untuk menuju cita-cita itu bukanlah kerja semudah membalik tangan. Dibutuhkan prasyarat-prasyarat berupa sistem pendukung yang memadai. Fungsi mengelola dan mengolah pengalaman secara terus menerus harus berjalan dengan baik, sehingga tidak hanya sekadar mereproduksi pengetahuan yang sudah usang, tetapi juga memproduksi pengetahuan baru yang lebih bermakna dan berdayaguna.

Seorang pengasuh tidak hanya seperti seekor laba-laba yang membuat jejaring mirip seorang penenun, atau seekor lebah yang mirip arsitek yang sedang merancang satu kontruksi bangunan.

Seorang arsitek berbeda dengan seekor lebah karena sang arsitek memiliki rancangan sebelum merealisasikan gagasannya. Meskipun lebah sangat ahli mengidentifikasi bunga-bunga yang dibutuhkan untuk memproduksi madu, namun tetap saja makhluk itu hanya sebatas melakukan ‘adaptasi’ terhadap lingkungan alamnya. Manusia Maiyah justru ‘memaknai’ lingkungannya untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Walaupun laba-laba sangat terampil membuat jejaring dan lebah ahli memproduksi madu, laba-laba tetaplah laba-laba dan lebah tetaplah lebah, keduanya tidak akan dapat menjadi lebih dari laba-laba dan lebah.

Saya tidak ingin mempertandingkan antara laba-laba dan lebah dengan manusia — karena, dalam masa kapanpun dan keadaan apapun, laba-laba tidak terpengaruh dan berubah, tetap saja harus membuat jejaring seperti sediakala. Demikian juga lebah, tetap mengikuti irama alam untuk memproduksi madu. Berbeda dengan seorang pengasuh yang tidak serta merta dan dengan sendirinya menghasilkan suatu karya bersama umat manusia lainnya. Ada banyak faktor yang mendasari dan mempengaruhi karya kepengasuhan, yakni mengikhtiarkan tatanan kehidupan yang Baldatun Tayyibatun Warabbun Ghafur.

Kerja-kerja kepengasuhan Maiyah di masyarakat akan semakin menghadapi berbagai perubahan, kesulitan, dan tantangan yang kian majemuk. Melihat realitas orang-orang Maiyah yang kini pada umumnya memilih berada di wilayah ‘pinggiran’, secara kultural biasanya juga secara geografis — jauh dari pusat-pusat arus utama sosial-politik dan ekonomi berkuasa, menghadapi berbagai carut-marut serta ingar-bingar kehidupan kontemporer modern. Semuanya itu dengan sangat mudah menjebak seorang “pengasuh” merasa terperangkap dalam ‘kesunyian’. Apalagi jika dia memang ternyata juga dilahirkan oleh zaman dari masa dan lingkungan kehidupan yang ‘bernafas pendek’ dan cenderung menyukai ‘jalan pintas’. Hanyalah greget atau ghirah (compassion) seorang pengasuh masyarakat yang mampu bertahan menghadapi seluruh tatanan kehidupan kita saat ini, suatu tatanan kehidupan yang cenderung semakin pragmatis. Pengalaman menunjukkan bahwa  gregetatau ghirah (compassion) semacam itu semakin berat, rumit, bahkan terkadang terasa musykil ditumbuhkan di zaman yang kian memuja berhala kebendaan.

Semakin ke depan, permasalahan yang dihadapi para pengasuh Maiyah jelas makin berat. Tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya modern saat ini dan di masa depan jelas makin menjauh dari ukuran-ukuran kebersamaan kolektif (perkauman Maiyah). Karena dalam kenyataannya, warga masyarakat kita semakin asik menyaksikan televisi di ruang tengah rumah masing-masing. Untuk mengajak mereka berkumpul dan bertukar pikiran menjadi suatu pekerjaan yang kian repot dan susah. Perbincangan langsung tatap-muka nyaris sudah tergantikan oleh pembicaraan melalui telepon genggam. Bahkan sampai ke pelosok desa terpencil pun, semakin banyak warga yang mengkonsumsi barang-barang yang tidak mereka hasilkan sendiri. Boleh dikata, seluruh tatanan nilai dan keyakinan tradisi, bahkan selurah gambaran tentang martabat, harga diri, dan cita-cita telah melesat justru ke arah yang berlawanan dari nilai-nilai kepengasuhan maiyah.

Bahkan institusi negara yang semula dibentuk untuk melindungi proses-proses daya kreatif dan produktif warganya, malah semakin cenderung membiarkan bahkan mendorong warganya untuk memamah apa saja yang sudah dihasilkan oleh ‘mesin-mesin kekuasaan raksasa’ bernama sistem pasar, partai politik, dan media massa. Sampai tingkat tertentu, dalam banyak hal, mesin-mesin mass production itu bahkan telah mempencundangi negara, sehingga tak heran jika ada yang mulai mempertanyakan: “Apakah negara memang masih ada dan perlu?”

Maka membayangkan perwujudan kehidupan Maiyah merupakan tantangan di masa kini dan mendatang. Ada yang telah mencibir dan mencabar cita-cita itu sebagai tak lebih dari suatu utopia, mimpi yang tak pernah tergapai.

Namun orang-orang Maiyah sudah terbiasa dengan segala macam keterbatasan, seluruh kelemahan, kekurangan bahkan juga kesalahan mereka selama ini, dan itu bukanlah dosa apalagi kejahatan. Maka pengakuan jujur atas seluruh kekurangan, kelemahan yang akan diutarakan dalam Silaturahmi Nasional Penggiat Maiyah di Magelang justru merupakan penolakan terhadap pembohongan atau penelikungan terhadap kenyataan bagi diri sendiri. [] RedJS

Selamat Bermesraan Melingkar,
Toto Rahardjo (Tohar)

Sumber : https://www.caknun.com/2015/membangun-kepengasuhan-perkauman-maiyah/