Reportase: NEGARA INDIE

Meskipun Purwokerto seharian diguyur hujan, semangat Keluarga Juguran Syafaat tetap utuh. Beberapa penggiat sudah berada di lokasi sejak ashar, beberapa diantaranya menyusul kemudian. Panggung acara dan backdrop dipasang, sound system dicek betul kejernihan suaranya, karpet-karpet digelar dan beberapa perlengkapan pendukung lainnya dipersiapkan secara detail. Harapan penggiat, meskipun hujan, namun para dulur-dulur Juguran Syafaat tetap setia hadir dan menghangatkan forum.

Beranjak setelah isya, dulur-dulur mulai ramai berdatangan. Hadir dalam Juguran Syafaat, dulur-dulur dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Kroya dan Purbalingga. Bahkan hadir pula dari sedulur dari Gambang Syafaat, Semarang. Selain sapa satu sama lain, mereka juga diberikan buletin Juguran Syafaat yang sudah disiapkan oleh tim redaksi buletin. Didalamnya terdapat mukadimah Juguran Syafaat bulan ini dan tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan tema supaya dapat menjadi landasan menuju forum diskusi nantinya.

Tepat pukul 21.00 WIB, Kukuh membuka acara dengan mengajak dulur-dulur yang hadir untuk kirim Al Fatihah kepada Jamaah Maiyah Nusantara, dan juga tak lupa kepada para sesepuh Maiyah, Muhammad Ainun Nadjib. Kukuh juga memandu Al Fatihah untuk dulur Maiyah dari Mandar, Sulawesi Selatan yang sedang berduka karena ibunya meninggal dunia. Kemudian Kukuh memimpin dulur-dulur yang hadir untuk membaca surat Al Hujurat secara tartil dan terpimpin.

Musik Indie, Musik Swadaya

Setelah membacakan Al Quran secara berjamaah, acara dilanjutkan dengan diskusi sesi pertama yang membahas tentang Musik indie. Azmi Alatas, Riza dan Ifa diminta untuk maju kedepan untuk memberikan beberapa pandangan tentang musik indie. Mereka sudah dikenal di Purwokerto sebagai pelaku dan penggiat musik. Beberapa event besar pernah diselenggarakan oleh mereka dengan konsep swadaya, seperti event Purwokerto Bersatu.

Kukuh dan Kusworo memandu sesi diskusi, mempersilakan Azmi Alatas untuk bercerita tentang musik indie di Purwokerto. Azmi berkecimpung di dunia musik indie sejak tahun 98, sewaktu masih kelas 2 SMP. Kemudian berproses ditahun 2002 sampai sekarang di band Soulsaver dengan basic musik hardcore.

“Pertama kalau kita berbicara musik indie atau musik independen atau musik underground atau non mainstream, ada juga yang mengatakan bawah tanah, pada dasarnya kita tidak akan dari persoalan bentuk, tapi pada persoalan prinsip. Kenapa kemudian mereka, atau musik tersebut masuk dalam kategori indie. Kita berangkat dari sebuah pola dialektika dimana ada sebuah antitesa dari kondisi realitas. Ketika industri musik itu justru memiliki kecenderungan untuk mengakomodir mereka yang dianggap memiliki skill yang mumpuni, sehingga hanya orang-orang yang itu yang bisa berekspresi atau berkesenian. Kemudian hanya mereka juga yang memiliki modal yang bisa memiliki akses untuk memainkan musik. Sehingga bisa rekaman dan akses distribusi yang luas. Dan kemudian hanya mereka juga yang memiliki link industri. Bisa jadi mereka tidak memiliki kualitas tertentu, tapi karena memiliki link terhadap industri yang dia bisa jual dipasar, hanya mereka yang bisa melakukan akses tersebut. Ada juga mereka yang berkarya, tapi mereka mengakomodir kemungkaran-kemungkaran, jilatan-jilatan atau candu, yaitu tidak mau berbicara tentang kenyataan, realitas kepada masyarakat. Seolah kita fine-fine saja, padahal ada banyak masalah yang terjadi di sekeliling kita.”, awal Azmi.

“Berangkat dari pola tersebut, kemudian muncul semacam gerakan protes, bahwa pertama, dari sisi skill, apakah kemudian orang yang hanya memiliki kemampuan sedikit tetapi dia memiliki hasrat untuk berekspresi, atau berkesenian yang kuat itu kemudian hanya terbatasi oleh masalah skill sehingga dia tidak memiliki akses belajar yang pada masa itu sangat ketat sekali, sangat sulit untuk mendapatkan akses tersebut. Maka muncullah gerakan belajar bersama, muncul gerakan bahwa dengan mengandalkan tiga kunci, itu sudah bisa menjadi musik, karya. Itu berangkat dari gerakan protes juga. Yang kedua, persoalan hanya orang yang memiliki modal yang memunculkan gerakan solidaritas bahwa dengan patungan dengan modal seadanya kita, dengan kolektif kita, kita bisa membuat event, bisa membuat karya. Misal album. Apakah kualitasnya bisa sama dengan yang di industri, tentu saja pada masa tersebut berbeda. Tetapi kemudian siapa yang mengkonsumsi, dia adalah kalangan kita sendiri.”, tambah Azmi.

“Inilah kerja solidaritas atau kolektif. Justru ini adalah sebuah bentuk protes. Ketika pasar kemudian memperkaya mereka yang sudah kaya, lantas kita yang sebenarnya bisa berkarya, bagaimana? Maka disitulah proses kolektif itu muncul. Jadi nanti teman-teman yang membuat band, membuat lagu, membuat album yang mengkonsumsi yang membeli teman kita sendiri. Ada sebuah perputaran disana. Terus kemudian, akses untuk event. Terkadang industri, atau sebuah event dengan sponsor brand besar itu menghendaki, atau membuat batasan-batasan genre musik. Maka temen-temen akhirnya bagaimana membuat lingkaran kolektif untuk membuat event sendiri. Yang terakhir, ketika berbicara pada persolan yang dikenyataan tadi. Kalau teman-teman semua perhatikan, lagu-lagu atau musik-musik yang berada di pasaran, jarang sekali yang berbicara tentang persoalan sosial, jarang sekali yang berbicara soal ketimpangan. Disitulah kemudian ada gerak kesadaran untuk kita belajar bersama-sama untuk menyadarkan masyarakat bahwa kita ini sedang mengalami krisis, kita ini sedang mengalami persoalan. Makanya di teman-teman indie banyak sekali yang mengusung tema-tema yang kritis. Sekalipun dalam perkembangannya sempat mengalami distorsi misi, arahnya jauh menjadi lebih kompleks.”, ujar Azmi.

“Ada yang dia kemudian tidak lagi berbicara mengenai permasalahan sosial, berbicara tentang ego. Tetapi berbicara tentang ego pun itu dalam bentuk kritik. Sebagai contoh, kritik yang menceritakan tentang kehilangan disorientasi seseorang, kebingungan arah mau kemana, kegalauan yang itu merupakan kritik terhadap pola-pola egosentrinya seseorang. Banyak yang masuk ke kalangan indie itu tidak hanya semata-mata karena ingin beda, atau ingin unik. Ada sejarah yang cukup panjang. Pada awalnya kita memang sangat terpengaruh terhadap hal-hal impor, tetapi kesini semakin bertambah zaman, kesadaran untuk mencoba proses dialektik dengan budaya kita sendiri itu kita coba lakukan. Bukan lagi terjebak pada bentuk bahwa seorang punker itu harus mohawk, atau seorang skinhead itu harus botak dan membawa jargon-jargon dari Inggris. Tapi kita coba berbicara pada persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.”, Azmi menambahkan.

“Kalau kita berbicara tentang indie, bukan hanya genre musik, tapi sebenarnya mereka adalah aktivis-aktivis atau para pejuang yang sebenarnya menggunakan musik sebagai alat untuk menyampaikan apa yang mereka perjuangkan. Pertanyaannya, kita mendapatkan musik itu untuk mendapatkan timbal balik berupa materi atau berupa kesadaran dari penikmat indie tersebut? Inilah yang membedakan antara mainstream dengan nonmainstream. Prinsip independensi atau prinsip merdeka disini terus dibawa meskipun mereka itu didalam industri. Kita coba komparasikan dengan musik mainstream, dimana kita sudah tidak lagi peduli dengan apa yang diusung, tetapi pasar mau mengkonsumsi itu, itu oke. Dan tak jarang sekali mereka atau band mainstream lebih banyak kalah kualitas oleh band-band indie.”, sambung Azmi.

Kusworo menambahkan perpektifnya dengan mengaitkan musik indie dengan perjalanan kebangsaan Indonesia. Kita bisa identifikasi Indonesia itu jenis bangsa seperti apa, manusianya seperti apa, dengan kita mempelajari diawal, ternyata ada juga musik yang independen. Ada musik yang tidak terbeli oleh industri.

“Kalau kaitannya dengan negara, sekarang semua negara didorong, dipaksa untuk menjadi negara industri. Bahkan sebelum revolusi industri, ada imperialisme, ada kolonialisme, bahkan gerakannya semakin besar tajam, setelah ada revolusi industri. Hampir semua negara sepakat diarahkan disadari atau tidak disadari, semua menjadi negara industri. Sementara, kalau belajar dari perjalanan nenek moyang masa silam kita kok, jangan-jangan ada kemungkinan bangsa indonesia ini bukan bangsa industri. Musik ini bahasa universal, kalau teman-teman bertemu dengan bangsa lain yang barangkali tidak sebahasa dengan anda, kalau dengar bahasanya anda harus mencerna menganalisa, tapi melalui bahasa musik, anda tidak perlu mencerna, karena ada bunyi yang irama dan nadanya sudah disentuh dengan sentuhan estetika, kita tinggal menikmati.”, tambah Kusworo.

Ifa menambahkan, bahwa musik underground itu bukan melulu musik cadas dengan vokal tidak jelas. Tapi underground itu lebih ke gerakannya. Indi itu merupakan kata serapan, sebenarnya kita sudah lama mengenal kata swadaya, swadana, itu berawal dari situ, cuma karena kekinian, akhirnya kita pakai indie, independen.

Refleksi Musik Kedalam Konteks Kebangsaan

Kusworo mempersilakan Titut Edi untuk maju kedepan, beliau juga dianggap seniman indie, dimana sering mengadakan pagelaran-pagelaran seni besar dengan biaya sendiri.

“Indonesia ingin seperti Singapura, indonesia ingin seperti Arab, indonesia ingin seperti Amerika, ini ndak bagus. Saya itu kagum, orang kalau sudah sekolah tinggi, ingin nyulap desanya menjadi desa industri. Ini gila. Sebab kalau semua menjadi negara industri, nanti yang jadi orang tani siapa? Nanti kiamat, saling bunuh-bunuhan. Dipikir tanah kita dijual, dijadikan pabrik, kita bekerja disitu, bisa membeli motor, tapi kita tidak punya sawah.”, ujar Titut Edi.

Kemudian diskusi disambung dengan penampilan musik dari Riza yang mengusung seni noise, dimana suara-suara noise dari mixer dan alat elektronik ditangkap dan dipadupadankan kemudian diramu menjadi sound art. Riza bercerita bahwa dia ingin menciptakan gestur suara, dimana ini adalah dasar dari seluruh chord musik. Bagi Riza ini adalah pencarian spiritualnya, sama seperti bentuk suluk dan dzikiran. Ifa menambahkan bahwa Riza mencoba menangkap suara yang biasa kita abaikan sehari-hari. Analoginya adalah, jika kita bisa mendengar orang sedang berbicara didepan kita, maka seni yang Riza tampilkan adalah suara kendaraan yang lewat yang kita abaikan.

Agus Wibowo, dari Gambang Syafaat, Semarang memberikan perspektif tentang musik, bahwa perdaban kita sebenarnya diciptakan tidak jauh-jauh dari suara. Kita punya budaya tembang, pupuh dan lain-lain. Budaya suara kita dekat sekali dengan tradisi spiritual, tradisi yang mengharmonisasi antara alam internal dengan alam eksternal.

Titut kemudian berkreasi spontan dengan kolaborasi antara seni gerak dengan Riza dengan noise sound art-nya. Para hadirin mengapresiasi karya spontan itu, menambah sebuah kehangatan dalam forum malam hari ini.

Hardi, salah satu praktisi pendidikan di banyumas, yang merupakan penggemar radio frekuensi, merespon sekali apa yang ditampilkan oleh Riza. Hardi bercerita seharusnya kita mampu berkomunikasi dengan alam ini dengan frekuensi-frekuensi tertentu. Misal dengan tanaman berapa hertz, ini bisa menjadi kunci produktivitas tersendiri oleh petani seperti Titut.

Rizky menambahkan, bahwa ruang diskusi ini membuat larut, sehingga kita lupa akan kebisingan yang terjadi diluar. Seperti berita di media akan kenaikan BBM, kekayaan maritim dan lain sebagainya. Jika memang nantinya Indonesia memilih untuk menjadi negara yang sama sekali berbeda dari kebanyakan, kita disini sudah siap menikmatinya.

Endro dari dulur Purbalingga memandu dulur-dulur semua melantunkan Hasbunallah dengan diiringi oleh gitar dan organ sederhana.

Rizky menafsirkan bahwa wirid Hasbunallah adalah wirid yang sangat romantis. Analoginya, seperti Kusworo pergi ke kota, berniat untuk ke Mall, nonton bioskop dan makan bakso. Baru saja men-stater motor, pacarnya sms, mau datang ke rumah. Maka semua kebahagiaan yang terbayangkan kalau pergi ke kota sudah terwakilkan dengan bertemu dengan pacar yang datang ke rumah. Jadi hasbunallah itu adalah kebahagiaan yang kita kejar itu , ketika Allah datang sudah cukup. Tapi kenapa wirid ini tidak terjadi, kemungkinannya pertama, hubungan kita dengan Allah tidak jelas dalam konsep berfikir kita. Kemungkinan kedua adalah kita sudah termakan oleh pendangkalan tafsir dari semua wirid.

Lagu “Ibu Pertiwi” dibawakan dengan apik oleh Endro dan teman-teman. Sedulur yang hadir ikut juga melantunkan bersama-sama. Di tengah musik, Agus Sukoco membacakan puisi karyanya yang berjudul “Ibu Kandung Anak-Anak Nusantara”. Sebuah puisi tentang kegelisahan sebagai anak bangsa ditengah kondisi Indonesia yang kehilangan dirinya.

“Kalau ngomong negara tadi, kenapa kita memburu kemajuan dengan ukuran yang seperti, kalau disebut maju harus seperti Singapura, harus seperti Amerika, harus seperti Jepang. Itu karena kita tidak menemukan siapa diri kita. Kalau dalam khasanah spiritual dalam konteks personal, kita tidak paham man arofa nafsahu faqod arofa rabahu. Kita bawa ke konteks siapa diri kebangsaaan kita, siapa diri sejati kebangsaan kita, sehingga kita nanti tetep kalau sudah tahu diri kita, kita tahu tujuan kita, kita berada pada orbit yang tepat, sehingga kita tidak nabrak-nabrak, berada pada jalan yang tepat. Ibu pertiwi itu selama ini kita pahami sebagai pengertian yang reduktif, yaitu lemah karo banyu tok. Padahal ibu pertiwi adalah diri sejati kebangsaan, ibu pertiwi adalah yang menjadi tuan rumah nusantara semestinya. Kemudian dipalsukan oleh struktur sosial dan struktur politik, hasil dari kesepakatan-kesepakatan global.”, ujar Agus Sukoco.

Agus Wibowo dari Gambang Syafaat menambahkan bahwa ketika kita akan melanjutkan pembangunan, pasti kita harus tahu dulu, arsiteknya itu kepenginnya apa.

“Nah ini pembangunannya belum selesai kita, niru atau nyontek arsitek dari luar. Sehingga kita bingung, mau membangun bangsa kita sendiri tetapi dengan gaya dan corak yang sebenarnya bukan ciri khas kita sendiri. Kalau soal maju atau tidak maju didalam struktur masyarakat jawa, itu justru majunya seseorang ketika dia rela untuk mundur. Makanya ada tiga terminologi, ing ngarso (di depan) harus memberi contoh gambaran-gambaran untuk kehidupan, dia harus memberikan informasi bahwa kehidupan itu ada penderitaan ada luka, jegal dan sikut-sikutan. Dan tuladha disini untuk memberikan bekal untuk si generasi berikutnya tangguh. Ketika generasi sudah berangkat, yang didepan tadi berada di tengah. Ing madyo (di tengah) mangun karso, sehingga ditengah-tengah itu membangun keinginan, membangun pembangunan mental yang mumpuni. Setelah mumpuni, generasi ini berada di depan, kemudian si pendidik akan ada dibelakang, tut wuri handayani. Nah ini yang terbalik di dunia modern. Dunia modern itu disebut maju ketika meninggalkan orang lain, ketika orang lain terseok-seok dan jauh untuk mengejar baru itu dibilang maju. Tetapi untuk kita, dalam termoinologi jawa itu mundur. Karena itu sama saja memenggal jonggo itu sendiri. Sehingga apa yang kita lihat sebagai Indonesia itu hanya sebagian kecil dari bangsa kita dan dari apa yang sebenarnya arsitek kita membangun.”, ujar Agus Wibowo.

Agus Wibowo kemudian menceritakan tentang kerajaan Jenggolo yang sekarang peninggalannya justru banyak di luar negeri, seperti Thailand. Jenggolo mempertahankan adatnya sehingga sangkan parannya tidak lepas. Agus Wibowo tertarik dengan asal-usul nama-nama masa lalu, yang bisa menjadi jalan untuk masuk kedalam pemikiran dan khasanah dahulu.

“Kapasitas kita untuk menjadi manusia yang unggul itu sudah diindikasi dengan beberapa hal yang Allah titipkan kepada kita. Akrena segala hal itu titah, harus dikhalifahi makanya harus dipelajari. Tumbuhan, tanah, api harus dipelajari. Orang-orang kita akan memilih peradaban yang merohani, artinya mengenali diri sendiri untuk mengenali kepribadian kita yang hakiki. Itu dibangun terus menerus.”, ujar Agus Wibowo.

Diri Sejati Kebangsaan

“Kalau ngomong Ibu Pertiwi, saya mau membuat satu ilustrasi. Bangsa kita itu perah melahirkan peradaban besar, kita tarik abad ke delapan saja. Mataram Kuno, Sanjaya. Pernah melahirkan Sriwijaya, pernah melahirkan Singasari, pernah melahirkan Majapahit. Dan terakhir anak bontotnya bernama NKRI. NKRI ini bukan satu-satu anak yang pernah dilahirkan bangsa kita. Inilah diri sejati kbangsaan. Yang pernah diperankan oleh leluhur kita, yang secara fisik mati karena ada ukuran atau batas umur. Tetapi diri sejati kebangsaan ini tidak pernah mati.”, respon Agus Sukoco.

“Pernah saya diundang ke forum, karena saking bingungnya saya berbicara awalnya, saya diundang kesini karena Tuhan memerintahkan kepada saya melalui mekanisme panitia, kenapa selalu saya kaitkan dengan Tuhan, karena saya orang Indonesia. Orang indonesia adalah orang yang hidupnya berada dalam kesadaran bertuhan. Maka disebut Ketuhanan Yang Maha Esa, orang yang berada dalam kesadaran Ketuhanan Yang Maha Esa, maka output sosialnya kemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah sikap universal yang tidak dibatasi oleh semangat primordial. Yaitu berbuat karena seagama, sesuku, sedarah, tapi kemanusiaan, universal. Orang dengan semangat universalisme berkemanusiaan itu maka dia akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mempersatukan, yang mempersaudarakan. Maka Persatuan Indonesia. Maka orang yang dengan semangat mempersatukan, ketika akan mengambil keputusan dia bermusyawarah akan dipimpin oleh hikmah. Bukan voting. Apa itu hikmah? Saripati kebenaran. Orang yang sudah keracunan materalisme tidak akan pernah membaca, mendengar hikmah.”, ujar Agus Sukoco.

“Misalnya seperti ini, saya sedang naik motor, tiba-tiba ada telepon masuk yang tidak bisa saya terima dengan saya tetap berkendara maka saya berhenti. Setelah saya selesai telepon, kemudian ada orang datang minta tolong ke saya. Oh ternyata Tuhan menciptakan mekanisme saya ditelepon orang, ternyata saya untuk menolong orang yang ada disitu. Pada saat Tuhan sedang menciptakan mekanisme saya ditelepon orang, didalam peristiwa saya ditelepon orang, ada bahasa Tuhan yang bilang, gus tulungi kae wong (gus tolong orang itu), tapi bahasa Tuhan melalui bahasa kejadian. Dan paham materialisme tidak akan sampe pada ceruk terdalam dari kejadian, yaitu hikmah. Hikmah itu suara Tuhan. Didalam setiap peristiwa, suara Tuhan itu saya rumuskan menjadi kata-kata manusia, kata kata budaya. Sehingga saya tidak berhenti pada kesadaran bahwa saya sedang ditelepon saja. Selesai. Tetapi didalamnya ada perintah Tuhan saya harus menolong orang yang datang disitu.”, ujar Agus Sukoco.

“Dan orang yang berkumpul bermusyawarah dengan dipimpin oleh hikmah, artinya orang-orang yang mengambil keputusan kalau dalam negara entah perda, perpres, undang-undang, apa saja, adalah orang-orang yang bisa mendengarkan hikmah. Sehingga keputusan dari hasil musyawarah yang dipimpin oleh hikmah adalah keputusan yang obyektif, proporsional, maka dia disebut dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Nah orang yang berjiwa pancasila inilah yang disebut diri sejati bangsa Indonesia.”, tambah Agus Sukoco.

“Nah ini rumusan siapa pancasila ini? Rumusan pendiri bangsa ini, mereka sangat tahu bagaimana membuka pintu bagi anak bangsa untuk memasuki keadaran diri sejati kebangsaan. Jadi siapa yang berkesadaran itu? Adalah kesadaran pancasila dia akan menjadi diri sejati kebangsaan. Dia kan menjadi tumpuan rumah dari bangsa nusantara. Selama ini paham materialisme meracuni kita bahwa yang tuan rumah itu ya yang paling pantas ngomong negara, camat, bupati, gubernur, presiden, padahal mereka belum tentu tahu pemahaman kesadaran pancasila seperti ini. Jadi meskipun bakul gorengan, kalau dia berkesadaran pancasila, dia menjadi tuan rumah bangsa indonesia. “, Agus Sukoco menambahkan.

“Nah tuan rumah inilah yang nanti pelan-pelan akan terus berjalan menuju entah apa kelahiran nanti setelah NKRI. Karena dulu majapahit pernah dilahirkan, sekarang NKRI pernah dilahirkan, nanti akan ada penyempurnaan dari NKRI ini yang sekarang sedang carut marut seperti yang saya tulis dipuisi tadi. Cepat atau lambat. Tetapi bagaimana cara menyempurnakannya? Kita tidak tahu, kita hanya menjalani kewajaran hidup dan kesejatian hidup saja. Kapan momentumnya tidak tahu. Rasulullah itu dapat ayat itu 6666 ayat. Rasulullah tidak ngeyel ketika baru dapat ayat 100 kemudian menanyakan kapan selesainya? Tidak mungkin Rasululah seperti itu, dia hanya menjalani-menjalani saja, dari ayat ke ayat itulah perjalanan sejatinya, sampai Allah memberi momentum sempurna Islam sebagai agamamu. Jadi yang kita lakukan adalah bertahan berada dalam kesadaran diri sejati maka kita akan seperti perjalanan Rasulullah meniti jengkal waktu dari detik ke detik mendapat informasi dari Allah sampai nanti Tuhan menciptakan momentum bagi kita, siapa saja yang berkesadaran bangsa indonesia menjadi pelaku dari kelahiran nusantara yang lebih besar, lebih sempurna dan lebih beradab dari sekarang yang kita alami. Itulah diri sejati kebangsaan. Pintunya dibuka melalui Pancasila, redaksi yang luar biasa, konsep yang tidak hanya dihafal mestinya.”, ujar Agus Sukoco.

“Kalau kesadaran diri kebangsaan sejati ini tidak bisa melalui pendekatan materi. Kesadaran seperti ini tidak bisa didapatkan dengan kita memenuhi syarat-syarat formal administratif. KTP, itu kan syarat formal kewarganegaraan, status hukum sebagai orang indonesia dalam konteks warga negara. Tetapi sebagai diri sejati kebangsaan, meskipun punya KTP tidak punya KTP, diakui tidak diakui, itdak ada urusan. Yang penting dia berkesadaran bangsa indonesia. Yang bisa diperjual belikan adalah kewarganegaraan, makanya ada orang Korea bisa lebih leluasa daripada orang kita. Itu yang diperjualbelikan. Tetapi diri sejati kebangsaan tidak bisa dijual belikan kepada siapapun kecuali orang itu berkesadaran pancasila itu tadi.”, tambah Agus Sukoco.

“Kalau di Mocopat Syafaat kemarin, membahas ada sayap perjalanan sejarah bahwa Sultan Hadiwijaya ini punya anak kandung yang bernama Pangeran Benowo, dan punya anak tiri yang namanya Sutawijaya. Kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga memandati Ki Juru Mertani untuk membangun satu struktur politik yang namanya Mataram Islam. Yang nanti tahtanya diserahkan kepada Raden Sutawijaya setelah jadi raja bergelar Panembahan Senopati yang menjadi Hamengkubuwono sampai sepuluh saat ini. Itu sayap satu anak, tapi sayap yang tidak terbaca oleh sejarah adalah, ada langkah kultural dan gelombang tadi yang sepenuhnya tidak dibaca oleh sejarah adalah langkah dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Pangeran Benowo. Dia merintis pesantren yang di generasi ketujuh Mbah Hasyim, ini dapat momentum menjadi pelaku kelahiran NKRI. Sunan Kalijaga seolah-olah sudah sangat tahu bahwa akan datang Belanda, dajjal dalam bentuk penjajahan seperti itu, yang akan mengacak nusantara, maka dibuat satu struktur politik yang nanti fokus Belanda, ternyata habis energi dan biayanya fokusnya mengacak-acak keraton, karena dia nampak, dia berbentuk formal, sampai lahir perjanjian Giyanti, memisah Jogja dan Solo. Itu dihabisi semua. Tapi Belanda lupa dan sepenuhnya tidak membaca, ada gelombang kultural, ada gelombang kesejatian yang justru melahirkan ledakan dahsyat pada momentum Mbah Hasyim ini sehingga lahirlah NKRI. Tapi ada gunanya juga jogja dibikin, karena ada keraton Jogja, ketika kita mendeklarasikan diri menjadi negara merdeka, dunia menuntut, negara pa ayng merdeka, kamu tidak punya negara kok. Kemudian bersepakat yang merdeka adalah negara jogja, ibukota pertama di jogja. Jogja melegitimasi kelahiran bayi perkasa yang namanya NKRI yang hari ini sedang kurang darah karena da peristiwa peristiwa politik yang makin sempurna. Tapi tidak tahu, bahwa dajjal kapitalisme telah menghancurkan NKRI melalui peristiwa politik, melalui peristiwa dagang, tidak tahu bahwa ada orang-orang sejati yang sedang menempuh perjalanan sejati. dan teman-teman semua disini insya Allah, akan menjadi ledakan dari lahirnya kebangkitan NKRI yang lebih besar dari hari ini, ada penyempurnaan-penyempurnaan yang hari ini tidak diduga oleh siapapun. Karena barat sekarang melalui misi golablisasi, kaptitalisasi, habis energinya menghabisi struktur formal dan bentuk formal negara kita. Tapi tidak tahu bahwa kekayaan yang utama adalah kekayaan rohani, perjalanan-perjalanan kultural yang hari inisedang kita lakukan. Mereka tertipu ada gelombang bsar yang nanti akan datang. Kita nyicil malam hari ini.”, tambah Agus Sukoco.

“Saya hidup dengan keyakinan ini. Ada orang yang berkeyakinan mencari uang, ya terserah. Kayakinan saya bahwa ada tugas besar kenapa kita diturunkan ke bumi. Apa iya hidup hanya cari bahan makan dan tidur saja? Ada yang lebih sejati. yaitu perjalanan menempuh dan berdialog dengan Tuhan sampai Tuhan menunjukkan dan membuat momentum tadi. Pangeran Benowo tidak tahu kapan mau jadi bayi sempurna nanti itu tidak tahu. Orang baru jadi sampai generasi ketujuh, yaitu mbah hasyim. Berapa ratus tahun? Pangeran Benowo juga tidak terburu buru membuat bentuk apa nantinya, Pangeran Diponegoro juga tidak terburu memerdekan diri, ndak. Mereka sangat paham, sangat adab, maka ada di jawa kata ‘wahyu’. Dia menunggu petunjuk Tuhan terus maka bergerak, bergerak sampai Tuhan menciptakan momentum, ndilalah, hirosima ndadak dibom. Tiba-tiba kita punya kesempatan untuk memproklamairkan diri. Lah apa nanti peristiwa kita menemukan kesejatian kebangsaan kita, kita tidak tahu. Kita jalani saja. Sebagaimana rasulullah meniti dari waktu ke waktu menerima ayat demi ayat, menerima petunjuk demi petunjuk.”, ujar Agus Sukoco.

Azmi merespon penjelasan Agus Sukoco dengan perspektif tentang Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, dimana mindset kita hanya terjebak pada bhineka tunggal ika saja, tapi tan hana dharma mangrwa-nya kita lupa. Dimana tidak ada pengabdian yang mendua. Pengebdian kepada siapa lagi kalau bukan kepada Tuhan? Ini adalah bentuk syahadat bangsa kita sejak dari dulu.

“Kita sebenarnya jauh sudah beragama sebelum ada paham-paham impor dari luar. Kita sudah beragama berbangsa. Karena dalam urusan state (bernegara) kita belum sempurna, tetapi dalam konteks nation (berbangsa) kita sudah selesai. Buktinya dari lima sila, dan bhineka tunggal ika, ini negara dibangun berdasar dari sebuah analisa dari kondisi obyektif geografis orang-orang atau pribumi-pribumi setempat yang mendiami termasuk mereka-mereka yang non pribumi. Mereka nyaman. Contohnya saya, nenek moyang saya dari Hadramaut, tetapi sebenarnya saya orang Jawa.”, ujar Azmi.

“Kenapa hari ini, mindset nya kita akan terarahkan ke globalisasi, kita mengamini bahwa amerika itu yang adidaya, kita mengamini bahwa parameter kemajuan adalah kemampuan negara lain untuk mengeruk kekayaan negara tetangganya. Kenapa bukan santunnya seseorang kepada orang lain, yakinnya seseorang kepada Tuhan, kenapa bukan sebuah memaknai sebuah kejadian itu paramater peradaban.”, tambah Azmi.

Wiratno dari Purwokerto merespon forum seperti ini adalah bentuk forum hakikat yang tidak sembarang orang bisa masuk kesini. Wiratno kemudian menyumbangkan lagu “Ibu Pertiwi” dengan bahasa jawa, diiringi dengan musik Endro dan dulur-dulur Purbalingga.

Mugi dari Banjarnegara merespon bahwa kehidupan dalam bernegara ini sama seperti kehidupan seseorang. Dalam menapaki kehidupan yang baru kita selalu melakukan upacara terhadap pencapaian-pencapaian baru.

“Bangsa indonesia itu pernah dimodali Tuhan, dengan diberi konsep yang bernama Hindu. Dengan konsep Hindu, bangsa Indonesia mampu melahirkan Mataram Kuno pada abad ke 8. Ketika dimodali Budha, maka lahirlah Sriwijaya, Singasari, Majapahit. Dan sekarang nambahi modal, Islam. Seandainya Islam dipahami secara benar, secara komperehensif maka ini modal luar biasa yang dulu bangsa kita pernah dimodali Hindu Budha dan terakhir dimodali Islam. Itu ibaratnya dulu kita dimodali pisau bisa membuat kandang ayam, sekarang kita diberi modal golok, malah yang terjadi tidak bisa membangun apa-apa, malah meruntuhkan bangunan yang lama. Yang seharusnya melakukan penyempuranaan tadi. Dengan cara berfikir ini maka tidak akan menyebut yang lain salah. Itu hanya proses saja. Persoalannya sekarang bagaimana kita mendayagunakan, fasilitas dari Tuhan berupa konsep islam ini, yang hari ini direduksi sedemikian rupa hanya kotak-kotak, alat perbenturan satu sama lain.”, ujar Agus Sukoco.

Menurut Agus Sukoco, Orang yang memiliki kesadaran kebangsaan sejati sudah tidak tersekat oleh suku dan warna kulit. Siapapun bisa memiliki kesadaran ini. Orang dengan kesadaran ini sudah bukan lagi terkotaki oleh negara bahkan. Sudah tidak ada malaysia, amerika, arab. Makanya ada konsepsi hamengku buwana, hamengku bumi. Ini sifatnya alam. Nah kesadaran ini tidak boleh kita rusak dengan secara administrasi kita menganggap amerika orang lain, itu hanya urusan manajeman. Maka rasulullah bukan hanya memiliki tugas lokal regional tapi juga rahmatan lil alamin. Global universal.

Tepat pukul 01.15, Wirid Padhang Mbulan dilantunkan bersama-sama oleh para sedulur yang hadir. Suasana khusyuk dinikmati semuanya. Kemudian sebuah nomor “Fatamorgana” dipersembahkan oleh Endro dan dulur-dulur Purbalingga.

Agus Sukoco kemudian memberikan hadiah CD Album Tahta Cinta karya dulur-dulur Purbalingga kepada Wiratno, sebagai bentuk apresiasi kepada Wiratno sebagai sedulur yang datang dan disepuhkan di Juguran Syafaat.

Nomor selanjutnya berjudul “Untuk Simbah Guru”, dilantunkan kembali oleh Endro dan dulur-dulur Purbalingga. Titut mempersembahkan karya spontanitas puisi kolaborasi dengan musik. Kolaborasi yang unik dan asyik dari Titut selalu membawa warna berbeda disetiap bulannya. Azmi dan Hardi menutup diskusi dengan memberi kesimpulan kecil. Lagu “Syukur” dinyanyikan bersama, sebagai bentuk rasa syukur akan silaturahmi yang indah dan penuh barokah ini.

Tepat pukul 02.00, acara dirampungi dengan bersalaman melingkar. [] RedJS

Mukadimah: NEGARA INDIE

Industri musik berkembang pesat menjadi bagian dari maraknya peluang di ranah industri hiburan. Pangsa pasar di dunia industri hiburan kian tak terbendung, maklumlah, karena semakin banyak saja konsumennya, yakni mereka-mereka yang kurang terhibur oleh pencapaian hidupnya. Di antara yang terpinggirkan dari gemerlap musik industri, ada jenis musik lain yang dilihat dengan memincingkan mata oleh orang mayoritas, yakni musik indie. Ketika musik mayor tumbuh subur di dunia industrialiasai musik dengan sokongan dana kuat dari pemilik modal, juga dipermak maksimal oleh juru rias industri, musik indie seolah tidak punya ruang untuk orang mengapresiasi.

Musik indie biasanya tumbuh di kalangan komunitas. Komunitas yang memegang suatu nilai dan prinsip keunikan mereka sendiri. Mereka menggarap musik untuk dinikmati sesuai dengan cara mereka sendiri, bukannya taqlid kepada industrialisasi musik dengan menyediakan diri untuk diperah darinya keuntungan, menjadi sapi perah industri. Kalau sebuah grup musik indie ingin mencapai kemajuan dan ketenaran sebagaimana musik mayor, maka ia harus memenuhi syarat rukun industri terlebih dahulu. Liriknya direvisi, nadanya disesuaikan tren pasar, personelnya dibongkar pasang sesuai yang dimaui pemilik label. Pokoknya kiblatnya industri, panduannya pasar. Harus siap kalau musik yang dihasilkan mungkin akan berbeda sekali dari ciri otentik komunitasnya.

Kalau indie kita tarik ke ranah negara. Bukankah Indonesia itu negara indie? Dulunya negara ini dibangun bukanlah untuk memenuhi syahwat industrialisasi negara, tapi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan otentisitas nilainya. Dan memang tidak bisa dinafikan lagi, dari angle manapun Indonesia dipandang, ia memiliki karakter indie, sebuah super-komunitas yang berbeda, kuat, otentik dan mempunyai cara hidupnya sendiri. Lalu bagaimana ceritanya sekarang menjadi ikut-ikutan dalam kancah industrialisasi negara bertajuk globalisasi? Sehingga mau-mau saja digubah lirik-lirik konstitusinya, diaransir ulang nada-nada regulasi kebijakannya disesuaikan dengan tuntutan pasar global serta tidak jelas irama poilitiknya siapa yang mengatur dibelakangnya.

Lalu sebagian besar kita mengeluh menggerutu, karena kita tidak sepopuler Amerika, kalah hits dengan Singapura, pendapatan perkapitanya tidak sebesar Uni Emirat Arab. Kalau kita mengekor saja ukuran-ukuran yang mereka buat, selamanya kita akan kalah. Seperti kalah gemuknya burung perkutut dengan ayam broiler. Karena memang burung perkutut itu, kalau mau cari menang ya kicaunya, bukan postur badannya.

Spirit indie adalah kesadaran untuk mengenal keragaman perbedaan dan kategoriasi penciptaan dengan sudut pandang syu’uban waqoba ilalita’arofu untuk tidak keliru membuat ukuran-ukuran perbandingan diri dengan tetangga, komunitas dan negara lain yang kita sangkai sebagai pesaing. Sehingga kita menemukan keindahan kicau alami kita, bukannya ikut-ikutan arus mainstream dengan setiap hari menuntut diri untuk menggemukkan postur badan.

Sebagaimana musik indie yang hidup bukan dari income yang bisa disedot, maka negara indie juga tidak bisa digenjot dengan berbagai trik pemasaran ala konspirasi global. Dari perjanjian Genewa sampai MEA, selamanya kita akan selalu tertatih-tatih dan kalah mengikuti aturan main mereka itu. Karena memang bukan dari income kita hidup. Karya indie hidup dari intepretasi yang jujur, apresiasi yang tulus dan interaksi yang indah dari anggota komunitas sebagai penikmatnya. Kebahagiaan tidak melulu dari jumlah keping album yang laku, bukan dari banyaknya konser, bukan dari target-taget pendapatan. Kebahagiaan indie lahir dari harmoni nada-nada dan harmoni komunitas yang menjadi penikmatnya, sehingga terjadi arus ulang-alik energi antara komunitas dan musisinya.

Pertanyaannya sekarang, kalau Indonesia undur diri dari kancah industrialisasi negara, lalu kembali menjalani keotentikannya sebagai negara indie, sudah siapkah para penikmatnya? Siapa mereka dan seberapa banyak? Ataukah tidak ada penikmatnya, karena jangan-jangan memang sudah benar adanya bahwa negara ini dibangun adalah untuk mengejar kedigdayaan materiil belaka? Ah, sepertinya tidak begitu, dilihat dari asal kata namanya saja Indonesia berasal dari kata Oost-Indische yang mungkin artinya tidak jauh-jauh dari “Indie Timur”.[] RedJS