Hidup Menggenggam Falsafah

“Apakah acara rutinan Maiyahan harus selalu berlangsung sampai pagi dini hari?”, tanya seseorang kepada Moderator Karyanto beberapa saat sebelum Juguran Syafaat dimulai. Sesederhana apapun sebuah pertanyaan terlontar, yang sedang terjadi adalah kegiatan berpikir atau olah-nalar. Dengan bertanya, maka seseorang sesungguhnya sedang mendayagunakan akal-budi, imbas dari terasahnya mesin bertanya kemudian adalah seseorang menjadi terbebas dari jebakan taqlid pada sesuatu kebiasaan yang sudah dianggap baku.

Rundown Juguran Syafaat pra-pandemi yang sudah berlangsung sekitar 7 tahun dirasa oleh beberapa penggiat adalah hal yang sudah menjadi baku. “Jika materi dan dinamika sambung rasa di dalamnya memang sangat padat, pilihan meringkas waktu membuat durasi jauh lebih pendek bukanlah pilihan bijak.”, ujar penanya sebelum Karyanto sempat memberikan jawaban.

“Akan tetapi kenyataannya, tadarus, sholawat, diskusi, curhat, banyolan, dan ‘performance talent’ selama ini mengalir dengan cukup baik-baik saja.”, ujarnya lagi. Forum berlangsung dengan baik-baik saja padahal durasi dipangkas. Wajar saja. Sebab hal itu dilakukan bukan karena evaluasi internal, tapi karena adaptasi terhadap pandemi Covid-19 melahirkan masifnya budaya daring. Perjumpaan daring memaksa kita untuk berhemat ruang, waktu, dan ubarampe acara yang condong seremoni belaka.

Pada paragraf di atas sudah tergambarkan si penanya telah menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Karyanto selaku pihak yang ditanyai bahkan belum sempat menjawab apa-apa.

Sambil detik-detik menuju on air, si penanya masih berujar dengan sedikit berbisik. “Paling yang hilang adalah duet ibing-ibingan Pak Titut dan Mbah Hadi alias “Tom and Jery” untuk sementara waktu tidak bisa kita saksikan.”

Menyediakan Lapangan Kerja bukan Kewajiban Negara?

Prinsip hemat ruang dan waktu rupanya membuat Kukuh langsung tancap gas bicara panjang lebar tentang UMKM dan pemulihan ekonomi nasional, setelah sebelumnya basa-basi pembuka Juguran Syafaat (10/10) secara singkat disampaikan oleh Naim sang pembaca acara sesi pembukaan. Menurut Kukuh, UMKM merupakan sektor ekonomi mandiri yang vital karena berkontribusi bagi pendapatan masyarakat luas sekaligus mengurangi beban belanja rutin pemerintah. Maka, untuk mencegah kemungkinan buruk resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19, stimulus fiskal bagi sektor UMKM menjadi sangat penting.

Diskusi di awal sesi yang biasanya mengupas persoalan ringan sehari-hari, malam itu mendapat porsi kecil. Rizky, yang juga sudah malang melintang di dunia fasilitasi social entrepreneurship sejak sedekade lalu, terpantik merespons dengan sedikit nge-gasss. Menurutnya, salah satu kewajiban dan tanggung jawab negara adalah mensejahterakan masyarakat, yaitu dengan menyediakan lapangan kerja. Hanya saja kemudian masyarakat kita itu temua (dewasa). Jadi, dari pada menunggu pembukaan lapangan kerja oleh pemerintah, masyarakat kita berinisiatif hidup mandiri mengupayakan ekonomi melalui apa yang disebut sebagai sektor informal.

“Dengan demikian artinya negara telah gagal?”, sela Karyanto agak nylekit.

“Kalau negara bisa rumangsa, seharusnya mereka malu dan berterimakasih, sebab rakyat banyak yang begitu temuwa”, jawab Rizky diplomatis.

Sudah kita ketahui bersama bahwa pola pendidikan arus utama di negara kita adalah mencetak tenaga terdidik (white collar employee) untuk mengisi pos-pos dunia industri dan sektor-sektor formal lainnya seperti tenaga kesehatan, pendidikan, dan birokrasi pemerintahan.

Kemajuan IPTEK melalui otomatisasi dan teknologi robot serta bonus demografi di sisi lain, meniscayakan angkatan kerja produktif tidak terserap sepenuhnya. Oleh karena itu sektor UMKM menjadi kanal alternatif untuk menyelamatkan perekonomian nasional.

Bagi yang sejak awal atau sejak muda secara sadar sudah memilih jalur wirausaha dengan merintis bisnis sebagai sandaran nafkah hidupnya, segala problematika bisnis tentu lebih bisa dihadapi dengan sigap dan enjoy. Pastinya, sejak awal juga sudah menetapkan secara cermat fundamen bisnisnya: segmentation, positioning, targeting. Sehingga tidak akan menemui hal-hal yang lucu, seperti produk ‘low-end’ ingin menembus pasar ‘high-end’, dan atau sebaliknya produk ‘high-end’ malah nyasar pasar ‘low-end’.

Hilmy Nugraha, founder Hompimpaa, malam itu memberi ‘warning’, “Jika kualitas produk kita sudah bagus tapi harganya masih ditawar oleh konsumen, berarti kita salah target pasar. Kita perlu mencari dan membuka akses pasar yang lebih acceptable. Dan yang sedang merintis bisnis, kita perlu ‘skill up’ agar bisa meningkatkan mutu produk dan memperkuat branding supaya lebih marketable.”

Soal perilaku konsumen yang gemar menawar, Fikry punya kisah dan pembelajaran yang menarik. Menurutnya, jika kita bermain pada ceruk pasar menengah-bawah, tawar-menawar harga menjadi sesuatu yang lazim kita jumpai. Psikologi pasarnya sangat sensitif harga. Oleh karena itu kita harus naik kelas dengan membenahi sisi produk, branding, dan target pasar.

Mindset atau pola pikir produsen juga harus ikut dibenahi. “Ada rupa, ada harga”. Untuk mendapatkan kualitas produk dan brand positioning yang kuat, seseorang juga harus mau melakukan effort dan mengeluarkan biaya yang sepadan.  Maunya tampil ekslusif tetapi menyediakan ongkos touch up­-nya ‘cere-cere’ (amatiran), ya repoot! Jadi, psikologi produsen juga perlu dirombak total, begitu kata pemilik studio Java Exposure.

Di malam itu, perhatian Penggiat Maiyah tertuju pada Kukuh Prasetiyo. Posisinya sebagi pendamping atau fasilitator dalam asosiasi UMKM Banyumas memancing rekan-rekan Penggiat urun pendapat. Dengan tangkas bak deputi bidang ekonomi dan melalui retorika meliuk-liuk laksana jubir pemerintah, Kukuh menjelaskan, menginformasikan, meluruskan, dan menampung argumen yang datang bertubi-tubi. Dikatakan olehnya, saat ini dirinya bersama asosiasi UMKM sedang fokus pada tiga tahap kegiatan pokok, yaitu:
1. Meningkatkan kapasitas SDM dan unit usaha.
2. Memperkuat legalitas dan pembiayaan.
3. Memperkuat promosi dan pemasaran.

Falsafah Penjual Balon

Tema “Filsafat Orang Biasa” ini sangat menarik. Sekali lagi, sangat menarik. Menarik dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan basa-basi untuk mbombongi ‘tim dapur’ Juguran Syafaat. Perintah kitab suci Al Quran agar manusia berpikir atau menggunakan akal sudah sering kita dengar dari para ustadz: iqra. Baru-baru ini, perintah tersebut juga nyaring disuarakan oleh Bu Tejo, “Saiki mbok yo do mikir!”

Manusia yang berfilsafat adalah manusia yang memanfaatkan anugrah akal dan memfungsikannya sebagai alat untuk memproses rahmat Tuhan agar dapat menjadi maslahat. Berfilsafat bisa mulai dari yang ringan atau biasa—mempertanyakan lebih nikmat mana, makan mie ayam pakai sendok atau yang pakai sumpit?—sampai filsafat yang sophisticated—mencari kebenaran (logika), kebaikan (etika), dan keindahan (estetika).

Proses mencari kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang sepintas kilas kelihatan berat, tiba-tiba menjadi pelajaran renyah dan sesuatu yang sehari-hari bila disampaikan oleh Pak Titut. Setiap edisi juguran, Pak Titut selalu membawa kisah-kisah sarat makna yang diambil dari rutinitas hidup dan interaksi sosialnya bersama orang banyak. Kisah pertemuannya dengan sosok bersahaja si penjual balon dibawakan apik sekali. Kocak, menghibur, dan terselip muatan falsafah yang menyentuh hati.

“Aku dodol balon olih duit sewidakewu wis ngebul. Lumayan. Terus, jam loro esih teyeng undha-undha layangan”, begitu kata si penjual balon, yang dikisahkan Pak Titut malam itu.

Dalam kesempatan tersebut, Mas Agus Sukoco menganalogikan filsafat sebagai akar pohon. Landasan filosofi atau akar yang kuat dan dalam itu menjadikan sebatang pohon bisa tumbuh kokoh. Tetap tenang meski angin dan badai menerjang. Menjadi pribadi yang teguh, tidak gampang terombang-ambing oleh sesuatu yang berasal dari luar dirinya.

Yang khas dari filsafat orang Timur, menurut Mas Agus, adalah selalu bermuara pada kebersamaan atau harmoni sosial. Kebersamaan dengan sesama manusia dan juga kebersamaan dengan alam semesta seisinya.

Petani bergaul mesra bersama padi di sawah dengan menyebut Dewi Sri, dan atau berserumah dengan Den Bagus (tikus) di sudut-sudut ruangan adalah bentuk pergaulan hidup yang sangat harmonis. Pemikiran filosofis Jawa tidak pernah me-liyan-kan makhluk ciptaan Tuhan yang selain manusia. Bertolak belakang dengan renaisans dalam filsafat Barat, titik mula kelahiran modernisme, yang sangat mengagungkan rasionalisme.

Rasionalisme barat memposisikan diri manusia sebagai makhluk superior, penguasa dunia paling unggul. Binatang, tumbuhan, dan mineral alam hanya makhluk inferior yang berfungsi untuk memenuhi nafsu materialisme dan hedonisme manusia. Adapun eksistensi Tuhan sudah dikebiri dan dikrangkeng di dalam rumah ibadah.

Diakhir sesi, Febri mencoba menggarisbawahi realitas peradaban kontemporer. Dua kutub peradaban yang pincang. Di kutub Barat, akal-budi sangat dominan dan eksistensi Tuhan termarjinalkan. Sains alam dan sains sosial berkembang pesat. Peradaban dan kebudayaan yang menihilkan Sang Maha Subjek rentan terjerumus ‘hubbud dunya’.

Di kutub Timur, eksistensi Tuhan sangat kuat, tapi dipahami dengan sangat rigid. Yang paling parah, Tuhan dan Islam diperlakukan sebagai identitas, bukan personalitas atau kepribadian. Banyak persoalan sepele dan profan di tengah masyarakat yang melibatkan (atas nama) Tuhan terlalu jauh. Lupa dengan tugas ijtihad manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Ditambahkan oleh Rizky, kalau Dewi Sri di budaya timur masih kental dikenal kleniknya. Di Barat justru SRI sedang sangat diuri-uri. Sektor usaha Social and Responsibility Investment (SRI) meningkat signifikan angka kapitalisasi investasinya. Juguran Syafaat kemudian ditutup dengan Hasbunallah, dilanjutkan dengan bincang-bincang santai, medangan dan rokokan. [Febri Patmoko/RedJS]