Ber-Ihtifal dan Ber-Ziaroh

Perjalanan dari Purwokerto menuju Jombang memakan waktu sekitar 9 jam. Bekal nasi bungkus tak lupa disiapkan oleh kami serombongan. Saya menikmati perjalanan sembari bersyukur dan berterima kasih dipercaya teman-teman, mewakili Penggiat JS untuk hadir di Ihtifal Maiyah (27/5) kemarin.

Setiba di stasiun, saya dan rombongan dijemput oleh teman-teman Bangbang Wetan. Ketika kami sampai di Menturo, di Pendopo Sentono Arum sedang berlangsung rapat simpul-simpul Maiyah. Kami langsung saja bergabung.

Sebelum bergabung dengan teman-teman simpul, beberapa saat kami berziaroh terlebih dulu, menyapa dan berkirim doa untuk Ibunda dan Ayahanda Mbah Nun serta para leluhur ndalem Kasepuhan Menturo yang berpusara di pendopo tersebut.

Acara demi acara terus berlangsung, hingga tibalah acara yang ditunggu-tunggu, Ihtifal Maiyah pun dimulai. Suasana menturo sangat ramai, berkumpul teman-teman jamaah Maiyah dari berbagai daerah di Nusantara.

Mbah Nun sebelum naik ke panggung saya lihat beliau menyimak dengan cermat penampilan-penampilan yang dibawakan oleh teman-teman simpul dan berbagai penampilan pendahuluan.

Setelah Ihtifal Maiyah usai, dengan didampingi teman-teman Kenduri Cinta, kami menghadap Simbah. Keperluannya adalah untuk menghaturkan kado sederhana berupa bendel kumpulan tulisan teman-teman Juguran Syafaat yang diberi judul “Takdzim”.

Pagi pun datang. Karena melihat teman-teman panitia sudah kelelahan, saya sudah mengurungkan niat saya untuk melanjutkan kegiatan ziaroh. Tapi tidak disangka, Mas Agung dan Mas Aris dari Bangbang Wetan menghampiri kami. Mereka menyampaikan bahwa mereka siap menyediakan waktu untuk mengantar kami berziarah. “Alhamdulillah…”, spontan Pak Tono berteriak penuh suka cita.

Destinasi ziarah kami pagi ini adalah menuju Mojoagung. Di sana ada makam Sayyid Sulaiman yang masih merupakan leluhurnya Mbah Nun. Kemudian ada makam Raden Alif, yakni Mbah Buyutnya Mbah Nun, beliau yang pernah menjadi murid Mbah Kholil Bangkalan bersama-sama dengan Mbah Hasyim Asy’ari. Kemudian kami juga menuju makam Mbah Kakungnya Mbah Nun.

Mas Amin, seorang diantara kami ketika di Mojoagung sempat terluka hingga meneteskan darah. Ia yang termasuk paling rajin ziaroh diantara kami, ia menghikmahi bahwa leluhur sedang menyemangatinya. Ia harus tetap semangat, meski harus bercucuran keringat, bahkan bercucuran darah.

Selepas dari Mojoagung, kami melanjutkan ziaroh ke Tebu Ireng. Di sepanjang jalan kami mengobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal. Diantaranya kami sibuk sendiri memaknai slogan Jombang Beriman yang terera di jalanan kota Jombang.

Mas Agung menyetir mengantarkan kami dengan aura semangat, meski ia tidak bisa menyembunyikan wajah lelahnya. Belum sempat tidur usai acara semalam dan sudah ditunggu pula untuk tugas-tugas siang ini. Kalau bukan karena ketulusan persaudaraan, tidak mungkin ada pelayanan luar biasa seperti ini.

Saat itu Tebu Ireng sudah cukup ramai. Kami tidak berlama-lama disana, usai ke pasarean Mbah Hasyim dan Mbah Abdurrahman Wahid, lalu berfoto sejenak dan bergegas meninggalkan Tebu Ireng.

Selesai sudah, kami lantas menuju masjid Agung Jombang. Selepas mengunjungi Masjid megah itu,  kemudian kami berjalan kaki menuju Stasiun Jombang untuk mengakhiri perjalanan kami. [] Hirdan Ikhya

Ihtifal Maiyah, Momentum yang Tak Boleh Dilewatkan

Hari itu adalah hari jum’at. Tanggalnya 27 bulannya Mei. Hari itu menjadi hari yang kami anggap begitu istimewa, karena pada hari itu guru kita Muhammad Ainun Nadjib genap berusia 63 tahun.

Sebagai rasa syukur atas kehadiran beliau di tengah-tengah kita, atas taburan ilmu yang begitu bermanfaat bagi hidup kita jamaah Maiyah, maka saya ingin menjadi bagian yang ikut serta nyengkuyung adanya perhelatan Ihtifal Maiyah. Acara tersebut dihelat di halaman rumah di Desa Menturo, Kecamatan Sumobito, Jombang. Acara Ihtifal Maiyah ini di gelar sebagai edisi istimewa dari Maiyahan Padang mBulan. Maiyahan yang biasanya digelar setiap malam Purnama. Maiyahan yang menjadi ibu kandung dari lahirnya simpul-simpul Maiyah. Padang Mbulan sendiri sudah berusia 23 tahun, keberadaannya juga telah menginisiasi lahirnya simpul-simpul Maiyah di berbagai daerah di Nusantara.

Pada acara Ihtifal Maiyah yang digelar kemarin, penggiat simpul-simpul Maiyah dari seluruh negeri berkumpul. Semua hadir dengan penuh semangat, rasa-rasanya memang kami benar-benar tidak ingin melewatkan acara penting ini. Pokoknya kami harus hadir pada acara tersebut, begitu semangat yang ada pada kami.

Saya dan rekan-rekan penggiat dan jamaah Juguran Syafaat ikut berbaur bersama ribuan peserta ihtifal Maiyah. Kami seperti tenggelam, karena jumlah yang hadir begitu membludak, sementara jumlah kami masih hitungan jari.

Dengan menggunakan kereta api Logawa, Ba’da Shubuh kami bertolak dari stasiun Purwokerto untuk menuju Jombang.

Tanpa direncanakan di awal, ternyata kami tidak sendirian, di stasiun Lempuyangan Jogja bertemu dengan Fafa dan Ajik, mereka berdua dari Rembug Mocopat Syafaat (RMS). Tanpa janjian, kami duduk di gerbong yang sama bahkan bangku yang sama pula. Menakjubkan..

Sepanjang perjalanan pun kami jadi bisa saling berbagi, bercerita pengalaman dan banyak hal yang itu semua makin membuat asyiknya perjalanan.

Sesampai di Stasiun Jombang tanpa janjian pula,  ternyata kami bertemu dengan Mas Islamiyanto. Akhirnya kami dijemput bersama-sama untuk meluncur menuju Menturo. Selaku panitia penjemputan adalah rekan-rekan dari Bangbang Wetan.

Ketika kami tiba, di Pendopo Sentono Arum sedang berlangsung koordinasi simpul nasional bersama Harianton selaku koordinator. Sejenak kami berziarah, kemudian bergabung di dalam forum bersama rekan-rekan lainya yang berasal dari daerah yang berbeda-beda.

Waktu makan bersama pun tiba. Kemudian acara dilanjutkan dengan bersih-bersih. Selanjutnya masing-masing menjalankan ritual pribadi: ngulat-ngulet, udad-udud dan ngopi-ngopi.

Di dalam Ihtifal Maiyah, kami diamanti rekan-rekan Penggiat dan Jamaah Juguran Syafaat untuk menyerahkan kado sederhana untuk Simbah.

Kado sekaligus ungkapan rasa syukur dan terima kasih yg sedalam-dalamnya kepada Guru kita atas seri tulisan DAUR yg setiap hari terbit. Tulisan baru yang belum pernah diterbitkan, maka dengan kepolosan kami, kami yang jarang sekali menulis, bahkan tidak kenal dengan budaya menulis maka sebisa-bisanya kami menulis, tidak lain hanya sebentuk apresiasi atas bermanfaatnya DAUR.

Kumpulan apresiasi dari rekan-rekan berupa tulisan tersebut kemudian kami bendel menjadi sebuah buku sederhana yang kami beri judul: “Takdzim”.

Mulai bakda Maghrib kami  mencari dan menyampaikan buku tersebut satu persatu. Sebelum penerima utama yakni Simbah guru Muhammad Ainun Nadjib.
Kesempatan ada, tapi kami gojag-gajeg sendiri merasa tidak pantas memberikannya, takut tidak dalam ketepatan  menghadap, tidak punya keberanian menyampaikan.

Sebenarnya mungkin tidak ada masalah, kami saja yang belum cukup berani menghadap langsung, bukan apa-apa, kami takut lancang, takut tidak empan papan, takut memberi kesan negatif dan lain sebagainya.

Hingga acara Ihtifal Maiyah dibuka, kami masih gojak-gajek sendiri. Belum berani menunaikan tugas kami menyampaikan buku “Takdzim” kepada si Mbah.
Kami mengikuti acara dari awal hingga akhir, dari pembukaan, kemudian penampilan-penampilan dari rekan-rekan simpul. Tampil pula Komunitas Lima Gunung pimpinan Tanto Mendut, juga Letto Band yang bukan sekedar menghibur kami lewat syair indahnya namun kami dikasih bocoran-bocoran syair yg syarat dengan kedalaman makna. Luar biasa kesan kami.

Acara kemudian disambung dengan acara Maiyah seperti format biasanya, pendaran ilmu dari guru kita, Cak Fuad, Mas Sabrang, Kyai Muzamil dan respon dari jamaah semakin  memperkaya ilmu kita.

Acara Ihtifal Maiyah kemudian di akhiri sekitar jam 03.30. Kami teringat ada tugas yang belum kami tunaikan. Mekanisme menuntun kami, waktu, suasana dan tentu saja keberanian kami menghadap akhirnya muncul. Didampingi oleh Gandhie, akhirnya tersampaikan juga buku sederhana pertama kami. Buku yang ditulis oleh bukan para penulis, banyak diantaranya bahkan baru pertama kali membuat tulisan.

Kami sangat berbahagia sekali buku sederhana kami di apresiasi oleh Simbah. Apresiasi dan wejangan dari Simbah menjadi bonus-bonus ilmu setelah semalaman kami ditaburi hidayah dan ilmu.

Simbah diantaranya menyampaikan, bahwa DAUR adalah tulisan yang tidak ada kata akhir. Saya  terperangah ketika Simbah menyampaikan bahwa apa yang sebetulnya ingin ditulis oleh Simbah justru belum tertuliskan.

Simbah juga menyampaikan bahwa acara Ihtifal Maiyah adalah momentum, dimana tepat hari ini matahari berada di atas ka’bah, itu berarti Kiblat kita jg harus lebih ditepatkan. Hal itu harus kita berlakukan ke dalam diri kita, internal simpul, makin disiplin, makin semangat, makin apa saja.

Ihtifal Maiyah ini tidak ada target apa-apa, targetnya ya ini seperti ini. Sudah seperti ini kita berkumpul dalam persaudaraan, berbagi senang, kebaikan, lalu apalagi. Kalau acara tidak dipuncaki tadi, mau sampai jam tujuh pagi kalian tidak akan bubar pasti, demikian kata Simbah. [] Karyanto