‘Ejakulasi Dini’ Menyimpulkan

Sebuah percakapan di internet mengomentari tentang sebuah artikel tulisan bunyinya begini :

X : Profesor yang menulis artikel di atas saya cari tidak ada. Wah, artikel ngarang ini pasti.
Y : Anda tidak menemukan profesor itu? Wah, berarti pencarian anda masih terbatas. Jangan terburu-buru menyimpulkan ‘ngarang’.

Tanpa sadar kita sering ejakulasi dini dalam menyimpulkan segala sesuatu. Padahal penelusuran kita masih terbatas. Budaya riset memang saat ini seperti kabur dari bagian dari keseharian. Yang berkembang justru budaya vonis : ini pasti benar, itu pasti salah. Padahal kebenaran tidak selalu berbentuk sebuah bundle paket siap saji yang tinggal kita lahap. Seringkali kebenaran adalah racikan bahan-bahan informasi yang harus kita ‘rajang-rajang’, kita ulek, kita adon, kita goreng, kita tiriskan, baru bisa dilahap sebagai sebuah kebenaran.

Misalnya, bagi orang yang anti informasi dari internet. “Informasi dari internet itu tidak bisa dipakai, karena tidak teruji kebenarannya!”, begitu kira-kira. Mari kita cermati ada dua komponen dalam kalimat tersebut.
1. Informasi dari internet tidak bisa dipakai
2. Informasi dari internet tidak teruji kebenarannya.

Karena tidak teruji kebenarannya maka informasi dari internet tidak bisa dipakai. Maka akan berlaku, kalau ada yang menguji kebenarannya, maka informasi dari internet dapat dipakai. Betul begitu bukan?

Maka sikap antipati terhadap informasi yang ada di internet adalah sebuah bentuk ‘amputasi’ yang memangkas potensi sumber-sumber kebenaran yang mungkin akan bisa kita ulek, goreng dan sajikan nantinya. Informasi dari internet dapat difungsikan sebagai pemantik sumber kebenaran, sebagai hipotesis untuk memulai pengujian dalam rangka menelusuri sebuah kebenaran.

Orang yang memiliki budaya riset, jiwa Iqra, semangat niteni, tidak akan mudah menghakimi sesuatu pasti benar dan pasti salah, pasti berguna dan pasti tidak berguna. Tapi akan memiliki keberanian untuk menerima sesuatu yang belum tentu benar, untuk diteliti lebih lanjut begitu pula sesuatu yang belum tentu salah untuk diteliti lebih lanjut.

Kepercayaan diri kita menempatkan diri pada posisi sebagai subyek peniliti kebenaran, membuat kita tidak mudah disuapi oleh dogma-dogma yang terlihat seperti benar, tapi sebetulnya menyimpang. [] Rizky Dwi Rahmawan

:: Rizky Dwi Rahmawan | @Rizky165 ::