Mukadimah : Rukun Ilmu

Juguran Syafaat Agustus 2017

Hujan mungkin dia bisa melakukan ‘dosa moral’. Misalnya ketika hujan datang terlalu awal padahal ada seorang nenek tua yang pulang dari repek mencari kayu bakar belum sampai di rumah, sehingga ia kebasahan karena tidak membawa mantel. Pada peristiwa itu hujan bisa saja kita tuduh telah tidak sopan dan tidak punya rasa kasihan kepada si nenek. Namun hujan, dia selamanya tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan ‘dosa ilmu’. Kesetiannya kepada ilmu gravitasi membuat hujan tak pernah naik ke atas, selalu turun ke bawah. Kesetiaaan pada rumus kerapatan awan membuat hujan tidak pernah ogah-ogahan untuk menerjunkan diri ke bumi ketika waktunya tiba. Ia juga selalu nurut kepada teori kecepatan dan arah angin.

Untuk urusan ini, manusia kalah futuristik dengan hujan. Selain banyak contoh manusia menampilkan perilaku tidak sopan dan tidak punya rasa kasihan, sering kali manusia juga menampilkan perilakunya yang arogan terhadap ilmu. Rumus-rumus, dalil-dalil, postulat-postulat pertimbangan dipungut atau tidaknya adalah sebab bersesuaian atau tidak dengan kepentingan yang sedang ia gamit. Perlu kita cek lagi bagaimana kita dulu menjalani sekolah menuntut ilmu. Perkalian 6 dan 6 kita jawab dengan 36 jangan-jangan bukan sebab ia menyaksikan sebagai sebuah ketetapan Tuhan yang demikian adanya, tetapi sebab takut kalau menjawab selain 36 nanti tidak mendapat nilai 10 dari Pak Guru.

Hujan tak dibekali kemampuan berhitung untuk patuh sempurna pada ilmu-Nya. Sedangkan manusia dibakali dengan kemampuan tersebut. Berhitung atau tidak berhitung menjadi pembeda manusia dengan selainnnya. Pada banyak hal kita perlu berhitung. Sebab, sudah berhitung saja bisa meleset kita dari kebenaran ilmu, apalagi kalau kita enggan untuk berhitung. Lebih parah lagi, adakah diantara kita yang enggan untuk berhitung tetapi Tuhan yang diprotes ketika hasilnya tak seperti yang kita inginkan? [] RedJS

Mencari Mata Air Ilmu

Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat di daerah tempat tinggal saya, ketika sebuah keluarga hendak menyiapkan sumber air bersih untuk kebutuhan rumah mereka, mereka mencari betul-betul sumber air yang tidak diragukan kualitasnya. Baik itu kualitas kesehatannya, maupun kualitas kesuciannya. Baik itu pengamatan berdasarkan kasat mata maupun berdasarkan keyakinan yang positif.

Hal tersebut di tempuh karena air yang bersumber dari tempat tersebut akan menjadi pemenuh keperluan pokok sehari-hari di rumah mereka. Baik itu untuk kebutuhan makan dan minum, mandi, berwudhu serta berbagai keperluan lainnya. Untuk memperoleh sumber air yang baik tersebut, mereka bahkan rela untuk mengeluarkan biaya untuk mendatangkan orang yang berkeahlian mensurvey. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang rela mempuasai terlebih dahulu, agar penggalian sumur benar-benar dapat menemukan sumber mata air yang baik.

Namun saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi, bermunculanlah berbagai produk air minum kemasan dan air minum isi ulang. Baik itu yang merupakan produk dari perusahaan besar, bahkan produk serupa kini sudah dapat diproduksi pada skala home industry. Pangsa pasar air minum kemasan ini nampaknya begitu menggiurkan, kian hari kian menjanjikan, ditandai dengan makin menjamurnya penyedia produk yang serupa. Dulu peminat produk air minum kemasan hanya berada di kota-kota besar, maklum karena disana air bersih semakin sulit didapat, tetapi sekarang sampai pelosok-pelosok desa yang notabenenya tidak kekurangan air bersih juga mulai tergiur menjadi konsumennya.

Tidak sedikit dari mereka yang terpengaruh dikarenakan tergiur oleh bahasa promosi. Tawaran air yang lebih praktis dan lebih higienis menjadi daya tarik tersendiri. Walhasil, kini banyak yang meninggalkan proses pencarian mata air yang diikhitiari sedemikian rupa sebagaimana yang dilakukan oleh generasi pendahulu mereka. Lebih menggiurkan lagi adalah, membajirnya produk minuman siap teguk, yang praktis karena sudah berpewarna dan berperasa sekaligus. Promosi yang gencar didukung dengan kemasan yang apik dan menarik membuat banyak orang rela menjadi konsumen setianya.

Bagi saya ini adalah sebuah ironi. Kita sepertinya begitu menikmati hal itu sebagai produk teknologi modern, tetapi alpha untuk mengkhawitiri akan kemungkinan adanya dampak dari gaya hidup konsumsi air minum dan aneka jenis minuman yang disebutkan di atas. Bahkan sepertinya kita melupakan hakekat dari minum adalah tidak hanya melepas dahaga, karena air yang menjadi asupan kita sesungguhnya memiliki peran penting  untuk menjaga metabolisme jasmani kita.

Refleksi yang lebih mendalam mengenai gaya hidup kita semacam itu adalah mengenai asupan ruhani kita. Yakni asupan berupa informasi, pengetahuan dan ilmu. Ilmu yang kita teguk selama ini apakah sudah diikhtiari sedemikian rupa sebagaimana proses orang generasi terdahulu dalam mencari sumur untuk sumber mata air? Atau kita merasa tidak perlu untuk memiliki kewaspadaan terhadap sumber asupan ilmu kita?

Bisa jadi, asupan ilmu kita berasal dari produk – produk kemasan siap saji. Yang sulit untuk dilakukan penelusuran sumbernya. Yang tidak mustahil para produsennya memiliki muatan terselubung dibaliknya. Seringkali diantara kita mencari materi kajian tertentu, hanya seenak tinggal browsing sana-sini saja. Praktis memang, tapi belum tentu higienis, bukan? Lebih fatal lagi ketika hasil browsing tersebut kita imani sedemikian rupa sebagai ilmu berkualitas, seolah-olah kita tahu persis dari sumur mana ilmu itu ditimba, dari sumur kualitas apa ilmu itu berasal. Lalu dengan tidak hati-hati, kemudian kita jadikan dasar dalam laku hidup baik secara sosial ataupun dalam menempuh proses ketaatan pribadi kita kepada Sang Kholiq.

Pelajaran yang harus dipetik adalah, kita dituntut untuk bijak dalam menyikapi kemajuan teknologi. Semakin majunya media masa dan media sosial adalah tantangan bagi kita untuk semakin hati-hati dalam berproses mendapatkan ilmu. Yakni ilmu yang berasal pada sumur yang berintegritas. Dalam rangka mengidentifikasi sumur atau sumber ilmu kita harus hati – hati terhadap propaganda media. Kajian – kajian yang kita lakukan tidak boleh hanya terfokus pada kajian strategis dan praktikal saja, akan tetapi harus kita telusuri ‘mata air’ dan sajaroh-nya.[] RedJS

Kekayaan Sudut Pandang Ilmu

PADA FORUM MAIYAH Juguran Syafaat Januari 2016 lalu di Purwokerto, banyak hal yang menarik untuk diingat ingat kembali, dicerna kemudian dijadikan oleh-oleh rezeki ilmu dan hikmah yang tak terkira banyak dan besar manfaatnya. Forum Maiyah Juguran Syafaat yang dimotori oleh mayoritas penggiat anak-anak muda ini menawarkan acara ‘malam mingguan’ yang berbeda. Saya melihat, forum yang diadakan di pendopo SKB Purwokerto ini seperti remang cahaya yang bagai dilihat dari kejauhan, samar tapi diam-diam menarik perhatian. Lambat laun, remang cahaya ini dengan sendirinya besar dan suatu saat dapat memberi kilauan cahaya yang dahsyat karena sejak dini mereka sudah memberikan sorotan sorotan cahaya ke berbagai arah dan objek permasalahan.

Banyak hal, luas dan panjang lebar seputar ‘Proses dan Prosesi Shalawat’ dibahas oleh Syekh Nurshamad Kamba, juga Pak Titut seorang seniman teater Banyumasan ikut menaburkan khasanah kearifan lokal. Pak Hadi Wijaya seorang seniman lukis dengan pengalaman beliau yang banyak, juga banyak ilmu dari para penggiat tentunya.

Adalah Mas Agus Sukoco, yang juga salah satu penggiat sekaligus narasumber yang hadir malam itu memaparkan tafsir surat al Fatihah dengan apik, tidak biasa dan inspiratif. Beliau manafsir surat al Fatihah secara terbalik. Menarik tafsir surat itu justru dari akhir ayat yang kemudian disambung ke ayat sebelumnya yang kemudian berakhir justru di awal ayat. Menurutnya, Bismillahirrahmanirrahim itu merupakan tujuan yang justru diletakkan di awal ayat. Sangat terkesan mendengarnya karena mengingatkan saya ke pola penulisan dan cara berfikir umum yang linier nan baku versus pola susunan surat dan ayat al Qur’an.

Di lain kesempatan, beberapa tahun lalu Cak Nun pernah memaparkan hal yang mirip, yang menyatakan bahwa kalimat dan susunan bahasa yang dipakai al Qur’an itu urutannya sangat siklikal. Bahwa sejatinya al Qur’an sangat mungkin dimulai dari ayat yang mana saja dan diakhiri pada ayat ke berapa saja. Karena al Qur’an susunan kalimatnya itu terkesan acak dan sulit kita ‘menemukan’ awal dan akhir karena semuanya bisa dijadikan awal permulaan. Kalimat, kata, bahkan huruf pun mengandung makna yang dalam. Al Qur’an bagai samudera yang luas dan dalam yang tidak ada ujungnya karena melingkar. Al Qur’an bagai langit yang manusia mustahil bertemu batas akhirnya.

Coba kita intip aturan baku tulisan yang beredar hasil karya manusia. Mulai dari kata pengantar, pendahuluan, bab atau isi, permasalahan, konklusi, rangkuman dan penutup. Alur tulisan yang linier ini berlaku pada hampir semua jenis karya tulis. Gunanya agar penulis dan pembaca mudah mengerti alur jalan ‘cerita’ atau isi pemikiran yang sedang dibahas. Tulisan yang model seperti ini sangat kaku karena keterkaitan kalimat awal dan akhir sebagai keterangan kalimat atau bab sebelumnya. Sulit dibayangkan karya ilmiah kita baca secara acak susunannya dan parsial memahaminya. Karena kalimat selain al Qur’an tidak mempunyai kemungkinan yang banyak kecuali satu dua makna yang tersirat. Itupun sangat jarang. Meski katanya, kaum muslim tidak boleh memahami al Qur’an secara parsial, memotong ayat seenaknya, mengambil sebagian dan menolak sebagian yang lain, tafsir parsial dan seterusnya. Saya setuju ungkapan itu apalagi ayat tentang hukum. Dan hendaknya al Qur’an dipahami secara menyeluruh. Tapi tidak ada buku manapun yang kalimatnya bisa ditafsir detail sampai makna makna setiap hurufnya. Yang sekali lagi, manusia memulainya pada ayat berapapun, ia akan menemukan hikmah, ilmu, makna yang luas belum lagi ratusan sudut pandang ilmu yang tak terkira.

Sir Ibrahim
Timoho, Yogyakarta.
17 Januari 2016.

Penulis adalah Penggiat Maiyah Kenduri Cinta.