Meski isyarat menuju luluh lantak makin tampak jelas di sekujur negeri ini, tetapi tak diajarkan untuk meresponnya dengan sikap putus asa. Untunglah dulu para pendiri bangsa mengakomodir aspirasi keagamaan dalam menyusun Pancasila sebagai pegangan hidup berbangsa dan bernegara, bahkan inti dari prinsip keagamaan yaitu TAUHID : Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan sila pertama. Itu artinya para pendiri negara menghendaki bangsa ini tumbuh dalam kepengawalan nilai-nilai yang tidak hanya menitik beratkan pada hal-hal yang hanya bersifat duniawi (kemajuan fisik). Seluruh yang bersifat fisik duniawi harus diletakan secara dialektis dengan patok nilai lain yang besifat ruhani (akherat).
Pancasila adalah saripati jiwa leluhur Nusantara. Sebuah bangsa yang ‘pernah’ mengerti kesejatian dirinya, sehingga mengerti asal-muasal dan orientasi langkah kesejarahannya (sangkan-paraning dumadi). Jadi, akherat itu muatan utama kesadaran Bangsa Nusantara yang dikerjakan melalui formula pengabdian kemanusiannya di dunia. Prinsip ini benar-benar diharapkan sebagai pijakan utama kehidupan bernegara kita. Urutan sila-sila dalam Pancasila merupakan hasil ijtihad orang-orang yang telah sampai pada kesejatian ilmu hidup, hakekat jati diri dan kematangan lahir batin kemanusiaannya.
Akan tetapi, ini sulit dimengerti oleh orang yang kesadaran hidupnya terkurung dalam spektrum duniawi. Orang yang rendah mutu ruhaninya dan keseleo akal sehatnya akan menganggap akherat itu khayalan dan ramalan yang belum jelas keberadaannya. Maka, kalau merujuk pada Pancasila, cara mendidik bangsa ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran TAUHID: Ketuhanan Yang Maha Esa. Terserah metode keagamaan yang akan dipilih. Intinya adalah ajaran tentang iman. Hanya orang yang menolak Pancasila yang akan menegasikan/mengingkari konsep iman.
Salah satu inti konsep iman adalah percaya kepada akherat. Orang yang belum mengerti ajaran Pancasila, dimana Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan sebagai sila pertamanya, tidak akan paham beda antara iman dan ramalan. Iman itu sebuah kepercayaan yang hakiki yang berangkat dari ‘wahyu’. Wahyu ini merupakan jawaban atas kegelisahan ruhani setiap manusia yang mempertanyakan asal-muasal dan tujuan hidup. Keyakinan ini akan dirasa lebih mutlak dibanding sesuatu yang tampak mata. Akherat adalah soal iman, keyakinan terhadap wahyu, itu bukan khayalan, meskipun kita belum pernah mengalaminya. Pancasila telah mendorong kita sebagai bangsa untuk menjadikan iman sebagai titik berangkat dalam membangun negara. [] Agus Sukoco