Budaya ketimuran, demikian ciri khas yang melekat kepada bangsa kita. Ciri khas ketimuran identik dengan kecerdasan internal. Begitulah memang masyarakat Bangsa ini memiliki kecerdasan internal yang terawat hingga kemudian terpatri dalam berbagai falsafah-falsafah hidup.
Di Sunda ada falsafah “Silih asah, silih asih, silih asuh”. Falsafah tersebut mengandung pesan bahwa cinta kasih kepada Tuhan hendaknya dimanifestasikan dalam bentuk cinta kasih kepada sesama.
Kemudian di tanah Melayu berkembang falsafah “Yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing”. Dari falsafah tersebut betapa tergambar kehidupan bersama yang bukan hanya rukun dalam arti nir-konflik, tetapi juga ada nilai kesetiakawanan yang dijunjung tinggi.
Makna yang tidak jauh berbeda juga terejawantahkan di dalam falsafah yang dimiliki orangJawa yakni, “Mangan ora mangan sing penting ngumpul”. Betapa kebersamaan lebih dijunjung tinggi daripada upaya perolehan materiil.
Hal tersebut senada dengan falsafah yang dipegang oleh orang Ambon“Kalo hidop orang basudara, sagu selempeng pata dua.”
Kebersamaan juga kerukunan memang sudah menjadi falsafah yang terawat turun temurun di bumi Nusantara. Bersama dan rukun bukan sebab rekayasa sosial apapun, melainkan karena nilai-nilai tersebut telah menjadi falsafah hidup. Falsafah-falsafah hidup yang memang berakar dari penggalian nilai-nilai esoteris, yakni nilai-nilai ke-Tuhan-an.
Pun demikian dalam banyak falsafah hidup lainnya. Falsafah memburu sukses yang dimiliki oleh orang Bugis tidak dilandasi oleh sifat obsesif terhadap materi, melainkan didorong oleh motif harkat dihadapan Tuhan dan martabat dihadapan manusia. Hal tersebut tercermin dalam ungkapan“Siri’ na Pacce”. Begitulah, malu dan perih teramat sangat apabila sukses tidak mereka gapai, maka kemudian lahir ungkapan populer “Sekali layar terkembang, pantang surut biduk ke pantai”.
Kesenadaan falsafah-falsafah yang dipegang oleh etnis-etnis Nusantara tersebut membuat kita faham kenapa negara ini memilih bentuk Negara Kesatuan. Kemudian landasan esoterisnya diabadikan dalam sila pertama dari Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara kita disebut Negara Kesatuan bukan karena wilayahnya terhubung oleh lautan satu sama lain semata. Akan tetapi, Negara kita disebut Negara Kesatuan sebab peri kehidupan masyarakatnya memiliki kesamaan landasan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meskipun penerapannya kemudian melahirkan beragam falsafah hidup etnis-etnis Nusantara, tetapi spiritnya sama. Maka orang Jawa tidak sulit untuk beradaptasi tinggal di Ambon, orang Padang begitu diterima hidup di Jawa.
Bahasa boleh berbeda, busana boleh majemuk, adat kebiasaan bisa beraneka ragam, tetapi semua sama dalam hal kesetiakawanan, semua sama dalam hal saling menjaga martabat satu sama lain, saling mendukung satu sama lain dalam berkolaborasi dan berekonomi.
Jadi seberapa majemuk bangsa ini sebenarnya? Dan seberapa kemajemukan harus ditampil-tampilkan? Sementara kita lihat, anak-anak Bangsa Indonesia yang hidup di negeri orang, bukan kemajemukan yang mereka tampil-tampilkan.
Sejatinya yang majemuk itu hanya ekspresi budayanya kok. Sedangkan cara hidupnya mirip-mirip saja satu sama lain. Anak-anak bangsa Indonesialoman dalam memberi, prigel dalam bekerja juga getun dalam menuntut ilmu.
Pantaslah apabila anak-anak Bangsa Indonesia menjadi unggul dan disukai sebab kesenadaan sikap dan sifat mereka. Terbukti bagaimana di Korea Selatan TKI sangat dihargai dan diidolakan oleh perusahaan-perusahaan di sana karena keuletan, tanggung jawab, dan etos kerja mereka. Pun demikian di Brunei, bidang usaha informal justru didominasi oleh perantau dari Indonesia.
Yang menarik berikutnya adalah, meskipun anak-anak Bangsa Indonesia memiliki andil besar di banyak negara di berbagai belahan dunia, tetapi tidak terpikir untuk menuntut legitimasi identitas di sana.
Di Malaysia misalnya, populasi Indonesia tidak mununtut untuk diakui sebagai etnis tersendiri. Bahkan rela-rela saja mendapat sebutan-sebutan serba inferior, sembari mereka terus bekerja.
Pun demikian, anak keturunan orang Indonesia yang lahir di Suriname dan daerah-daerah bekas eksodus lainnya di era penjajahan dahulu, mereka tetap dengan identitas kewarganegaraan mereka di sana. Tak peduli orang mengakui atau tidak bahwa ada darah Indonesia mengalir di dirinya.
Sebab yang terpenting bukan identitas-identitas itu. Tetapi falsafah yang kita pegang dalam hidup. Kalau saya lahir di Jawa, maka saya orang Indonesia yang Jawa, kalau Anda lahir di Belitung, maka Anda adalah orang Indonesia yang Belitung.
Sebab Indonesia tidak akan ada, kalau tidak ada Jawa, tidak ada Belitung, tidak ada Dayak, tidak ada Ternate. Sebab identitas ke-Indonesia-an tidak akan banyak berguna, kalau falsafah warisan leluhur di wilayah masing-masing tidak lagi dijunjung tinggi.[] Rizky Dwi Rahmawan