Mukadimah: ROBBI LAA TADZARNI FARDAN

Manusia sejatinya adalah makhluk kebersamaan. “Gunung Slamet njeblug orapapa, asal matine bareng-bereng”, Mas Agus Sukoco menuturkan seloroh dari sebuah percakapan dari orang di desanya. Ungkapan di atas menggambarkan bahwa sebesar apapun masalah itu sejatinya kalah penting, dibandingkan pentingnya situasi bersama-sama.

Situasi psikologis tersebut relate dengan fenomena hari ini dimana krisis kesehatan mental yang masih terus menggejala. Jangan-jangan, yang lebih efektif dalam mengembalikan mental health bukanlah dengan upaya analisis problem solving. Melainkan terlebih dahulu memulihkan kondisi teralineasi, rasa disendirikan, situasi batin yang terasa berjarak dengan sekeliling.

Itulah mengapa semangat meleburkan perbedaan harus tak pernah bosan kita gencarkan. Keberagaman bukan melulu topik lintas agama, kebhinekaan tidak sebatas kampanye kerukunan antar etnis, tetapi lebih lembut lagi yakni pada semangat meleburkan segala bentuk situasi psikologis yang menciptakan sikap batin berjarak-jarakan antara satu pribadi dengan lainnya.

Kerukunan dalam berinteraksi antara pribadi satu sama lain yang berbeda identitas, berbeda latar belakang, berbeda visi, berbeda habit, berbeda ritme dan tensi, berbeda pengalaman dan jam terbang, berbeda wawasan dan tingkat pengetahuan, berbeda skor IQ, berbeda taraf kemapanan, berbeda kecenderungan temperamental, berbeda rekam jejak pergaulan, berbeda pencapaian prestasi, berbeda tingkat endapan traumatik kehidupan, berbeda tipologi kepribadian dan bakat keuangan, berbeda kemampuan mengekspresikan, berbeda amalan yang terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, serta perbedaan-perbedaan lainnya.

Bersama-sama kita akan mewaspadai lagi setiap sikap diri yang berpotensi mengalineasikan orang lain, tak henti-henti untuk nguri-uri naluri kebersamaan, serta memohon hidayah pemahaman dari Allah yang lebih baru tentang kebersamaan diatas belief system yang kita anut hari ini dengan melingkar di edisi ke-116 Juguran Syafaat.

Mukadimah: MENGHIKMAHI KEBERHASILAN

Kalau urusannya menghikmahi kegagalan, kita sudah sarjana, master malahan. Saking begitu akrabnya dengan kegagalan, sampai seolah-olah berhasil ‘is not my right’.

Mode yang diyakini kebanyakan kita hari ini, kalau mau berenang-renang ketepian maka harus berakit-rakit ke hulu dahulu. Kalau mau berhasil menjadi maestro di suatu bidang harus menempuh puluh, ratus bahkan ribu anak tangga kegagalan.

Hanya diri kita sendiri yang paling tahu, apakah keberhasilan level maestro yang sedang kita kejar. Atau sebetulnya cukuplah keberhasilan sederhana, keberhasilan yang sehari-hari?

Bersama-sama kita akan melingkar mengakrabi keberhasilan-keberhasilan yang seringkali datang dan berlalu bersama euforia tanpa merasa perlu menelaah dan memformulasikan untuk menciptakan peluang keberhasilan berikutnya, di Juguran Syafaat edisi ke-104

Mukadimah: POPULER EFEKTIF

Cara manusia berkomunikasi satu sama lain terdisrupsi maksimal oleh hadirnya hidayah Tuhan bagi umat manusia berupa digital media. Disrupsi komunikasi di satu sisi membawa revolusi pemerataan informasi, di sisi lain ia juga membawa ‘sampah-sampah’ budaya, pencitraan. dan sesuatu yang over-rated menjadi marak.

Pengaruh etnologisnya adalah orang-orang baik menjadi enggan bahkan muak untuk menjadi terkenal. Enggan berbondong-bondong untuk ikut menempuh aksi panjat sosial seperti halnya orang kebanyakan. Maka, tak heran jika lalu-lintas komunikasi sudah se-masif hari ini, tetapi acara-acara ajang pencari bakat tetap saja masih diperlukan. Sebab memang banyak orang berbakat berkualitas memilih menyembunyikan diri.

Padahal, antitesa dari enggan menempuh upaya menjadi terkenal bukanlah memilih untuk menyembunyikan diri. Tetapi versus dari penempuhan jalur terkenal narsistik adalah menentukan kadar pengenalan diri yang paling efektif-fungsional bagi kontribusi atas skill dan potensi yang kita miliki. Sesiapa yang memerlukan apa yang sebetulnya diri kita mampu semudah mungkin mereka menjumpai alamat kita.

Bersama-sama kita akan melingkar di Juguran Syafaat edisi November 2020 Live! di Youtube Channel: Juguran Syafaat

Mukadimah: HAFALAN KESIMPULAN

Orang semakin tidak percaya diri menjalani prosesnya, sebab kian hari kian banyak dijumpai tampilan slide presentasi perjalanan sukses yang orang lain buat dan itu nampak begitu memukau. Padahal slide adalah ruang yang begitu terbatas untuk menampilkan gambaran sebuah proses secara lengkap, rincian alurnya serta lapis-lapis rasanya tak sanggup termuat keseluruhannya. Paling-paling yang sanggup tertampil hanyalah kumpulan kesimpulan-kesimpulannya saja.

Kesimpulan hasil penempuhan proses orang lain adalah salah satu pilihan bahan belajar yang berguna bagi diri kita. Akan tetapi, proses diri sendiri di dalam tahap-tahap penentuan keputusan, mengolah interaksi dengan lapis-lapis perasaan yang timbul karenanya serta mensikapi asa yang di satu waktu begitu terang dan di waktu lain gelap tak ada harapan, jangan dilupakan bahwa semua itu adalah bahan belajar yang jauh lebih bisa diandalkan.

Rute setiap orang bisa berbeda, jarak yang ditempuh pun berbeda. Presentasi yang terlihat memukau, pencapaian yang nampak hebat menjadi tidak berguna apabila kita tidak dapat menggunakannya dengan tepat akibat kita gagal mengenali sudah di titik mana hari ini kita sebetulnya sedang menempuh proses. Juga ketika kita tidak dapat menyelaraskannya dengan akan ke mana kita melanjutkan proses hidup kita ke depan.

Mukadimah: DUNYA LA TARHAM

Kok, waktu berjalan terasa begitu cepat? Cobalah toleh orang di kiri kanan dan tanyakan, ternyata banyak dari mereka pun merasa yang sama. Sebuah kebetulan belaka, atau fenomena apakah perasaan kolektif seperti ini? Mungkin fenomena ini adalah salah satu bagian dari sikap dunia. Dunia sedang ingin menunjukkan dirinya bahwa ia tidak lagi berpihak pada kita, kepada umat manusia. Sehingga waktu mempersempit diri, tidak lagi terasa leluasa.

Padahal zaman semakin maju, semakin tak terhitung pencapaian-pencapaian modern yang sudah berhasil di buat umat manusia. Salah satu pencapaian kemajuan itu adalah kita dimanjakan dengan gaya hidup malas. Hingga kenapa sebagian orang ingin kaya? Agar bisa membeli gaya hidup malas. Dunia seolah ada di pihak kita, mau memfasilitasi manusia untuk menjadi malas. Akan tetapi, ternyata malas itu adalah sebuah jebakan. Sebab dunia kini memberlakukan hukumnya : hukum kompetisi.

Kesempatan-kesempatan hanya berpihak pada segelintir orang. Mereka harus berebut untuk lolos. Dan hanya yang beruntung, atau yang sungguh-sungguh, atau yang banyak pahala, atau yang rajin tirakat saja yang pada akhirnya lolos test kemampuan dasar di dalam kompetisi hidup. Sementara terhadap dunia yang semakin menunjukkan sikap tidak berpihaknya, kita tak kunjung sempat bernegosiasi atau sekedar omong-omong untuk ngemong. Malahan kita satu sama lain justru membuat kesibukan sendiri. Yakni sibuk menunjukkan ketidakberpihakan satu sama lain dengan sesama kita. Dari politik sampai ekonomi, ada saja jalan untuk membuat dalihnya.

Memang, menunjukkan ketidakberpihakan itu sebuah hal yang bisa memacu adrenalin. Sensasinya bahkan melebihi sekedar naik kapal setan, tornado dan roller coaster. Ini lebih menantang, lebih menyenangkan.[]